x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Rakyat dan Negara

Kumpulan esai Onghokham tentang rakyat dan negara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Rakyat dan Negara

Penulis: Onghokham

Tahun Terbit: 1983

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Penerbit Sinar Harapan dan LP3ES

Tebal: 181

ISBN:

 

Buku ini memuat 8 artikel dari Onghokham yang pernah diterbitkan secara terpisah. Kedelapan artikel tersebut adalah: (1) Sukarno: Mitos dan Realitas, (2) Refleksi Seorang Peranakan Mengenai Sejarah Cina-Jawa, (3) Penelitian Gerakan-Gerakan Mesianis, (4) Sejarah Pembesar Indonesia, (5) Kedudukan Kaum Militer Dalam Sejarah, (6) Angkatan Muda Dalam Sejarah dan Politik, (7) Pemberontakan Madiun 1948: Drama Manusia Dalam Revolusi, (8) Proses Kesenian Di Indonesia Dari Masa Ke Masa. Meski artikel-artikel ini disusun pada waktu yang berbeda dan secara terpisah-pisah, namun ada benang merah yang bisa dilihat. Benang merah tersebut adalah tentang rakyat dan negara, sesuai dengan judul buku ini.

Topik yang diangkat pada artikel pertama adalah tentang Sukarno. Banyak pendapat bahwa Sukarno menjadi pemimpin karena memang ia telah dipilih oleh alam. Atau dalam kata lain Sukarno adalah penggenapan terhadap ramalan. Sukarno tidak kebetulan, atau karena ramalan Jawa bisa menjadi pemimpin (hal. 10). Banyak faktor yang memungkinkan Sukarno menjadi seorang pemimpin. Faktor pendidikan, kesempatan bergorganisasi dan kualitas Sukarno sendiri sebagai pribadi adalah faktor-faktor yang memungkinkan dia menjadi seorang pemimpin.

Sukarno adalah dari sedikit orang Jawa yang berpendidikan. Ia berkesempatan bertemu orang pergerakan seperti HOS Tjokroaminoto. Ia juga berkesempatan bertemu dengan organisasi-organisasi seperti Sarekat Islam dan Budi Utomo. Selain dari kesempatan-kesempatan yang didapatnya itu, Sukarno memang memiliki kualitas menjadi seorang pemimpin. Pemikirannya tentang anti-elitisme, anti-imperialisme-kolonialisme (hal. 11) adalah faktor yang besar yang menjadikan Sukarno sebagai pemimpin. Faktor lain yang membuat Sukarno menjadi pemimpin adalah ia percaya kepada rakyat. Ia berbeda dengan Syahrir yang melihat rakyat masih terkungkung feodalisme (hal. 19). Kalau ada “kesalahan” yang dibuat oleh Sukarno dalam kepemimpinannya, itu adalah ia tidak menyertakan militer dalam kepemimpinannya. PETA yang saat itu adalah tantara yang terorganisir terlambat untuk diurus. Akibatnya anggota-anggota PETA ini banyak yang kembali ke daerahnya dengan membawa kekecewaan. Sukarno berbeda dengan Mao Tze Tung dan Ho Chi Mint yang mempunyai dukungan militer saat berkuasa (hal. 22). Sebagai sorang yang percaya diri dan percaya kepada rakyat, akhirnya Sukarno harus berdiri sendirian di akhir karier politiknya.

 

Artikel kedua adalah tentang sejarah Cina-Jawa. Dalam artikel ini Onghokham menyatakan bahwa baru pada abad 18-lah orang Cina-Jawa mulai mengisolasi diri, yaitu kawin-mawin diantara mereka sendiri (hal. 29). Politik identitas di kalangan Cina-Jawa ini adalah akibat dari datangnya orang Belanda ke Jawa dan semakin kuatnya kekuasaan Belanda di Jawa. Onghokham menelusuri istilah “peranakan” yang disematkan kepada keturunan Cina di Jawa. Ia menemukan bahwa istilah “peranakan” pertama kali digunakan oleh orang Belanda untuk menyebut Cina Muslim (hal. 31). Istilah ini pelan-pelan, khususnya sejak tahun 1830 -Onghokham menyebut sebagai fase kolonialisme modern Belanda di Jawa, menjadi istilah untuk orang Cina-Jawa. Istilah peranakan dipakai untuk membedakan orang Cina-Jawa dari penduduk setempat dan para Cina pendatang baru. Kehadiran Belanda ini juga menyebabkan kerjasama dagang antara Cina-Jawa dengan penguasa setempat menjadi terhambat dan bahkan akhirnya tidak berlanjut (hal. 37).

Ong menyampaikan bahwa kebijakan politik Jan Pieterzoon Coen yang membawa orang-orang Cina ke Batavia yang baru dibangun adalah salah satu faktor yang menyebabkan terpisahnya orang-orang Cina-Jawa dari komunitas setempat. Hubungan Belanda – Cina ini membuat proses asimilasi yang berjalan alami menjadi terhenti. Ong juga menjelaskan bagaimana peran para orang Cina-Jawa dalam perpolitikan di Jawa. Dua contoh yang diambilnya di Jawa Timur menunjukkan bahwa orang Cina-Jawa yang membeli wilayah dari Belanda tidak terlalu berhasil memerintah wilayahnya (hal. 36). Meski secara politik orang Cina-Jawa tidak berhasil, tetapi peran mereka sebagai pemegang hak monopoli berhasil. Belanda banyak memberikan kesempatan kepada orang Cina-Jawa untuk membeli monopoli pajak dan perdagangan candu. Peran ini menyebabkan posisi Cina-Jawa sevara ekonomi menjadi lebih dekat dengan Belanda daripada dengan orang setempat. Pada saat yang sama, elite Jawa masih memandang bahwa pekerjaan bisnis adalah pekerjaan yang hina.

Hal lain yang diungkap oleh Ong mengapa orang Cina-Jawa pada akhirnya menjadi kelompok yang terpisah dari penduduk setempat adalah akibat dari kebijakan pemukiman khusus yang dicanangkan oleh Belanda. Sebagai kebijakan politik untuk membatasi peran orang Cina-Jawa yang bisa merusak sistem tanam paksa, Belanda mulai memukimkan orang-orang Cina-Jawa ke dalam pemukiman khusus (hal. 38). Kebijakan ini jelas membuat pemisahan fisik menjadi semakin besar.

Posisi peranakan yang sudah terpisah dari penduduk setempat ini menimbulkan dilema dalam hukum. Hukum mana yang harus digunakan untuk mengatur orang-orang peranakan ini? Apakah hukum adat yang dimiliki oleh orang-orang peranakan ini, seperti halnya penduduk setempat bisa menggunakan hukum adat? Ataukan mereka harus tunduk kepada hukum Belanda? Persoalan pewarisan harta misalnya, menimbulkan diskusi panjang aturan mana yang arus dipakai. Akhirnya sistem hukum Belandalah yang ditetapkan kepada para peranakan. Keputusan ini menyebabkan orang-orang perananan menjadi “lebih Belanda” dalam hukum dan berbeda dengan orang-orang Jawa yang masih diberikan hak menggunakan hukum adatnya sendiri.

 

Topik ketiga yang dibahas adalah tentang pemikiran mesianik di Jawa. Pemikiran mesianik, yaitu Ratu Adil selalu muncul dalam keadaan masyarakat merasa tertekan oleh sebuah kekuasaan. Dalam banyak kasus pemberontakan, Belanda selalu menjelaskannya dengan pandangan masyarakat Jawa yang masih memegang takhyul. Bahkan Ong menengarai bahwa kita juga masih menggunakan cara pikir ini untuk menjelaskan ketidak-puasan masyarakat terhadap negara. Benarkah pandangan mesianik, khususnya hadirnya Ratu Adil adalah satu-satunya penjelasan terhadap munculnya pemberontakan (kecil atau besar) akibat dari ketidak-puasan kepada negara?

Konsep manunggaling kawula-Gusti dianggap sebagai akar dari pandangan mesianik orang Jawa. Raja berada di pusat pemerintahan yang didukung oleh sentana dalem, para priyayi dan penduduk. Raja sebagai pusat pemerintahan karena ia adalah wakil tuhan tidak selamanya benar. Sebab dalam sejarah Mataram, sering terjadi pemberontakan, bahkan oleh orang terdekat sang raja (kalangan sentana dalem). Memang pemberontakan ini sering menggunakan ramalan sebagai pencetus. Namun kalau ditelusuri, selalu ada penyebab nyata, yaitu ketidak puasan kepada pemerintahan (hal. 75).

Pemberontakan akibat ketidak puasan kepada penguasa juga terjadi di era Belanda. Pemberontakan Diponegoro misalnya dimulai dengan perubahan status tanah yang dulunya bisa dikerjakan oleh petani tetapi kemudian disewakan kepada pihak lain atau dijadikan perkebunan (tanam paksa) (hal. 69). Pemberontakan juga diawali dengan berbagai pajak yang harus ditanggung oleh masyarakat, khususnya petani. Kondisi inilah yang menjadi kondisi pemberontakan Diponegoro. Diponegoro sering diasosiasikan sebagai Pangeran Erucokro – sang Ratu Adil, yaitu penguasa kedua dalam ramalan Joyoboyo. Ong menyampaikan bahwa kondisi ketidak-puasan rakyatlah yang memicu pemberontakan Diponegoro. Bahkan di wilayah barat Keraton Jogjakarta, banyak pemberontakan yang tidak berhubungan dengan Diponegoro mengatasnamakan bagian dari pemberontakan Diponegoro.

Jadi bisa disimpulkan bahwa konsep Ratu Adil bukanlah sekedar pandangan mesianik orang Jawa semata. Konsep ini berhubungan dengan ketidak-puasan rakyat terhadap negara. Pemunculan Ratu Adil adalah cara untuk konsolidasi kekuatan.

 

Pada topik keempat Onghokham membahas tentang birokrasi modern dan birokrasi a-la kerajaan Mataram. Ia menjelaskan birokrasi Eropa yang tetap jalan dengan baik meski berganti penguasa, bahkan saat negara diperintah oleh musuh. Hal ini bisa terjadi karena birokrasi sangat rasional dan impersonal (hal. 78). Sementara dalam pemerintahan tradisional (contohnya Kerajaan Mataram di Jawa), perangkat negara sangat tergantung dari penguasa. Orang-orang yang duduk dalam jabatan perangkat negara ditentukan oleh raja. Bahkan gelarnya pun diberikan oleh raja.

Model kepemimpinan semacam ini memerlukan sebuah sistem yang menjamin kesetiaan. Di permukaan biasanya kesetiaan diwujudkan melalui upacara-upacara atau danam bentuk sumpah kesetiaan. Namun sesungguhnya ada sistem yang mengikat para penguasa lokal oleh pusat kekuasaan. Misalnya dengan membawa keluarga penguasa lokal untuk tinggal di pusat kekuasaan raja. Dengan adanya keluarga yang berada di tangan penguasa pusat, maka para penguasa lokal akan berhati-hati dalam bertindak.

Model birokrasi tradisional ini dipakai oleh Belanda saat mengkoloni Jawa. Belanda tetap memakai para priyayi dan penguasa-penguasa lokal untuk diintegrasikan dalam pemerintahannya. Para penguasa lokal ini pelan-pelan kehilangan kekuasaannya.

 

Dalam membahas peran militer dalam kekuasaan, Onghokham menjelaskan bahwa awalnya kekuasaan negara berasal dari para penyandang pedang (man of sword). Mereka yang memiliki kekuatan dan bersenjata menjadi kelompok elite yang memerintah. Namun seringkali man of sword ini juga bekerjasama dengan man of pen (para cendekiawan).

Dalam perkembangannya, khususnya setelah Perang Dunia I, perang dianggap sebagai sesuatu yang jahat. Oleh sebab itu penentuan elite yang memerintah bergeser kepada kekuatan politik dan kekayaan. Kekuasaan semakin beralih kepada para sipil (cendekiawan). Dalam kondisi batas-batas negara menjadi semakin jelas, maka peran militer dalam pemerintahan menjadi semakin terbatas. Militer dituntut untuk menjadi kelompok profesional. Meski demikian sering terjadi klik-klik militer melakukan perebutan kekuasaan negara. 

 

Selain membahas militer dalam kekuasaan, Onghokham juga membahas peran kaum muda dalam sejarah dan politik. Dalam narasi sejarah Indonesia, sering sekali disampaikan bahwa peristiwa-peristiwa besar adalah karena peran pemuda. Onghokham menelaan lebih mendalam apakah klaim para penulis sejarah ini benar. Apakah benar pemuda yang karena idealismenya membuat perubahan sejarah, atau mereka sesunggunya hanya dijadikan sebagai umpan peluru saja (hal. 130). Ong berkesimpulan bahwa kedudukan golongan pemuda di Indonesia rendah sekali. Kebanyakan pemuda Indonesia tidak terdidik (hal. 133.)

Ong mengajukan pendapat tentang generation gap, yaitu adanya pengetahuan dan pendapat baru yang bertentangan dengan pengetahuan dan pendapat yang dianggap kolot (konservatisme). Jadi dalam hal ini pergolakan bukan disebabkan oleh umur, tetapi oleh adanya pendapat dan pengetahuan baru. Memang pendapat dan pengetahuan baru ini biasanya lebih banyak diikuti oleh orang muda. Namun tidak dipungkiri bahwa pendapat lama pun banyak didukung oleh orang-orang muda. Ong mengakui peran orang-orang muda, seperti para mahasiswa Stovia yang menyarakan pembaharuan. Namun ia menyatakan bahwa orang-orang muda ini adalah orang-orang khusus yang mendapatkan pendidikan Barat sehingga mereka bisa menyuarakan perubahan. Ini jelas bukan sebuah gerakan kaum muda. Demikian pun tentang peristiwa 1945 yang disebut oleh Belanda dan Ben Anderson sebagai gerakan pemuda, Ong menganggap bahwa pemuda dalam hal ini tidak bisa dihubungkan dengan umur semata (hal. 139).

Selanjutnya Ong menyimpulkan: Idealisme pemuda adalah faktor yang menyebabkan mereka dengan mudah dapat bergerak. Akan tetapi, emosi-emosi yang besar ini justru menjadikan mereka sebagai umpan peluru yang paling cocok dalam suatu revolusi. Khususnya bila idealisme dan emosi ini tidak didukung oleh pengetahuan yang luas dan hanya berorientasi kepada aksi tanpa mencoba menjawab apa kedudukan dan fungsi mereka, dan sampai tingkat mana perkembangan sejarah negara ini berada. Pemuda yang terakhir ini bersifat seorang "true believer", seorang yang hanya percaya tanpa argumentasi fakta, dan pada dasarnya adalah psyche totaliter dan fasis. Partai dan isme apa saja dapat menggunakannya, mungkin yang lebih sederhana lebih dapat memancing mereka. Memang, tak pernah ada titik sejarah di mana pemuda memainkan peranan sendiri (hal. 142). Pada akhirnya, dapat dipertanyakan arti pemuda sebagai katalisator perubanan dan terutama di mana ada harapan demikian dari masyarakat seperti akhir-akhir ini (hal. 143).

 

Dalam membahas peristiwa pemberontakan Madiun tahun 1948, Ong mengajukan tiga faktor. Pertama adalah adanya reorganisasi TNI yang berakibat hilangnya kekuatan lokal, sementara kekuatan nasional masih belum dipercaya, kondisi ekonomi yang memburuk dan pengaruh politik nasional dan internasional (hal. 147).

Situasi kalahnya Jepang menyebabkan Republik Indonesia harus lahir. Politik diplomasi dan senjata yang masih dikuasai oleh Jepang menyebabkan konsolidasi militer menjadi tertunda. Dua organisasi militer jaman Jepang, yaitu PETA dan Heiho dibubarkan. Sementara Tentara Republik Indonesia belum juga mampu dikonsolidasikan karena ketiadaan senjata. Akibatnya kekuatan bersenjata yang ada tidak terkonsolidasikan. Masing-masing kelompok dan daerah memiliki kekuatan bersenjata.

Hal kedua adalah tentang masalah sosial ekonomi yaitu kekurangan tanah, lapangan kerja, perbedaan sosial, eksploatasi, pajak yang tinggi, upah buruh yang rendah yang tak tertangani. Akibatnya ketidak puasan muncul di berbagai tempat. Masyarakat yang tidak puas berupaya mengganti para pamong praja yang dianggapnya tidak peduli atau lamban.

Faktor ketiga yaotu tentang politik nasional dan internasional. Pilihan pendekatan diplomasi membuat Republik semakin terpojok, sementara konsolidasi militer menjadi tertunda. Hanya melalui pendekatan agresilah maka konsolidasi tantara dengan politisi yang saat itu memimpin negara bisa dilakukan (hal. 155). Sementara itu politik diplomasi ini dimanfaatkan oleh partai-partai untuk saling menjatuhkan.

Kebijakan rasionalisasi tantara yang dicanangkan oleh Hatta, berbeda ide dengan gagasan Amir Syarifuddin. Hatta yang lebih mengutamakan profesionalisme tantara membuka peluang eks KNIL menempati posisi-posisi kunci dalam ketentaraan. Sementara Amir menghendaki tentara yang lebih revolusioner dan berpandangan politik. Hal ini ditentang oleh tantara-tentara yang ada di sekitar Solo. Pengangkatan eks KNIL sebagai komandan di Solo digagalkan oleh para laskar. Para laskar di Solo lebih memilih Sutarto, seorang tantara yang polulis dan berhasil merebut banyak senjata dari  Jepang (hal. 159). Para laskar ini bahkan membuat demonstrasi menentang rasionalisasi tantara. Ketegangan antara Solo dengan pemerintah menjadi-jadi. Reaksi militer republik terhadap pembunuhan Sutarto membuat suasana menjadi semakin tegang.

Sementara itu para buruh perkebunan melakukan demonstrasi menuntut upah yang lebih layak. Namun kerusuhan Solo bisa diatasi oleh Pemerintah dengan menggunakan tantara Siliwangi. Namun kondisi kembali berubah saat Muso kembali dari Soviet dan melakukan konsolidasi PKI. Muso yang berhasil menjadi pimpinan PKI mengajukan solusi “jalan baru.” PKI mendukung pemogokan dan menuntut dilakukannya land reform.

Ketakutan Pesindo yang merasa terancam terhadap pembersihan yang meluas keluar Solo, melakukan konsolidasi di Madiun. Melalui konsolidasi ini mereka berharap Pemerintah Republik akan mau berunding. Namun yang terjadi justru respon Sukarno yang keras. Sukarno menganggap bahwa pemberontakan ini melemahkan Republik di mata internasional. Ia bereaksi dengan pidato: “Pilih Sukarno atau Muso.” Bukannya menyurut, Muso justru membalas dengan tantangan. Akibatnya kekuatan militer Republik yang lebih kuat berhasil memadamkan pemberontakan.

 

Artikel terakhir adalah tentang sejarah kesenian di Indonesia. Ia menganalisis sejarah seni melalui dua faktor. Pertama, menyangkut pengaruh berbagai faktor terhadap gejala seni, terutama faktor-faktor pemikiran, negara, struktur masyarakat dan pengaruh asing. Kedua, menyangkut pembahasan tentang seniman modern dan lingkungannya (hal. 169).

 

Dapat disimpulkan bahwa hubungan antara rakyat dan negara selalu berjalan dinamis. Hubungan ini bisa menumbuhkan kepemimpinan baru. Peran pemuda, birokrasi, cendekiawan, militer dan politik internasional sangat berpengaruh dalam hubungan antara rakyat dan negara. Demikia pun dengan kondisi sosial dan ekonomi.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu