x

Iklan

Acep Iwan Saidi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Calon Presiden dan Wakil Presiden yang Layak Dipilih

Esei berisi catatan tentang situasi jelang berakhirnya masa pendaftaran calon presiden dan wakil presiden 2019. Dua kubu seolah saling menunggu. Mengapa?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dua hari lagi masa pendaftaran calon presiden dan wakil presiden 2019 akan diakhiri. Tapi, sejauh ini belum ada satu pasangan calon pun mendaftarkan diri. Apakah gerangan yang terjadi. Alot benar rupanya kekuasaan dibincangkan dalam koalisi. Nuansanya penuh transaksi. Siapa tidak diberi, ia mengancam keluar  dari koalisi, lebih baik bikin poros baru dan mengajukan calon sendiri. Sekali berarti, setelah itu bolehlah mati. Begitu tampaknya semboyan petahana juga oposisi.

Tapi, siapakah yang menjadi pertimbangan. Rakyat atau diri dan kelompok yang sarat dengan kepentingan. Tentu saja, rakyat berada di pusat perbincangan. Seolah-olah masa depan rakyat yang harus diselamatkan. Lawan adalah ancaman bagi sila kerakyatan. Itu sebabnya, tidak ada kata lain, sang lawan mesti dikalahkan. Demi nasib bangsa di masa depan, berbagai cara boleh dihalalkan. Betulkah demikian? Maaf, sudah sejak dahulu kala kisah ini disampaikan.  Ini syair keseharian para pemburu kekuasaan. Faktanya, hingga kini ia tetap saja tidak lebih dari sekedar rekaan.

Padahal, jika benar rakyat yang menjadi tujuan, apalagikah yang mesti ditunggu. Lihatlah, calon-calon mumpuni telah tersedia di kedua kubu. Di kubu petahana, kantong Pak Jokowi katanya telah penuh oleh tokoh yang berilmu. Di kubu oposisi, di seputar Pak Prabowo telah terdaftar jago-jago yang sejatinya mampu. Tapi, mengapa mereka seperti tampak saling menunggu. Tidak ada yang berani maju lebih dulu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketahuilah, Tuan-Tuan, dengan Tuan-Tuan terus-menerus membiarkan situasi dalam ketidakpastian, rakyat sudah lebih daripada dikorbankan. Rakyat tahu ini sebuah pementasan. Dalam sandiwara, ketegangan memang mesti diciptakan. Sebab dengan begitu penonton akan bertahan. Tapi, jika durasi terlalu berkepanjangan, tontonan akan sangat membosankan. Pergilah ke jendela, lihatlah, bahkan rumput di halaman menyaksikan, Tuan-Tuan hanya sedang memperjuangkan diri sendiri dan golongan.

Undang-undang memang telah mengatur, masa pendaftaran masih bisa diperpanjang sekian hari. Tapi, itu berarti melipat-gandakan energi. Bukan cuma soal materi, namun yang terpenting adalah bagaimana negara ini menepati janji. Tuan mestinya menyadari, aturan yang telah ditentukan adalah komitmen yang tidak boleh diingkari. Bagaimana Tuan mampu mengurus negeri, jika untuk menaati peraturan pendaftaran saja, Tuan sudah wanprestasi. Mengulur-ulur waktu adalah tanda dari kaum yang merugi. Kita semua mengetahui, demi waktu bahkan Tuhan pun telah bejanji. Si Alcapone, Tuan tahu itu mafia dari Itali, pernah mengancam anggota geng-nya, “jika kalian dikasih waktu lebih lama, kalian tidak akan pernah bisa menyelesaikan pekerjaan kalian!”

Tentu Tuan-Tuan bukan mafia—semoga begitulah kenyataannya. Tapi, jika sampai batas terakhir kesempatan pertama yang diberikan undang-undang tidak Tuan-Tuan tepati, Tuan telah mulai akan menampakkan kejahatan yang melebihi mafia. Paling tidak, hal itu akan mencerminkan bahwa Tuan suka memanfaatkan kelemahan undang-undang yang ada. Toleransi yang diberikan sebuah undang-undang atau aturan, ketahuilah, adalah tanda indeksikal yang menunjukkan bahwa aturan itu lemah, tidak berdaya. Kewajiban Tuan sebagai calon pemimpin adalah memperbaikanya. Berikanlah contoh kepada rakyat, setidaknya kepada siswa sekolah dasar, bahwa Tuan adalah alumni sekolahan yang berdisiplin juara. Bukankah si mafia malah mengerti, waktu adalah cara bagaimana mereka bekerja. 

Baiklah, Tuan boleh saling mengintip kekuatan lawan. Tapi, jika sampai batas akhir tidak ada yang masuk gelanggang, itu berarti Tuan bukan petarung yang bisa diharapkan. Sekali lagi, bagaimana bangsa bisa Tuan kelola dengan mental tempe sedemikian. Tuan hanya ayam sayur yang tidak memiliki keberanian. Buktikan bahwa Tuan memang berani “berkelahi”. Jangan sampai Tuan termakan (lagi) oleh kata-kata sendiri. Camkan Tuan, Rakyat tidak akan memilih calon yang tidak punya nyali. Ayo, ini saatnya pertempuran dimulai. Siapa berani “memegang hidung” lawan lebih dulu, itulah petarung sejati: calon pemimpin negeri yang layak dinanti.

Yakinlah, rakyat hanya akan memilih yang utama. Dan ini hari, yang utama itu adalah yang PERTAMA!***

Ikuti tulisan menarik Acep Iwan Saidi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB