x

Iklan

Hossy Juntak

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kurang Uang, Putri Gagal Kuliah di FK Universitas Bengkulu

Pada saat daftar ulang, orang tua Putri baru mendapatkan pinjaman Rp 4 juta. Sementara biaya daftar ulang Rp 13,5 juta. Tidak bisa dicicil.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Putri hanya bisa menangis ketika orang tuanya yang saat itu berada di Lahat, Sumatera Selatan mengabarkan bahwa mereka tidak mendapatkan pinjaman untuk membayar biaya pendaftaran ulang Putri. Cita-cita Putri untuk kuliah di Fakultas Kedokteran (FK)  Universitas Bengkulu harus kandas. Biaya pendaftaran ulang sebesar Rp 13.500.000 tidak mampu dipenuhi orang tuanya yang hanya kerja serabutan.

Putri Andita Belianti adalah anak kelahiran Belitung yang dari kecil sudah dibawa merantau oleh orang tuanya ke Lahat, Sumatera Selatan. Ayah Putri sempat bekerja di sebuah koperasi di Lahat, tapi tidak lama. Kemudian ayahnya bekerja serabutan. Sementara Ibu Putri hanya seorang ibu rumah tangga.  Di Lahat, Puteri berhasil masuk ke SMA N 4 Lahat dan selalu masuk dalam peringkat sepuluh besar. Hingga akhirnya ia lulus masuk FK Universitas Bengkulu melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) pada tahun 2013. Jurusan kedokteran merupakan pilihan pertama Putri walaupun saat mendaftar ada kekhawatiran Putri akan biaya kuliah jika ia diterima. Orang tuanya sempat melarang mengambil jurusan tersebut namun melihat keinginan kuat Putri, mereka akhirnya membiarkan Putri dengan pilihannya tersebut. Tak disangka Putri lulus. Antara senang dan sedikit khawatir dirasakan Putri dan kedua orang tuanya. Ketika mengetahui biaya pendaftaran ulang yang tidak sedikit, orang tua Putri pun kebingungan untuk mencari dana tersebut. Mereka menjanjikan Putri untuk mencari pinjaman pada saudara-saudara mereka. Dari Lahat, Putri berangkat ditemani saudara jauh Ibunya ke Bengkulu. Sehari menjelang hari terakhir pendaftaran ulang, orang tua Putri mengabarkan belum mendapat pinjaman uang. Mereka pun meminta Putri untuk tetap datang ke Universitas Bengkulu dan menyuruh Putri untuk meminta keringanan biaya dari pihak universitas sambil berharap di hari terakhir akan mendapat pinjaman uang.

Pada hari terakhir pendaftaran Putri bersama saudaranya pun berusaha meminta keringanan biaya pendaftaran. Putri bercerita saat itu petugas administrasi hanya menjelaskan bahwa tidak ada keringanan biaya dan semua syarat-syarat pendaftaran ulang harus dipenuhi. Jika tidak bisa memenuhi syarat, tidak bisa diproses. Putri sempat disarankan ikut beasiswa Bidik Misi. Tapi, Putri sudah ikut mencoba beasiswa Bidik Misi, sayangnya ia tidak diterima. Putri segera menelepon orang tuanya dan menanyakan soal ada atau tidak uang pinjaman. Ibu Putri mengabarkan bahwa mereka hanya berhasil mendapat pinjaman sebesar Rp 4 juta. Putri pun kembali bertanya pada petugas administrasi apakah bisa menyicil atau tidak. Petugas administrasi menegaskan tidak ada sistem cicil dalam pendaftaran ulang. Dibantu oleh saudaranya, Putri berusaha meyakinkan petugas tersebut bahwa keluarganya tidak memiliki uang Rp 13.500.000. Petugas administrasi tidak bisa berbuat apa-apa selain memproses pendaftaran ulang yang memenuhi syarat adminitrasi. Putri hanya bisa menangis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Karena tak kunjung mendapat pekerjaan yang layak di Lahat, orang tua Putri memutuskan kembali lagi ke kampung halaman mereka di Belitung Timur pada tahun 2016 akhir. Keluarga Putri menempati rumah kecil peninggalan orang tua Ibu Putri di desa Gantong. Di sini, Putri bekerja sebagai admin di salah satu toko. Ibunya berjualan nasi di depan rumah sementara Ayah Putri bekerja di kebun orang. Kisah Putri yang gagal masuk fakultas kedokteran hanya karena soal biaya jadi pembicaraan tetangga. Hingga kemudian ada tetangga yang menyarankan Ibu Putri untuk menceritakan kisah Putri ke penulis novel Laskar Pelangi yang asli warga Belitung Timur, Andrea Hirata untuk meminta bantuan agar Putri tetap bisa kuliah di FK Universitas Bengkulu. Sayangnya, Andrea Hirata kala itu masih di luar negeri. Ibu Putri sebenarnya tidak mau lagi mengungkit-ungkit kisah anak perempuannya tersebut mengingat kejadiannya sudah sangat lama. Di sisi lain ia masih memiliki harapan besarnya anaknya bisa melanjutkan kuliah.

Adik pertama Putri ternyata lumpuh sejak kecil dan segala urusannya ditangani oleh sang Ibu. Ketika mendatangi rumah orang tua Putri, saya melihat bagaimana Ibu Putri harus berjibaku mengurus adik-adik Putri dan dagangannya. Ibu Putri menuturkan bahwa alasan Putri memilih jurusan kedokteran ialah untuk membantu mengobati adiknya. Dengan mata berkaca-kaca, Ibu Putri mengingat bagaimana perjuangan mereka mencari uang ke sana ke mari agar Putri bisa daftar ulang. Mereka harus menelan pahit bahwa Putri tidak bisa kuliah karena terkendala biaya. “Mungkin bukan rezeki Putri, ya kami mau gimana lagi. Mudah-mudahan adiknya Putrinya bisa kuliah nanti.”

Lebaran 2017, Andrea pulang kampung. Ibu Putri segera menemui Andrea di rumahnya. Andrea Hirata yang saya temui pada pertengahan Agustus 2017 mengaku sangat terkejut dan sedih ketika mendengar cerita Ibu Putri. Menurutnya sangat jarang anak kelahiran Belitung yang bisa diterima fakultas kedokteran universitas negeri. “Malah menurut saya sepertinya Putri satu-satunya anak Belitung yang bisa lulus masuk fakultas kedokteran.” Andrea sempat menyayangkan Ibu Putri yang tidak meminta bantuan pemda Belitung Timur. Ibu Putri pun tidak bisa berbuat banyak karena pada saat itu mereka masih di Lahat. Setelah mendengar kisah Putri tersebut, Andrea segera mengirimkan surat ke Universitas Bengkulu yang isinya permohonan Andrea kepada pihak universitas untuk menerima kembali Putri yang dinyatakan lulus pada tahun 2013. Andrea menjamin dirinya yang akan membiayai perkuliahan Putri.  Surat yang dikirimkan pada tanggal 10 Juli 2017 baru mendapat balasan pada 11 Agustus 2017.  Pihak universitas tetap tidak bisa menerima Putri dengan alasan tempo kelulusan Putri dan permohonan untuk diterima kuliah sudah terlalu lama.

Ketika saya bertemu Putri di lobi sebuah hotel di Belitung Timur, Putri menuturkan bahwa ia sempat kuliah di sekolah tinggi farmasi tahun 2014. Lagi-lagi alasan biaya membuat Putri harus berhenti kuliah dan akhirnya memilih bekerja. Putri tidak mau lagi mengingat-ngingat kejadian tahun 2013. Tapi, setiap melihat kertas pengumuman dirinya diterima di  FK Universitas Bengkulu yang ia cetak dan simpan di ponselnya, Putri selalu menangis. Putri mengaku ingin fokus kerja membantu orang tua dan ketiga adiknya. Putri juga cerita bagaimana bangganya ia terhadap adik keduanya yang duduk di bangku SMP lebih cerdas darinya dan bisa mewakili sekolahnya untuk ikut lomba matematika tingkat nasional hingga ke Jakarta. Sebagai anak sulung, Putri ingin adiknya itu bisa melanjutkan pendidikan sampai ke universitas. Ia tidak ingin adiknya bernasib sama sepertinya, makanya ia mulai menabung. Namun di akhir percakapan kami, Putri masih berharap jika ada rezeki atau pihak tertentu mau membantunya, ia masih mau melanjutkan kuliah.

Saya yakin ada banyak anak-anak Indonesia yang punya pengalaman seperti Putri. Anak-anak Indonesia yang cerdas, yang akhirnya harus mengubur cita-cita mereka untuk duduk di bangku pendidikan tinggi karena terhalang biaya.  Dan yang lebih menyedihkan lagi yang menolak calon mahasiswa seperti Putri itu adalah universitas negeri. Universitas yang masih diniminati sebagian besar orang Indonesia karena biaya yang katanya terjangkau.

Petugas administrasi di lapangan tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena biasanya mereka bekerja berdasarkan aturan yang diperintahkan atasan mereka. Pemangku kebijakan universitas yang mengeluarkan aturan -bahwa setiap mahasiswa yang mendaftar harus melunasi uang pendaftaran saat daftar ulang- harus mengaji lagi aturan tersebut. Sudah seharusnya pihak universitas negeri menyiapkan tim untuk menangani persoalan calon-calon mahasiswa yang terkendala biaya saat mendaftar ulang. Saya ingat di Universitas Indonesia pada tahun 2008 ada tim yang dibentuk untuk mengakomodasi calon-calon mahasiswa yang tidak mampu secara finansial. Sebelum daftar ulang bahkan sudah disiapkan formulir untuk diisi calon mahasiswa. Dan ketika daftar ulang, tim tersebut mewawancarai langsung calon mahasiswa menanyakan kondisi keluarga termasuk keuangan si calon mahasiswa. Dari pertemuan tersebut disepakati uang pembangunan dan biaya per semenster yang sanggup dibayar oleh si calon mahasiswa. Uang pembangunan bahkan bisa dicicil. Saya berharap sistem ini masih diterapkan di UI dan di universitas negeri lainnya. 

Kisah ini seharusnya saya bagikan tahun 2017. Akan tetapi, setelah balik dari Belitung, ponsel saya hilang di bandara. Kontak dan dokumentasi Putri yang saya simpan di ponsel belum sempat saya pindahkan ke laptop.  Saya harap tak ada lagi putra putri Indonesia yang gagal kuliah karena terhalang biaya.

Ikuti tulisan menarik Hossy Juntak lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu