x

Iklan

Acep Iwan Saidi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Semiotika Berkelahi

Esei tanggapan terhadap pernyataan Presiden Jokowi tentang anjuran untuk berani meladeni ajakan berkelahi dalam kampanye.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Nuansa makna kata berkelahi itu fisikal (bersifat fisik). Kata ini tidak tepat disandingkan dengan berdebat, bahkan juga berbeda dengan “adu mulut”. Berkelahi adalah istilah yang spesifik untuk menggambarkan dua pihak yang beradu fisik. Di dalam Kamus Umum Bahasa Bahasa Indonesia didefinisikan, berkelahi adalah “mengadu tenaga, mengadu buku jari, berhantam, bertinju (sering diawali dengan pertengkaran”(Badudu-Zain, 1994: 642) 

Pak Jokowi tidak menganjurkan berkelahi, melainkan agar tidak takut jika ada pihak yang mengajak berkelahi. Dengan kata lain, beliau menganjurkan untuk meladeni perkelahian. Apa maknanya?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kata “jika” merupakan penghubung yang digunakan untuk memulai kalimat syarat (Badudu-Zain, idem, 578). Secara semantik kata penghubung ini dapat bermakna “jaga-jaga”, persiapan. “Jika hujan, pakailah payung”. Dalam perspektif semiotika, kata ini merupakan sebuah indeks (tanda yang menunjuk) terhadap sebuah referen yang ada di dalam benak penuturnya: si penutur membayangkan bahwa sesuatu terkait dengan hal yang dibayangkannya memang akan terjadi. Jadi, disadari atau tidak, Pak Jokowi telah membayangkan bahwa “perkelahian” bisa terjadi dalam kampanye.

Mengapa pembayangan seperti itu muncul? Ini semacam kalimat defensif. Kalimat defensif hanya muncul jika penutur merasa diserang. Bertahan dengan cara melawan merepresentasikan bahwa “pertahanan/ kesabaran” telah runtuh. Dari sisi ini, anjuran Pak Jokowi untuk melawan atau meladeni berkelahi adalah indeks dari jebolnya pertahanan diri yang merasa terus diserang. Ingat, merasa terus diserang tidak identik dengan ada yang betul-betul menyerang.

Sekali lagi, Pak Jokowi tidak menganjurkan berkelahi, tetapi menyuruh meladeni. “Jangan berkelahi, tapi jika ada yang mengajak harus berani!” Pertanyaannya, apakah menganjurkan meladeni perkelahian sama dengan menyuruh perkelahian? Dalam perspektif semiotika keduanya sama, yakni sama-sama melegalkan kekerasan. Pendek kata, keduanya adalah ajaran kekerasan.

Bayangkan jika Pak Jokowi mengucapkan kalimat ini, “Jika ada yang mengajak berkelahi, jangan ladeni, tinggalkan saja”. Pasti kalimat ini akan mengingatkan kita kepada Mahatma Gandhi. Kepada yang (telah) menindasnya  Gandhi bahkan tidak mau  meladeni. Lebih dasyat, ingat pula kita kepada peristiwa di Thaif yang dialami Nabi Muhammad. Untuk sekedar berdoa pun agar orang Thaif binasa karena telah menghina dan menyakiti, Muhammad tidak mau melakukannya. Peristiwa lain, Nabi pergi tanpa mengucapkan salam ketika Abu Bakar kehabisan kesabaran sehingga meladeni orang Baduy yang menghinanya. Nabi tidak setuju. Itulah ajaran kelembutan, perdamaian dalam arti yang sesungguhnya.

Tentu saja Pak Jokowi bukan Gandhi, apalagi nabi. Pak Jokowi juga tidak harus sependapat dengan Gandhi atau melaksanakan ajaran Nabi. Tapi, Pak Jokowi adalah seorang presiden. Tidak etis anjuran untuk meladeni perkelahian keluar dari mulut beliau. Sekali lagi, itu ajaran kekerasan. Anjuran MELADENI itu sekaligus juga mengirim pesan bahwa Pak Jokowi membolehkan kekerasan terjadi dalam masa kampanye.

Semoga catatan saya ini tidak ditafsir sebagai ajakan untuk berkelahi. Ketimbang begitu, saya justru sedang mengajak agar dalam masa kampanye atau masa apapun, kekerasan tidak boleh terjadi. Dengan berbagai cara kekerasan harus dihindari. Penting pula ditekankan bahwa menolak ajaran berkelahi tidak identik dengan penakut. Alih-alih demikian, sikap itu justeru mencerminkan keberanian. Barangsiapa melakukannya, ia bukan hanya menolak kekerasan, tetapi juga berani sekaligus telah mengalahkan nafsu di dalam dirinya sendiri. Di samping itu, kita juga masih mengenal dan bisa memiliki jenis keberanian lain, seperti keberanian sosial, yakni keberanian untuk “memasukkan pendapat orang lain yang berbeda” ke dalam diri kita. Juga keberanian moral, yakni keberanian melawan kekerasan dengan menolaknya, sebagaimana dilakukan Gandhi.

Tapi, saya pikir, Pak Jokowi juga tidak sengaja mengucapkan kalimat itu. Kalimat tersebut mengalir begitu saja karena terbawa suasana. Karena pengaruh suasana tersebut, Pak Jokowi khilaf. Sebagai manusia biasa, Pak Jokowi juga pasti tidak terlepas dari kekhilafan atau kesalahan.

Untuk itu, saya pikir, kita tidak perlu mendesak Pak Jokowi untuk meminta maaf. Sebagai Presiden, Pak Jokowi pasti lebih tahu dari rakyatnya, apa yang harus dilakukan jika orang melakukan kesalahan***

 

Ikuti tulisan menarik Acep Iwan Saidi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler