x

Iklan

Bagja Hidayat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Oligarki di Sekitar Jokowi

Tampilnya Ma’ruf Amin menunjukkan dua hal: terkepungnya Jokowi oleh oligarki atau ketidakpercayaan diri menggaet pemilih muslim.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ma’ruf Amin menjadi calon wakil presiden yang akan mendampinginya dalam pemilu 2019, menunjukkan Jokowi berada dalam kepungan oligarki. Ia tak berkutik oleh kepentingan dan keinginan elite-elite partai pendukung yang menyorongkan pria berusia 75 ini menjadi wakilnya.

Alasan memilih mantan Ketua Komisi Fatwa MUI ini kian mengukuhkan pemilihan presiden hanya sekadar hura-hura untuk berkuasa. Jika kita kutip pernyataan Ketua PPP, Ma’ruf dipilih karena punya elektabilitas dan akseptabilitas yang tinggi di kalangan umat Islam. Sumbernya adalah, jika kita percaya Romahurmuziy, pendapat 2.500 pemimpin daerah.

Tak jelas bagaimana kalkulasi itu dibuat. Mungkin survei internal partai-partai “yang dibuat tidak untuk konsumsi publik”. Mungkin melalui diskusi panjang dengan ribuan orang. Entahlah. Yang punya kuasa bisa punya dalih apa pun untuk melegitimasi alasan-alasan di balik keputusan politik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ciri oligarki adalah memaksakan kepentingan segelintir orang ke dalam pilihan-pilihan masyarakat yang menumpang dalam sistem demokrasi. Kita disorongkan pilihan yang terbatas dari sebuah kompromi kepentingan para elite politik. Demokrasi Indonesia memang baru sebatas itu: kompromi kepentingan, diikuti bagi-bagi kue kekuasaan, dalam sebuah proyek bersama yang disebut negara.

Jika benar ini yang terjadi, Jokowi hanyalah boneka dari oligarki itu. Para oligark memakai Jokowi untuk saling berbagi kepentingan. Dan Jokowi mungkin juga senang karena disorongkan menjadi corong untuk berpura-pura berkuasa menjadi presiden. Wayang sudah klop dengan keinginan dalangnya.

Atau mungkin juga terlalu naif menganggap Jokowi terlihat pasif dan payah. Barangkali ini juga skenario dia yang sesungguhnya: berkuasa kembali dengan segala cara sehingga ia akan menempuh apa pun jalan menuju ke sana. Maka alasan elektabilitas dan akseptabilitas sungguh argumen jujur untuk menunjukkan tujuan koalisi politik sebenarnya yang mencari kuasa dan mendapat gula-gulanya.

Sepanjang kita dengar pidato Jokowi dan alasan-alasan partai pendukungnya di media, tak ada hal-hal besar yang melandasi pemilihan calon wakil presiden.

Bagaimana pun Jokowi adalah inkumben yang punya peluang sekali lagi memimpin Republik yang luas ini. Ia punya kesempatan lima tahun ke depan menuntaskan janji-janjinya membangun Indonesia yang belum terealisasi. Calon wakil presidennya tentu punya peluang menggantikannya di tahun 2024.

Apalagi Jokowi berasal dari PDI Perjuangan, partai pemenang pemilu, partai  lama yang punya pemilih fanatik, tak seperti SBY ketika memilih Boediono jadi wakilnya di periode kedua pada 2009. Demokrat bukan partai pemenang pemilu dan organisasi berpengalaman yang bisa mempertahankan pemilih untuk mendapat tiket mencalonkan kadernya menjadi presiden setelah kekuasaan SBY habis.

Lima tahun lagi, Ma’ruf berusia 80. Tentu saja ini anomali dalam geopolitik ketika di negara lain, para pemilih memberi kesempatan kepada anak muda memimpin negaranya. Prancis, Kanada, adalah contoh-contoh negara beradab yang mempertunjukan politik yang gembira dan santai melalui anak-anak muda yang cakap dalam komunikasi politik.

Ada Mahathir Mohammad, memang, di Malaysia yang kembali jadi Perdana Menteri di usia 91. Tapi Mahathir adalah kecelakaan sejarah politik Malaysia karena kekuasaan korup Najib Rajak. Orang Malaysia bersatu melawannya memakai Mahathir melalui koalisi partai-partai. Di Indonesia, kita tak memerlukan Ma’ruf Amin untuk melawan tirani yang berkuasa.

Akseptabilitas yang disebut Romy itu merujuk pada status Ma’ruf sebagai kyai NU—organisasi massa Islam terbesar dan tertua. Ma’ruf dianggap akan diterima oleh pemilih muslim karena dia ulama. Padahal, tak semua orang akan memilih pemimpin berdasarkan agamanya. Seperti kata guru besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, problem Indonesia tak cukup bisa diselesaikan oleh ilmu fiqih, ilmu agama.

Indonesia memerlukan orang yang cakap dalam ekonomi dan komunikasi internasional. Sebab di era globalisasi dan disrupsi teknologi seperti sekarang, hubungan dagang dan kemampuan bernegosiasi di pasar terbuka dengan negara lain amat vital. Tanpa pemimpin yang punya kemampuan itu, Indonesia akan terus menjadi negara yang kaya akan sumber daya alam tanpa bisa mengolahnya secara efektif dan efisien.

Jokowi memerlukan partner yang tangguh dalam bidang-bidang itu, jika benar ia—seperti dalam pidatonya tadi malam—ingin mewujudkan mimpi besar membangun Indonesia yang berkeadilan. Memilih Ma’ruf Amin adalah ironi dari “mimpi besar” yang disebutnya itu.

Mengusung Ma’ruf Amin mungkin bisa menguntungkan secara elektoral—berhala baru dalam politik Indonesia hari ini. Jokowi memerlukan orang yang relatif tak punya masalah terutama di kalangan pemilih muslim. Sejak pemilu 2014, ia selalu merasa rentan dan lemah untuk isu ini.

Tim Prabowo Subianto yang menyerang segi ketaatannya beragama tak bisa ia lawan dengan membalikkan persepsi kampanye itu. Padahal, jelas-jelas Jokowi muslim, sudah berhaji, dari keluarga sederhana yang paham ajaran-ajaran dasar agama Islam, serta seumur hidup berdagang mebel. Jokowi tak bisa melawan serangan bahwa ia menistakan umat Islam. Ia memilih takluk dan bersekutu pada serangan itu.

Terutama sejak demonstrasi 411 tahun 2016 yang mengirim Ahok, partnernya yang paling pas, ke dalam penjara dengan tuduhan yang didorong oleh kerumunan melalui demo-demo. Ma’ruf Amin, sebagai ketua perkumpulan ulama se-Indonesia, adalah orang yang mengesahkan tuduhan penistaan agama itu dengan fatwa yang melegitimasi desakan orang banyak tersebut.

Dengan pilihan terhadap Ma’ruf Amin itu, sesungguhnya, ini adalah kemenangan kampanye tim Prabowo yang memakai isu SARA sebagai bahan bakar meruncingkan perseteruan politik selama lima tahun terakhir yang memualkan ini. Alih-alih terus melawannya, yang akan menjadi ujian kita dalam politik, Jokowi takluk menyerah terhadapnya. Hasrat kembali berkuasa mengalahkan integritas politik yang terlihat menggembirakan ketika ia berduet dengan Ahok di Jakarta pada 2012. Kekuasaan, kata seorang ahli politik, seperti candu yang membuat kita ketagihan terus ada di dalamnya.

Sebab, sebelum 2014, sebelum Prabowo menyewa Rob Allyn sebagai penasihat strategi kampanyenya, urusan agama dan kepercayaan tak seruncing sekarang. Pada 2009, SBY tak menjadikan agama sebagai pertimbangan utama ketika memilih Boediono—ahli ekonomi yang mumpuni tapi kurang populer—melawan Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto.

Seandainya isu SARA dipakai dalam pemilihan kala itu, SBY mungkin kalah. Ia akan dipersepsikan sebagai sekuler yang liberal—dua hantu jahat di Indonesia—karena melawan pasangan nasionalis dan relijius—jika melihat posisi Kalla yang dekat dengan kalangan NU dibanding calon-calon lain. Toh, SBY menang dengan telak. Massa tengah mengambang, yang tak ikut arus ultranasionalis dan agama, memilihnya kembali menjadi presiden.

Kini Jokowi menghadapi ketakutan tak dipilih oleh umat Islam karena tak mampu menangkis kampanye SARA yang terus dihidupkan sejak 2014. Ia pun menyerah pada prediksi politik dengan memilih Ma’ruf Amin sebagai calon wakilnya, terseret perang wacana dari kubu Prabowo yang menggadang-gadang ulama untuk mendampinginya. Prabowo akhirnya memilih Wakil Gubernur Jakarta Sandiaga Uno sebagai calon wakil presiden.

Jokowi terlalu takut dan tak percaya diri dengan modal politiknya yang utama: asal-usul keluarganya seperti kebanyakan orang Indonesia, popularitasnya yang merakyat, program-programnya dalam banyak pembangunan infrastruktur. Meski kebijakan ekonomi dan cara dia mengendalikan polisi dan tentara serta pemberantasan korupsi masih mengecewakan, toh rival-rivalnya juga belum teruji benar kemampuannya dalam soal-soal itu.

Jokowi mengesampingkan modal kampanye itu, dengan fokus pada meningkatkan elektabilitas di kalangan pemilih muslim. Keriuhan politik Indonesia hari-hari ini terasa mundur ke tahun-tahun awal kemerdekaan, ketika agama masih jadi urusan sentral dalam perlombaan menggapai kekuasaan.

Foto-foto : Tempo

 Ilustrasi-ilustrasi: Kendra Paramita

Tulisan ini sudah tayang di Catataniseng.com

 

Ikuti tulisan menarik Bagja Hidayat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB

Terkini

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB