x

Iklan

Satriwan Salim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Politik Praktis Guru dalam Pemilu 2019

Proses politik menuju Pemilu 2019 sudah dimulai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

*oleh; Satriwan Salim

Proses politik menuju Pemilu 2019 sudah dimulai. Tentu pelbagai strategi politik dari partai politik dan tim sukses calon presiden/wapres sudah dilakukan. Mengingat politik itu adalah kecerdikan bersiasat. Rumusan absolut politik praktis cuma satu saja; menang. Menang dalam arti memperoleh kekuasaan, baik di parlemen maupun di eksekutif.

Bagaimana cara meraih kekuasaan lalu mempertahankannya, menjadi kalkulasi politik paling asasi. Pihak yang berkontestasi (parpol, caleg dan capres) berpikir keras bagaimana agar dipilih rakyat. Rakyat yang berasal dari pelbagai latar belakang, profesi, agama, kultur, suku dan daerahnya. Ikhtiar ini akan dimulai tim sukses pasangan capres Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yang baru saja mendeklarasikan diri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Guru adalah salah satu kelompok profesi yang ada di masyarakat, dianggap sebagai kelompok terpelajar, bahkan di daerah tertentu kalangan guru masih diletakkan “di kelas atas”. Guru menjadi rujukan, teladan, berpengaruh dan tempat bertanya. Di era kolonial dulu, di beberapa daerah, panggilan kehormatan untuk guru yaitu dengan sebutan “Angku/Engku”, “Ndoro” atau “Mener/Menir”. Singkat kata guru memiliki status sosial sebagai informal leader di masyarakat.

Tak hanya di masyarakat, berbicara kedudukan dan pengaruh guru tak bisa dilepaskan dari sekolah. Di sekolah, kedudukannya terhormat, dipatuhi perintahnya, didengar kata-katanya, dipercaya omongannya, siswa segan kepadanya, dicium tangannya dan menjadi teladan perangainya. Oleh siapa? tentu bagi siswa (orang tua).

Guru di Indonesia yang berjumlah sekitar 3,1 juta orang (BPS, Data Pendidikan 2016/2017), akan sanggup menjadi “mesin politik” bernilai strategis bagi pemenangan kandidat yang bertarung dalam Pemilu. Dengan pengaruhnya, guru bisa menjadi vote getter sangat potensial; di keluarganya, bagi siwanya dan di lingkungan masyarakat tempatnya tinggal. Partai politik pasti sangat menyadari posisi strategis guru tersebut.

Nah, persoalannya kemudian apakah guru tidak boleh terjun ke dalam politik praktis? Secara normatif yuridis, bagi guru berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) atau lazim disebut PNS, “haram” hukumnya terlibat dalam politik praktis; aktif di partai politik, pengurus partai, berkampanye, menjadi tim sukses, dst. UU ASN No 5 Tahun 2014, UU Pemilu, UU Pilkada (aturan turunannya) dan regulasi lain yang terkait sudah mengaturnya secara ketat dan rinci.

Pelibatan (mobilisasi) guru dalam politik praktis banyak ditemukan, di Pilkada contohnya. Karena otonomi, saat ini pembinaan guru diatur oleh daerah (kepala daerah). Otoritas daerah mengatur guru. Makanya politik lokal Pilkada susah dilepaskan dari pelibatan guru. Kepala sekolah di daerah dipaksa oleh “bosnya” (kepala dinas pendidikan) untuk mengarahkan guru-guru memilih calon tertentu. Guru-guru kemudian mengarahkan (secara halus atau terang-terangan) siswanya di depan kelas untuk memilih calon itu.

Jika calon tersebut sukses, maka investasi jasa politik itu akan dibayar nanti ketika terpilih, promosi jabatan ke yang lebih tinggi. Jika terjadi sebaliknya, melawan “perintah atasan”, maka kepala sekolah dimutasi bahkan “digurukan” kembali. Ini menjadi risiko politik dan rahasia umum, terjadi di daerah saat Pilkada. Guru (di daerah) selalu berada di posisi sangat lemah, khususnya jika berhadapan dengan birokrasi.

Contoh teranyar, kasus kepala sekolah SMA Negeri 1 Pardasuka-Lampung, yang mengarahkan guru di sekolahnya untuk memilih calon tertentu dalam Pilkada Gubernur/Wagub. Nasib sial, karena oknum kepala sekolah tersebut adalah ASN, akhirnya dijerat pidana oleh pengadilan.

Guru Sekolah Swasta dan Politik Praktis

Sekarang pertanyaannya; Bagaimana jika berstatus guru swasta, apakah ada aturan hukum atau larangan tegas aktif dalam politik praktis?

Secara etika dan yuridis, guru swasta terikat pada aturan yayasan dan UU Guru dan Dosen (peraturan pendidikan lainnya), tetapi tidak untuk UU ASN. Jawabannya bergantung pada aturan yayasan. UU Guru dan Dosen No 14 tahun 2005 tidak mengatur bagaimana jika guru (bukan ASN/PNS) terlibat dalam politik praktis. Dalam UU Pemilu atau UU Pilkada, yang dilarang secara ketat berpolitik praktis adalah guru berstatus PNS/ASN. Lalu pelarangan kegiatan kampanye di lembaga pendidikan. Tapi tidak ada aturan yang jelas/tegas melarang guru sekolah swasta berpolitik praktis.

Jika ada pejabat birokrasi yang mengatakan, guru swasta terikat dengan etika dan aturan pemerintah (PNS), sebab sekolah swasta menerima BOS atau guru swasta pun menerima tunjangan sertifikasi dari pemerintah. Jawabnya, tak semua sekolah swasta juga menerima BOS. Dan belum semua juga guru swasta disertifikasi. Singkat kata, aturan tentang guru sekolah swasta ikut dalam politik praktis belum tegas (bahkan belum ada).

Makanya tak heran jika kita menjumpai di masyarakat, ada guru atau kepala sekolah swasta menjadi calon anggota legislatif (misalnya DPRD). Pengalaman penulis (dalam Pemilu 2014) pernah berinteraksi dengan guru/kepala sekolah swasta yang menjadi caleg. Sembari menjadi caleg, dia tetap melaksanakan tugasnya di sekolah. Dan yayasan kala itu memberikan ruang baginya untuk berpolitik praktis (karena tak ada aturan yang dilanggar juga), walaupun pada akhirnya kalah.

Apalagi di masyarakat, ada sekolah-sekolah swasta yang “secara politis-ideologis” (pemiliknya) berafilisasi dengan partai politik tertentu. Tentu tak akan ada halangan yang berarti bagi guru/kepala sekolah swasta tersebut terlibat politik praktis. Begitu juga bagi madrasah-madrasah yang dikelola oleh yayasan.

Jika yang punya sekolah/madrasahanya adalah pengurus partai, politisi, calon anggota parlemen, calon kepala daerah, tim sukses capres/cawapres, keluarga capres/cawapres, capres/cawapres atau setidaknya berafisiliasi secara politis-ideologis dengan partai atau calon tertentu, pastilah politik praktis di sekolah/madrasah tersebut tak bisa dihindarkan. Justru ruang kelas/sekolah akan menjadi arena politik dukung-mendukung calon. Minimal baliho/spanduk salah satu calon tegak dan terpampang besar di halaman sekolah/madrasahnya. Dengan foto raksasa dan kata-kata COBLOS NO...!

Politik dukung-mendukung dalam kontestasi Pilpres 2019 ini, akan destruktif jika pihak sekolah (guru, kepala sekolah dan yayasan) dengan semena-mena melakukan kampanye dan mobilisasi politik di lingkungan sekolah. Ini terjadi dalam Pilkada. Seperti di Pilkada Jawa Barat beberapa bulan lalu. Seorang guru swasta di Bekasi “dipaksa” oleh kepala sekolah/yayasan agar memilih calon gubernur tertentu.

Ruang pendidikan akan menjadi arena “tarung bebas” pasangan calon. Akan menuju disintegrasi sosial, jika materi kampanye menyinggung hal-hal berbau kebencian primordial, fitnah, kampanye hitam dan terkhusus politisasi ayat-ayat agama untuk mendukung salah satu calon. Dan itu disampaikan guru di depan kelas misalnya. Atau di saat upacara bendera. Penulis tak bisa membayangkan apa yang terjadi selanjutnya, jika sekolah menjadi ruang yang memproduksi konflik politik. Makanya diperlukan regulasi yang jelas dan ketat, mengatur para guru (terkhusus swasta) agar tidak terlibat dalam politik praktis.

Sekolah (ruang pendidikan) sepatutnya menjadi rumah untuk pendidikan politik yang mencerdaskan bagi siswa. Ruang terbuka dan majemuk untuk membangun kohesivitas sosial. Tempat bertemunya ide-ide besar terkait nilai-nilai kebangsaan, politik luhur yang dicontohkan para founding father/mother di masa lalu, atau penguatan terhadap sistem politik demokrasi Pancasila yang kita anut.

Secara konten materi-materi di atas memang ada dalam kurikulum (mata pelajaran PPKn/PKn). Muatan inilah yang wajib disampaikan di ruang kelas oleh guru. Nilai-nilai politik kebangsaan, bukan politik partisan, dukung-mendukung capres tertentu.

Oleh karena itu, solusi sementara ini yang bisa dilakukan agar mobilisasi dan kampanye politik terhindarkan dari ruang kelas/sekolah adalah melalui pengawasan dan aturan yang kongkrit, yakni; 1. para siswa harus melaporkan kepada kepala sekolah atau orang tua jika ada guru yang mengkampanyekan salah satu pasangan calon di depan kelas/sekolah. Siswa mesti berani mengkritisi guru jika berbuat demikian, apalagi menyampaikan materi bermuatan permusuhan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) di kelas.

Kemudian, 2. kepala sekolah/yayasan harus bersikap tegas memberikan sanksi tertentu jika ada guru/kepala sekolah yang mempromosikan pasangan calon, 3. orang tua harus rajin mengetahui perkembangan proses pembelajaran di kelas. Dibutuhkan komunikasi yang baik antara orang tua, siswa, wali kelas dan kepala sekolah, 4. bagi guru/kepala sekolah berstatus ASN/PNS tentu dibutuhkan ketegasan hukum dari penegak hukum agar mobilisasi/politik praktis guru/kepala sekolah dalam Pemilu 2019 bisa dihindarkan.

Lalu, 4. organisasi profesi guru membuat aturan tegas, yang melarang anggotanya (guru swasta/ guru ASN) aktif dalam kegiatan politk praktis, misalnya dicantumkan dalam etika profesi. Mengingat banyaknya organisasi profesi guru saat ini (PGRI, FSGI, IGI dll) yang AD/ART pun berbeda-beda. Oleh karenanya organisasi guru mestinya juga bersih dari politik praktis dalam Pemilu. Terakhir, 5. lembaga terkait Pemilu (KPU/Bawaslu) sebaiknya membuat surat edaran secara khusus mengatur pelarangan guru swasta terlibat politik praktis.

Semoga buah pikiran singkat ini bisa menjadi refleksi kita bersama, demi Pemilu 2019 yang aman, damai, demokratis dan berkualitas.

*Penulis merupakan Guru di Labschool Jakarta-UNJ dan Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI)

Ikuti tulisan menarik Satriwan Salim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB