x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sampar

Naskah drama tentang absurditas, pengkhianatan, dan cari selamat sendiri karya Albert Camus

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Sampar

Judul dalam Bahasa Inggris: State of Siege

Penulis: Albert Camus

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penterjemah: Ahmad Asnawi

Tahun Terbit: 2001

Penerbit: Mata Angin                                                                                                   

Tebal: vi + 130

ISBN:

 

Dari sekian banyak karya Camus, naskah drama Sampar dan esai “Mitos Sysiphus” adalah dua karya yang paling mudah saya pahami. Dalam membaca dua karya ini saya tidak perlu mencari pendapat orang lain untuk mencernanya. Sebab dalam dua karya ini Camus menggunakan bahasa yang demikian jelas dan tidak banyak detail yang menciptakan labirin kalimat.

Dalam naskah drama ini Camus menggambarkan sebuah peristiwa datangnya komet di Kota Cadiz di Kerajaan Spanyol. Kedatangan komet tersebut memicu perbincangan antara tokoh-tokoh yang dimunculkan oleh Camus. Melalui tokoh-tokoh inilah Camus menguraikan pandangannya tentang berbagai posisi. Masing-masing tokoh mempersepsikan tanda-tanda ini dengan keyakinannya sendiri.

Setelah kemunculan komet, kehidupan berjalan seperti biasa. Yang muda bercinta, yang berdagang menjual sesuatu, para petani memanen dan menjual hasil panennya, yang miskin meminta-minta. Namun tiba-tiba terjadilah sebuah kerumunan yang meninggalkan seorang yang tergeletak. Setelah diperiksa ternyata ia terkena sampar. Wabah sampar itu begitu ganas dan cepat menyebar.

Akhirnya seorang pria bernama Sampar mengambil alih kekuasaan gubernur. Ia memerintah dengan cara berbeda. Ia menggunakan organisasi dan logika dalam pemerintahannya. Bukan dengan angan-angan akan kehidupan makmur manusia. Ia minta semua rakyat mencatatkan sejarah hidupnya dengan detail. Pemerintahan Sampar membuat peraturan-peraturan yang sangat banyak dan tidak dimengerti oleh rakyat. Namun rakyat dipaksa untuk mengikuti peraturan-peraturan tersebut. Ia menebar ketakutan sebagai sarana supaya rakyat menjadi patuh. Namun akhirnya kekuasaan Sampar runtuh karena ada orang yang tidak lagi takut akan kematian.

Marilah pertama-tama kita memeriksa pada tokoh dalam drama ini.

Tokoh Perwira adalah tokoh yang mengemban tugas yang sudah sangat jelas. Ia berpendapat bahwa manusia biasa sebaiknya pulang ke rumah dan mengerjakan saja apa yang harus dikerjakan. Manusia biasa tidak perlu berpikir dan bertindak untuk membela manusia lain. Bertindak untuk manusia lain adalah tugas perwira. Ia mati saat penyakit sampar menyerang kota. Ia menjadi salah satu korban. Tokoh Perwira adalah melambangkan orang-orang yang percaya kepada peraturan. Namun ternyata manusia tidak mendapatkan kebahagiaan hidup melalui peraturan.

Tokoh Nada adalah seorang pemabuk. Ia adalah orang yang menyadari absurditas manusia, sehingga ia menolak segala penjelasan tentang kebahagiaan manusia. Ia menolak agama. Ia berkata-kata dengan cemooh. Ia mengkritik semua pendapat umum. Pendapat tentang moralitas dan kebaikan manusia. Ia bergabung dalam pemerintahan Sampar. Namun pada akhirnya ia kembali kepada kesadaran untuk mencemooh.

Tokoh Deigo adalah tokoh muda yang masih percaya kepada kehormatan. Ia masih percaya kepada kenikmatan yang bisa didapati oleh manusia. Masih percaya kepada kebahagiaan. Ia adalah calon menantu Sang Hakim. Saat sampar datang ia memutuskan diri untuk membantu para korban. Namun saat ia tertular ia menjadi ketakutan. Ketika akhirnya Deigo bertemu Sampar untuk mempertanyakan sistem pemerintahannya, ia menyadari bahwa ia adalah pihak yang kalah. Tanda sampar telah disematkan pada tubuhnya. Ia melarikan diri ke rumah Hakim, calon mertuanya. Namun ia ditolak. Peristiwa penolakan Deigo di rumah Hakim menyebabkan segala keburukan keluarga Hakim terbongkar. Deigo sampai kepada keputus-asaan dan tidak lagi takut. Sebab ia tahu akhir dari hidupnya sudah dekat dan pasti. Deigo berjuang demi keselamatan orang banyak, meski harus merelakan cintanya kepada Victoria kekasihnya. Pilihannya untuk tetap menerima kematian karena sampar membuat pemerintahan Sampar runtuh. Tokoh deigo menggambarkan manusia absurd yang sadar dan berani menghadapi kehidupannya.

Tokoh Hakim adalah tokoh yang menyuarakan “kebenaran” dan berupaya membungkam suara-suara yang berbeda. Saat Sampar memerintah, Hakim menerima aturan baru sebagai hukum. Ia menyerahkan pembantunya yang tua yang terdapat tanda-tanda sampar. Ia mengusir Deigo yang melarikan diri ke rumahnya atas nama hukum. Baginya hukum adalah hukum, bahkan ketika kejahatan telah menjadi hukum maka kejahatan adalah hukum. Ia menggunakan apa saja sebagai hukum demi mempertahankan keselamatannya sendiri. Tokoh Hakim menggambarkan orang-orang yang percaya keadilan. Ternyata definisi adil menjadi rancu saat bertemu dengan kepentingan-kepentingan pribadi. Keadilan ternyata tidak memiliki definisi yang jelas.

Tokoh Gubernur dan Walikota adalah tokoh-tokoh yang cinta akan kemandegan. Mereka ingin semuanya baik-naik saja. Perubahan tidak dikehendaki. Ketika penyakit sampar datang, mereka lebih sibuk dengan dirinya sendiri. Mereka rela mengkhianati posisinya hanya demi keselamatan dirinya sendiri. Tokoh-tokoh pemerintahan adalah orang-orang yang percaya kepada negara. Negara yang bisa mengatur hidup manusia. Namun saat negara menghadapi ancaman, negara menjadi hilang.

Dalam drama tiga babak ini Camus mendiskusikan abdurditas manusia. Manusia yang selalu membayangkan sebuah kebahagiaan pada akhirnya harus menemui sebuah kesedihan. Manusia berharap kepada aturan-aturan, harapan akan hidup yang lebih baik, keadilan dan negara. Namun semua hal yang dianggap bisa menjadi sandaran hidup manusia ternyata sia-sia. Hidup manusia adalah absurd.

Dengan menggunakan penyakit sampar sebagai symbol sesuatu yang mengerikan dan mendorong manusia sampai pada titik ketakutan terjauh – ketakutan akan kematian, Camus menunjukkan bahwa saat manusia menyadari bahwa dirinya adalah absurd, maka akan timbul sebuah kekuatan yang bisa digunakan untuk menjalani hidup. Ada kekuatan dalam yang tidak akan pernah dapat kamu taklukkan, suatu kegilaan yang lahir dari campuran antara ketakutan dan keberanian yang tak masuk akal, namun menang sepanjang waktu (hal. 91).

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler