x

Iklan

Wahyu Dhyatmika

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kuasa Baru Media Digital

Suratkabar, majalah, radio dan televisi perlahan bermigrasi ke ranah digital. Publik diuntungkan jika media lebih mendengar kehendak audiens.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

ADA kesalahkaprahan yang parah pada percakapan publik kita ketika membicarakan media digital. Kata-kata kunci yang dilekatkan pada konsep media dengan teknologi digital tak pernah jauh dari ‘disrupsi’, ‘hoaks’, ‘sensasionalisme’, ‘click bait’, ‘klik’ dan semacamnya. Pemberitaan media online yang cepat, ringkas, bahkan langsung tayang alias ‘real time’ kerap disebut merusak jurnalisme, bahkan menyeret kualitas jurnalisme ke comberan yang tak bermartabat.

 

Media digital juga seringkali disalahkan atas kondisi banjir informasi yang kini melanda masyarakat kita. Memang, miliaran keping informasi yang sama sekali tak terkurasi, tak terverifikasi, dan tak terkonfirmasi, sekarang bertebaran di sekitar kita. Setiap orang bisa mendapat pembenaran atas posisi, argumentasi dan pendapat seabsurd apapun dari internet. Mereka yang tak percaya sains, yang menganggap evolusi dan bumi bundar sebagai pengingkaran kuasa Ilahi, mendapat keyakinan tambahan ketika menemukan bahwa mereka ternyata tak sendiri. Lantangnya suara mereka menambah keriuhan di jagat maya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Walhasil, media digital dianggap sebagai biang kerok. Berpindahnya platform media dari kertas yang dicetak, frekuensi radio dan televisi, ke medium digital, disebut-sebut sebagai kesalahan yang akan dibayar mahal oleh warga masyarakat sipil. Demokratisasi alat produksi informasi secara massal, yang membuat pemilik mesin cetak tak lagi punya monopoli atas narasi publik, dianggap sebagai awal mula kekacauan alias chaos berkepanjangan.

Padahal realitanya tidak sesederhana itu.

 

Mari kita meluruskan kesalahpahaman ini dari hulunya. Teknologi digital memungkinkan sesuatu yang sebelumnya tidak terbayangkan dalam siklus produksi dan konsumsi informasi di ranah publik: konektivitas. Dulu, redaksi media massa tidak bisa membayangkan dengan akurat siapa pembacanya, siapa audiens-nya. Penerbit suratkabar, majalah dan pemilik stasiun televisi, membutuhkan survei untuk memperoleh gambaran siapa sebenarnya yang mengkonsumsi informasi yang mereka produksi. Itu pun kerap hanya berupa analisa atas sejumput sampling yang diambil secara acak.

Bagaimana tidak? Jurnalis bekerja di ruang redaksi –yang jarang sekali dikunjungi pembaca-- merumuskan liputan dan menulis berita, untuk dicetak atau disiarkan, melalui sebuah medium yang terpisah dari pemirsanya. Kertas surat kabar dan majalah, atau gelombang frekuensi penyiaran, tak bisa dilengkapi dengan teknologi pintar yang memungkinkan si wartawan mengenali komunitas yang dia layani. Hampir semua perusahaan media hanya punya data mengenai deretan agen distribusi koran dan majalahnya, yang itu pun, kerap tak melaporkan data pembacanya dengan detail dan akurat.

Dengan kata lain, ada keterputusan antara produsen informasi dan konsumen yang dibantu oleh produk informasi itu. Akibatnya, pembaca/pemirsa/audiens hanya dilihat sebagai angka di atas kertas, target yang harus dicapai, tanpa identitas personal yang kompleks dan proyeksi kebutuhan yang spesifik. Tidak ada loyalitas yang dibangun antara media dan pembacanya. Terlebih, jika hubungan keduanya hanya transaksional belaka, seperti yang terjadi pada pembaca retail alias eceran.

Celakanya, keterputusan antara produsen dan konsumen informasi ini tak pernah dianggap sebagai kondisi yang krusial untuk dibahas di industri media karena keberadaan iklan. Pemasukan yang berlimpah dari pemasangan iklan meninabobokan pengelola media dan membuat mereka tak siap ketika, tanpa disangka-sangka, model bisnis mereka dirusak oleh teknologi digital.

***

 

KONEKTIVITAS yang dibangun teknologi digital berangkat dari kemampuan teknologi ini untuk menghubungkan semua orang dengan relatif mudah. Begitu terkoneksi dengan internet, miliaran penduduk Bumi mendadak punya nama, alamat rumah, akun email, nomor telepon, latar belakang, dan sederet informasi personal yang individual dan unik. Mereka menjelma menjadi wajah-wajah yang nyata dan bukan lagi sekadar tumpukan angka-angka.

Miliaran pengguna internet ini tentu juga punya aspirasi, hasrat dan tuntutan. Mereka kini punya kuasa, dan tak mau lagi tunduk pada otoritas-otoritas tradisional yang sebelumnya bisa jadi tak sepenuhnya jujur pada mereka. Mereka tak hanya ingin membaca, melihat atau mendengar, melainkan juga mau dibaca, dilihat dan didengar.

Sampai di sini, banyak orang masih sepakat. Namun, dari titik ini juga, pendapat banyak orang mulai berbeda.

 

Ada kubu yang berpendapat bahwa demokratisasi alat produksi informasi ini identik dengan kekacauan. Ketika semua orang bebas menyiarkan apapun tanpa kurasi, maka yang terjadi adalah kebingungan. Tanpa standar verifikasi, tanpa sistem peringkat untuk mengukur kredibilitas, maka pendapat seorang profesor fisika dan pengangguran putus sekolah bisa dipersepsikan setara.

 

Kubu lain menilai inilah awal era kebebasan berekspresi yang sesungguhnya. Ketika produksi informasi benar-benar berada di tangan massa, tak ada lagi sensor dan bias kepentingan dalam ekosistem informasi publik. Warga bisa memilih informasi apa yang ingin mereka percaya, tanpa kungkungan dogma dan hegemoni makna yang dimanufaktur oleh kuasa-kuasa modal misalnya.

 

Besar kemungkinan kedua kubu ini sama-sama benar. Kok bisa? Karena yang terjadi saat ini sejatinya adalah transisi. Baru separuh penghuni planet ini terkoneksi dengan internet. Apalagi, sebagian mengenal internet pada usia paruh baya, ketika cara pandang dan berpikir mereka sudah terbentuk di era pra-internet.

Jangan heran, jika hiruk pikuk di media sosial kerap dipicu oleh gegar budaya. Banyak orang belum terbiasa memilah mana informasi buat ranah publik dan privat. Tak sedikit yang gagap dengan etika berkomunikasi di dunia maya, ketika kita seolah berbicara dengan layar komputer atau telepon, padahal sedang disaksikan jutaan orang. Apalagi, regulasi soal ranah baru ini juga belum banyak tersedia. Semua serba tabrak lari, eksperimen, dan uji-coba. Belum ada yang final.

 

***

DEMIKIAN juga dengan media. Belum semua suratkabar, majalah, radio dan televisi bermigrasi ke ranah digital. Belum semua mengutamakan produksi informasi mereka untuk platform digital. Model bisnis banyak media juga belum beranjak dari model konvensional: mengandalkan iklan. Akibatnya, yang kerap kita saksikan sekarang adalah media hibrida: campuran model lama dan baru.

 

Di banyak ruang redaksi, jangan heran jika penggunaan kata kunci dan ‘trending topics’ menjadi semacam redaktur baru masih kerap diperdebatkan. Banyak editor belum terbiasa menentukan agenda liputan dan distribusi penempatan reporter berdasarkan agenda berita yang pasti akan dibutuhkan dan dibaca audiens-nya. Dampak negatifnya, kita memang melihat porsi berita-berita mengenai perumusan kebijakan di parlemen, program pengentasan kemiskinan, perubahan iklim atau riset energi terbarukan, menurun drastis jika tak ada skandal atau kasus menghebohkan yang menyeruak ke permukaan. Dalam jangka panjang, ketika newsroom mulai terbiasa dengan banyak alat (tools) digital seperti analytics, pola bercerita (storytelling) baru dan distribusi konten yang ramah media sosial, niscaya isu-isu serius itu akan kembali digarap karena basis pembacanya memang masih ada. 

Pada masa-masa ini juga, kita menyaksikan bagaimana pemasukan dari iklan digital jadi rebutan ribuan media online. Meski jumlahnya hanya recehan jika dibanding fulus yang mengalir ke perusahaan raksasa digital seperti Google dan Facebook, toh kebiasaan untuk mendapat profit dari iklan masih berakar di banyak manajemen media. Yang bikin parah, besar kecilnya pendapatan iklan digital amat tergantung dari besaran audiens atau traffic yang berhasil dipikat. Media digital yang berhasil memperoleh klik pembaca terbanyak menjadi juara, lepas dari kualitas jurnalisme yang mereka pertontonkan.

Inilah sebagian dari sumber kesalahkaprahan yang disinggung di awal tulisan ini. Disrupsi digital dinilai membawa kegaduhan, kerusakan, dan kekacauan, atas industri media karena faktor-faktor di atas. Banyak orang merindukan era ketika jurnalisme penuh dengan kepastian, bergantung pada kewibawaan wartawan dan berpusat pada otoritas redaksi dalam menafsirkan realitas. Bersiaplah untuk kecewa karena era itu tak akan pernah datang lagi.

Jadi bagaimana kita seharusnya memandang media digital?

Menurut saya, media digital pada dasarnya adalah perayaan atas konektivitas yang dimungkinkan oleh internet. Relasi yang sebelumnya terputus itu, kini tersambung kembali dan menciptakan sebuah percakapan besar, interaksi yang intens, antara redaksi dan publiknya.

Pada media digital yang ideal, semua pihak punya otoritas berdasarkan lingkup pengetahuan dan pengalamannya. Dialektika berbagai sudut pandang dan kepingan-kepingan fakta yang dihasilkan dari interaksi itulah, yang pelan namun pasti, mengerucut menjadi tafsir atas realitas yang paling akurat, kredibel dan komprehensif.

Jurnalisme tentu bakal tetap relevan karena tak semua orang punya kemampuan menyusun narasi yang runut, logis dan mudah dipahami, dalam berbagai format. Tak semua orang punya akses dan kemampuan untuk menelusuri, mengkurasi, dan menganalisa data, atau menginvestigasi pelanggaran dari awal sampai tuntas. Kompetensi melakukan periksa fakta atau fact-checking juga tak dimiliki setiap orang yang bukan wartawan, padahal keterampilan itu urgen untuk memilah disinformasi dan misinformasi.

Karena itulah, media digital hanya bakal bertahan jika ia hidup dari audiensnya. Media yang berhasil menjawab kebutuhan informasi yang spesifik dari pembacanya yang akan tumbuh dan berkembang. Sebab, relasi baru antara media dan pembacanya di era digital, memang tak melulu soal layanan berita, tapi juga soal bisnis dan aspek komersial lainnya.

Tentu regulasi yang ada harus menyesuaikan diri dengan realitas baru ini. Definisi perusahaan media harus diperluas, mencakup juga perusahaan teknologi yang memproduksi konten dari penggunanya (users generated content). Seperti tren yang kini sudah berkembang di Eropa, perusahaan media sosial harus bertanggungjawab atas kualitas informasi yang dipercakapkan di platform-nya. Mereka harus tunduk pada kode etik informasi yang sehat, dan bisa didenda jika membiarkan hoaks merajalela.

Hanya dengan cara itu, teknologi media digital bisa menjadi berkah, dan bukan bencana, buat kita semua. (*)

Ikuti tulisan menarik Wahyu Dhyatmika lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB