x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: Anda Mau Merdeka dari Ketagihan Distress?

Siapa di antara kita yang sampai hari ini cenderung senang berstatus sebagai “penumpang gelap” di Bumi ?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Leadership Growth: Personal Mastery is Our Main Currency

 

Mohamad Cholid

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Practicing Certified Business and Executive Coach

 

Bumi sering disebut the Blue Planet. Dari gambaran tentang planet-planet di tata surya, Bumi tampak kebiruan menampilkan permukaannya yang sekitar 70% diselimuti air. Bagaikan pesawat bundar yang terbang di angkasa tak bertepi….

Tujuh milyar enam ratus tiga puluh sembilan juta (7,639 milyar -- data pertengahan 2018) manusia hidup menjadi penumpang di Bumi dan setiap jam jumlahnya bertambah.

Bagaimana Bumi, kapal bulat biru yang berputar di porosnya dan beredar di orbit Matahari, memiliki dan mengembangkan daya dukung untuk menghidupi 7,6 milyar manusia plus sejumlah mahluk hidup lainnya? Apakah oksigen untuk bernafas, air untuk hidup, dan kebutuhan lainnya akan bisa selalu terpenuhi dengan cukup? Sampai kapan?

Orang beriman akan menjawab, itu bukti kekuasaan dan kemurahan Tuhan. Dari perspektif science, jawabannya ditemukan bertahap, sesuai dengan hasil penelitian berkesinambungan yang sampai hari ini terus dilakukan.

Lalu siapakah kita dan apa peran kita di kehidupan ini? Apa saja pembenarannya kita berhak menikmati segala fasilitas yang tersedia di Bumi? Di antara wahyu Tuhan yang tercatat di Kitab Suci memang menyebutkan kita boleh memanfaatkan yang tersedia di permukaan dan di perut Bumi. Namun, bukankah pemanfaatan tersebut mesti dilakukan secara accountable?

Siapa di antara kita yang sampai hari ini cenderung senang berstatus sebagai “penumpang gelap” di Bumi, kapal bulat biru yang terus bergerak dengan kecepatan sekitar 67 Km/jam? Para “penumpang gelap” ditengarai merupakan golongan manusia yang abai, barangkali juga hubris. Mereka belum membangun kesadaran prima bahwa setiap perilakunya memiliki konsekuensi bagi kehidupan di sekitarnya. Selama hidup mereka dan bahkan sampai setelah mereka wafat, dampak perilaku mereka bagi kehidupan terekam sampai Hari Kemudian.

Jika orang berkecenderungan jadi “penumpang gelap” kebetulan sedang dalam posisi pimpinan, di lingkungan masyarakat atau di organisasi, bisnis dan non-bisnis, Anda bisa bayangkan dampak negatif yang ditimbulkannya.

Ciri-ciri “penumpang gelap” tersebut, antara lain, masih kesulitan untuk memperlihatkan authentic self mereka. Mereka belum mengenali jati diri sendiri. Bisa saja golongan manusia tersebut berprestasi sesuai dengan skills dan upaya masing-masing, bahkan dalam pergaulan sosial masuk kategori orang baik.

Hanya saja perilaku kepemimpinannya masih disetir oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek (bahkan banyak yang dikendalikan oleh pihak lain pula).

Umumnya orientasi hidup mereka masih pada sekedar jabatan, pangkat, simbol status, uang, dan kesibukan kerja mengejar target. Tidak ada yang salah untuk semua itu. Menjadi gawat ketika jiwa mereka kemudian tenggelam dalam kegemilangan di dalamnya. Prestasi mereka kejar hanya untuk mengesahkan bahwa mereka mampu, mungkin juga cerdas. Ciri lainnya, mereka senang membangun altar pemujaan diri, sebagai validasi atas pencapaian mereka.

Bukankah kita sering melihat contoh-contoh manusia seperti itu?

Ketika semua itu kemudian jadi identitas, bahaya mulai muncul. Tanpa semua yang tampak di permukaan itu, mereka merasa bukan siapa-siapa. Distress yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan perburuan urusan pangkat, jabatan, dst.nya tersebut bahkan dijadikan konsumsi utama batin. Mereka addicted untuk menjalani kehidupan hiruk-pikuk.

Ketagihan? Mereka dengan gusto sering meceritakan semua itu, makin berat bebannya makin merasa diri lebih hebat dibanding orang lain. Bukankah omongan semacam itu sering terdengar di kafe-kafe di kota-kota besar atau saat break di seminar-seminar? Some people addicted to their own struggle, kata para ahli.

Filsuf dan guru spiritual G.I. Gurdjieff menggambarkannya sebagai “live most of our lives lost, lost in doing, asleep to the moment, and never realize our life is going by.” (E Myth Mastery, Michael E. Gerber).

Barangkali dapat kita sebut mereka menjalani hidup drifting, terbawa arus besar gaya hidup pemujaan dunia. Sebagaimana dikatakan leadership guru Warren Bennis, too many bosses are driven and driving but going nowhere.

Dalam kondisi itu, mungkinkah mereka, yang merasa jadi pemimpin, dapat memberikan multiplier effect dan positive impact bagi banyak orang lain?

Salah satu ukuran sukses kepemimpinan seseorang adalah kemampuannya melahirkan para leaders baru. Memberikan positive impact bagi kehidupan.

Bagaimana menjadi lebih baik, naik ke the next stage of leadership dan pantas disebut sebagai pemimpin yang efektif melahirkan manfaat positif bagi para stakeholders?

Pertanyaan mendasar yang berlaku sepanjang zaman, sebagaimana disampaikan oleh legenda guru manajemen modern Peter F. Drucker, yang mendapatkan inspirasi dari guru agamanya, adalah: “What do you want to be remembered for?” 

Untuk membangun legacy, para praktisi kepemimpinan dan guru spiritual lazimnya akan mengingatkan dua langkah, yaitu berani merdeka, melepaskan diri dari teridentifikasi dengan pekerjaan/jabatan (serta aksesoris duniawi lainnya) dan “know thyself”. Ini langkah awal dalam upaya mencapai taraf mastery dalam mengelola diri.

Achieving personal mastery menjadi kebutuhan utama bagi setiap eksekutif, dari level supervisor sampai direktur, apalagi para CEO. Utamanya bagi mereka yang berniat kuat mau meningkatkan efektivitas kepemimpinannya dan menjadi selalu relevan dengan setiap perubahan.

 “Good leadership, and consequently organization sustainability, will be less about what the leader does and more about who the leader is – and in particular, about two key traits: personal mastery and flexibility.” Demikian hasil survei terhadap para eksekutif dari pelbagai level di 200 organisasi multinasional di enam benua (Marshall Goldsmith, Cathy L. Greenberg, Alastair Robertson, Maya Hu-Chan: Global Leadership, The Next Generation).

Hidup itu soal pilihan. Mau tetap jadi “penumpang gelap” di Bumi, drifting dalam angin puyuh kesibukan kerja tanpa ujung dan ketagihan dalam struggle; atau memilih jalan menanjak yang seringkali counterintuitive untuk menjadi pribadi yang lebih pantas dan efektif memimpin, berperan lebih baik bagi organisasi dan memberian positive impact bagi ribuan orang yang bernaung di dalamnya?

Umumnya kita memerlukan self-renewal agar dapat menjawab pertanyaan, “Apa kontribusi kita bagi kehidupan ini”. Mudah-mudahan Anda sependapat, kualitas kontribusi kita bagi kehidupan menentukan posisi kita sebagai penumpang yang sah di Bumi. Pengembangan kepemimpinan Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC) sesungguhnya membantu proses self-renewal secara sistematis menjadi the person you want to become, agar berkontribusi lebih baik. 

Anda tentunya tahu, mana jalan yang lebih keren dalam menjalani kehidupan dan menikmati pesona Bumi yang tidak ada habisnya.

 

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

n  Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

n  Certified Marshall Goldsmith Global Leader Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(http://sccoaching.com/coach/mcholid1)  

 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler