x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: Ego + Ja-im atau Performance Unggul?

Program MGSCC untuk orang-orang dengan jiwa merdeka, berhati lapang, dan berpikiran terbuka

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Leadership Growth: Courage, Humility, and Discipline = Greatness

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mohamad Cholid

Practicing Certified Business and Executive Coach

 

Culture don’t change automatically, but they do tend to follow the behavior change. What people actually do matters more than what they say or believe. ” Jon Katzenbach

 

Seorang pengusaha mengatakan dengan sungguh-sungguh, tahun ini jajaran manajemen yang dipimpinnya telah  membangun budaya organisasi baru agar tim dapat lebih giat dan inovatif. Apa yang dilakukannya? Selain mengadakan makan siang bersama pada hari tertentu sembari tukar pikiran, mereka juga membangun ruangan leyeh-leyeh, tidur sejenak (nap room) untuk karyawan.

Mohon jangan kaget dulu. Sampai hari ini masih ada pemimpin organisasi dan pengelola usaha menginterpretasikan membangun “budaya organisasI” dalam bentuk kenyamanan fisik dan keistimewaan lain bagi tim mereka.

Perilaku kepemimpinan seperti itu, kalau dianologikan, ibarat menggelontorkan uang dan kemewahan lainnya bagi pasangan (spouse) dalam sebuah perkawinan yang sumbang. Pernikahan yang tidak harmonis mustahil dapat diselamatkan (hanya) dengan uang. Benar kan?

Pengusaha tersebut di atas, barangkali juga sebagian relasi kita, belum memahami dengan gamblang, bahwa membangun budaya organisasi mestinya lebih pas dengan memberikan tantangan dan peluang berkembang bagi timnya, serta memastikan setiap tugas terselesaikan dengan baik. Intinya, membangun lingkungan dan atmosfir kerja yang dapat menyuburkan prestasi.

Dalam melaksanakan business improvement plan, lazimnya organisasi yang sukses mengawalinya dengan dua langkah utama, yaitu menentukan kebijakan baru (one stroke pen) dan mengubah perilaku para key persons – dari supervisor sampai CEO. Perubahan perilaku dan pembentukan habit baru, jika dilakukan secara berkesinambungan dan fokus pada target utama, akan selalu memberikan impact sangat positif untuk perubahan budaya organisasi.   

Its much better to concentrate on changing the behavior, because more tangible and measurable. Culture don’t change automatically, but they do tend to follow the behavior change,” kata Jon Katzenbach, leading practitioner strategi organisasi untuk Strategy&. “Behaviors are the most powerful determinant of real change. What people actually do matters more than what they say or believe.

Budaya perusahaan memang bukan berbentuk fasilitas kemanjaan karyawan, bukan pula slogan, plakat nilai-nilai, atau mission statement yang dipajang di dinding lobi kantor atau ruang rapat.

Barangkali Anda masih ingat kasus Enron Corp., perusahaan bidang energi berbasis di Houston dan dinyatakan bangkrut Desember 2001? Value Statement Enron adalah Respect, Integrity, Communication, Excellent. Kenyataannya, perusahaan kolaps akibat fraud, tidak ada respect satu sama lain, dan terjadi pelanggaran integritas (rekayasa pelaporan keuangan).

Di sekitar kita juga masih ada organisasi-organisasi dengan plakat nilai-nilai dan mission statement gagah meyakinkan, namun dalam praktik kegiatan sehari-hari berbeda dengan yang dinyatakan. Bahkan ada yang bertentangan, statement-nya progresif, tapi masih menjalankan birokrasi organisasi secara feodalistis.

Corporate culture adalah disiplin menegakkan rule of the game, bagaimana berkomunikasi antar sejawat dan divisi, hold each other accountable, bekerja selaras meraih sasaran bersama, serta bagaimana berinteraksi dengan tim,  pelanggan, maupun pemasok, plus mitra usaha, secara lebih terpuji.

Bukankah untuk itu kita memerlukan perilaku kepemimpinan yang lebih bermartabat dan efektif ?

Survei Accelerators of Change beberapa tahun lalu menyimpulkan, perilaku kepemimpinan para eksekutif dan leaders organisasi memiliki dampak signifikan (50 – 70%) terhadap budaya organisasi. Sedangkan budaya organisasi merupakan faktor tunggal terbesar (35%) pada operational performance – 65% lainnya dipengaruhi oleh gabungan sejumlah faktor, seperti business model, branding, kekuatan modal, regulasi pemerintah, etc.

Pengembangan kepemimpinan berdasarkan metode Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC) membiasakan para eksekutif dan leaders untuk “hold each other accountable, and work in unison for a common objective” – sebagaimana budaya organisasi di US Navy Seal. Para eksekutif dan leaders melibatkan tim/direct reports, peers, dan atasan dalam menentukan improvement kepemimpinannya agar berperilaku dan bertindak lebih efektif.

Program MGSCC untuk orang-orang dengan jiwa merdeka, berhati lapang, dan berpikiran terbuka. Tatag (tegar) menghadapi realitas diri sendiri menurut persepsi para stakeholders. Dalam proses coaching yang lazimnya berlangsung 12 bulan, diperlukan tiga kebajikan, yaitu courage, humility, dan discipline.

Berani (courage) menjelajahi wilayah batin dan pemikiran baru, keluar dari zona nyaman Anda, blak-blakan dengan para stakeholders dan minta saran mereka  untuk perbaikan perilaku kepemimpinan. Rendah hati (humility), mengendalikan ego, mengimplementasikan perubahan untuk menjadi pemimpin yang lebih efektif. Dan disiplin follow up dengan para stakeholders, mitra akuntabilitas Anda. Mereka adalah bagian penting dari proses peningkatan efektivitas kepemimpinan.

Kelihatan sederhana, tapi sulit dipraktikan. Orang-orang “bermental priyayi” biasanya perlu bekerja lebih keras untuk mengikuti semua proses tersebut dengan baik. Para eksekutif yang masih suka “ja-im” (jaga image) dan menggelembungkan ego, umumnya juga terbata-bata mengikuti program MGSCC.

Pengembangan perilaku kepemimpinan untuk membangun budaya baru bukan ditempuh dengan satu kali langkah (seperti bikin ruangan untuk ngaso); tapi memerlukan upaya konsisten berkesinambungan.

 “Deciding to change the culture within your business is not an initiative for the weak of heart or uncommitted. It is not something you do once and forget. Creating and sustaining a world class culture is an ongoing but immensely rewarding initiative,” kata Keith J. Cunningham, seorang pengusaha Amerika yang sudah lebih dari seperempat abad juga menjadi penasihat sejumlah perusahaan dan dikenal memiliki otoritas tinggi sebagai pelatih dalam business mastery. Ia juga menulis sejumlah buku, yang terakhir The Road Less Stupid (2018).

Berdasarkan realitas bisnis yang digelutinya sejak 40 tahun silam, Keith menyimpulkan, “Culture is the key to high performance.”

Ribuan organisasi hebat di dunia yang sudah dibantu Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching untuk menerapkan kepemimpinan efektif dalam mengembangkan budaya organisasi --  beberapa di antaranya Dell, Microsoft, Apple, Hyatt, GE, Johnson&Johnson, 3M, Citibank – sudah membuktikan benefitnya.

Para eksekutif dan leaders di organisasi-organisasi tersebut sudah menjalani asesmen 360 derajat, menerima feedforward (masukan untuk leadership growth mereka), terlatih menghadapi brutal fact (fakta apa adanya, bukan hasil polesan). “Nothing can change until the unsaid is spoken,” kata Keith Cunningham.

Anda cukup berani untuk menjalani proses ke level high performance itu?

 

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

n  Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

n  Certified Marshall Goldsmith Global Leader Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(http://sccoaching.com/coach/mcholid1).  

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler