x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: Di Posisi Mana Anda, Korban atau Pemenang

Kecenderungan masuk kurungan fixed mindset dapat menimpa semua level eksekutif, golongan masyarakat, gender, dan semua usia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Leadership Growth: Redefine Your Existence as a Leader

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mohamad Cholid

Practicing Certified Business and Executive Coach

 

“Leadership is a mindset that shifts from being a victim to creating results. Any one of us can demonstrate leadership in our work and within our lives”. -- Robin S. Sharma.

 

Apakah hari ini Anda sudah mendefinisikan kembali diri sendiri saat mau berangkat kerja atau menunaikan hak profesional Anda?

Pertanyaan ini penting, utamanya bagi orang-orang yang harus memimpin tim di tengah arus perubahan zaman dan badai distraksi. Selalu mengecek kembali posisi diri, sebagaimana pilot memeriksa check list sebelum lepas landas dan mengecek ulang beberapa parameter menyangkut tekanan udara, ketinggian, cuaca, dst.nya ketika sudah terbang tinggi di antara awan, sangat dianjurkan.

Apa pentingnya semua itu? Gue kan bos, kata seseorang. “Kalau ada apa-apa tinggal perintah atau salahin anak buah saja.” Ia khilaf, selalu ada tikungan tajam dalam perjalanan hidup. Kelokan paling krusial adalah saat merasa jadi korban.  

Menempatkan diri sebagai korban dan senang drama seperti berada di dua sisi berbeda dari mata uang yang sama. Dalam kenyataan sehari-hari, di lingkungan kerja, profesional, termasuk di dalam kehidupan keluarga, dua hal tersebut – cenderung merasa jadi korban dan menikmati drama – sering kita temui.

Indikasi seseorang yang cenderung memposisikan diri sebagai korban antara lain: selalu menuding pihak lain – apakah itu kondisi lingkungan, mitra kerja, atasan, bawahan, atau pasangan hidup – sebagai penyebab dirinya melakukan atau tidak melakukan suatu hal. Atau selalu cerdas menghadirkan rentetan alasan untuk menunda-nunda kewajiban sesuai dengan tanggung jawabnya.

Barangkali di sekitar Anda ada eksekutif atau orang-orang berperilaku seperti itu?

Drama. Masih banyak orang, lembaga, perusahaan yang hampir setiap langkahnya boleh dibilang selalu diwarnai drama atau kehebohan internal. Dari soal mengatur jadwal meeting, public communication, sampai keputusan THR (bonus hari raya).

Bisa jadi itu akibat dari ketidaksiapan untuk menghadapi realitas yang berubah sangat dinamis. Mungkin juga karena selama ini menjalani kebiasaan hidup tanpa struktur dan perencanaan yang seksama – di level individu maupun organisasi. Akibatnya selalu tergopoh-gopoh dan bersikap reaktif terhadap banyak hal.

Itu semua merupakan isu leadership behavioral. “The bottleneck is always at the top of the bottle,” kata Management Guru Peter F Drucker.

Kita semua tahu, para eksekutif dan leaders mestinya memiliki accountability (atas semua kegiatan dan proses di wilayah supervisinya), responsibility (mampu memberikan respon secara proaktif untuk mendukung tim), dan authority (kewenangan mengambil keputusan).

Bayangkan kalau para eksekutif dan leaders yang diandalkan organisasi sering hanyut dalam badai kesibukan hal-hal trivial dan memposisikan diri jadi korban (sebagaimana dijelaskan diatas), apalagi mendramitisir setiap hal, apa jadinya?

Kalau itu terjadi, ketiga hal penting yang melekat pada dirinya – accountability, responsibility, dan authority – sangat diragukan berjalan efektif. Dan sumbatan proses kerja di level pimpinan, korbannya bisa ratusan sampai ribuan kepala/penopang keluarga (sesuai jumlah karyawan).

Konsekuensi logis akibat perilaku kepemimpinan tidak efektif, yang dapat menimbulkan kesulitan banyak orang seperti itu, sering luput dari pandangan mata hati para eksekutif dan pemimpin organisasi (bisnis dan non-bisnis). Para pemimpin kategori ini sebenarnya orang-orang baik dan berprestasi, hanya bersikap abai. Kurang sensitif. Bisa juga karena hubris.

Di antara kita tentu ada yang bertanya, apa mungkin perilaku abai, kurang sensitif, dan hubris menimpa orang-orang baik dan berprestasi (kalau tidak  berprestasi mana mungkin jadi pemimpin)? Hubris = excessive pride or self-confidence. Sinonimnya: arrogance, conceit, pride, self-importance, egotism.

Itulah godaan berat orang-orang sukses, berprestasi, apalagi memiliki pengaruh besar atas organisasi. Kita yang sudah mengalami kenaikan pangkat, jabatan, posisi, dengan segala perjuangan dan kerja keras, belum selamanya terjamin bebas dari jebakan sukses semacam itu.

Bahkan di lingkungan tradisi spiritualitas Islam, orang-orang yang sangat taat beragama, zuhud, menurut para ulama tantangan terbesarnya adalah lalai, merasa diri paling beriman dan mudah menghakiimi orang lain sebagai belum becus beragama. Fakta semacam ini bukankah sudah sering kita lihat?

Prestasi, keberhasilan meraih posisi penting di organisasi dan di masyarakat, serta mungkin juga kemampuan memiliki banyak aset bernilai tinggi, bagi sebagian orang menjadi tujuan hidup, maka layak dibuatkan prasasti. Mereka menganggap sukses sebagai teritori keramat.   

Perilaku tersebut dapat menyebabkan seseorang masuk perangkap fixed mindset. Kecenderungan masuk kurungan fixed mindset dapat menimpa semua level eksekutif, golongan masyarakat, gender, dan semua usia.

Penelitian selama bertahun-tahun yang dilakukan Carol S. Dweck Ph.D, professor psikologi di Stanford University, dan tim, menghasilkan sejumlah temuan menarik, sebagaimana diungkapkan dalam buku Mindset, the New Psychology of Success.

Menurut Carol Dweck, orang-orang fixed mindset cenderung lebih senang memburu validasi atas kecerdasan dan prestasi mereka. Kegiatan-kegiatan baru yang dilakukan mereka upayakan demi untuk mengesahkan status sebagai orang berbakat dan sukses. Mengubah perilaku agar menjadi lebih efektif menghadapi situasi yang makin menantang mereka anggap dapat membahayakan citra diri. Mereka telah menjadi “budak pujian”, kata Carol Dweck.

Pada dimensi lain adalah manusia dengan growth mindset. Orang-orang yang memiliki kapasitas growth mindset menganggap tantangan perubahan sebagai peluang untuk tumbuh, bersedia kerja keras stretching pikiran, fisik, dan mungkin juga spiritual dalam meraih sukses. Orang-orang golongan ini tidak sibuk menjaga status. Mereka lebih memusatkan resources menggeluti proses getting better. Ketidakberhasilan mereka anggap sebagai pembelajaran. Lalu maju lagi, bangkit.

Contoh terbaik dari golongan ini adalah Michael Jordan. Karena ketika remaja sempat dianggap tidak berbakat, dia berlatih beberapa kali lebih keras dibanding  orang-orang yang dinilai punya bakat. Michael Jordan membuktikan, disiplin dan latihan keras didampingi coach adalah kunci keberhasilan. Bakat dan kecerdasan saja belum tentu membuahkan sukses, apalagi tanpa latihan sistematis. 

Kadang-kadang ada golongan manusia yang berada di antara dua kategori itu, dalam situasi tarik-menarik antara fixed mindset dan growth mindset. Kondisi ini membuka peluang untuk melakukan perubahan, dari fixed mindset menuju growth mindset, yang penting bersedia membuka mata hati melihat dari perspektif pihak lain, utamanya para stakeholders.

Sebaliknya, khilaf setelah berprestasi (apalagi kekeuh mengandalkan prestasi di masa lalu untuk mengatasi kondisi saat ini), dapat menyebabkan seseorang terjerembab ke dalam fixed mindset – cenderung blaming (menyalahkan pihak lain), excuses, dan denial (mengingkari fakta yang tidak pas dengan kemauannya).

Orang-orang golongan itu sepertinya memiliki keyakinan keliru. Doktor Marshall Goldsmith, world-renowned business educator and coach, memberikan penjelasan demikian: “Many of us have a misguided belief that how we behave today not only define us but represents our fixed and constant selves, the authentic us forever. If we change, we are somehow not being true to who we really are. This belief triggers stubbornness.” (Triggers).

Berdasarkan praktik di ribuan organisasi dan berbasis pada sejumlah survei/riset, sesungguhnya selain bisa mengubah perilaku kita juga dapat mengubah bagaimana mendefinisikan diri.

Itulah kaitan pertanyaan yang mengawali tulisan ini.

Dalam pengembangan kepemimpinan metode Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC), landasan material untuk mengubah perilaku dan mendefinisikan ulang diri dapat kita minta dari para stakeholders, bagaimana persepsi mereka tentang kita. Bagi Anda yang sungguh-sungguh ingin jadi lebih baik, tidak ada excuses menunda minta feedback dan feedforward dari para stakeholders.

Mohamad Cholidadalah Head Coach di Next Stage Coaching.

n  Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

n  Certified Marshall Goldsmith Global Leader Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(http://sccoaching.com/coach/mcholid1)

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler