x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengukur Basis Kekuatan Dua Kubu di Pilpres 2019

Pemilu yang melibatkan dua kubu, jangan diposisikan sebagai kontestasi atau pertempuran vis-a-vis atau tete-a-tete yang bernuansa hitam-putih.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Meski sangat ringkih, satu-satunya data statistik yang bisa dijadikan acuan awal untuk mengukur basis kekuatan dua kubu di Pilpres 2019 adalah komposisi perolehan suara Parpol 2014, tentu dengan catatan ada beberapa Parpol baru pada Pemilu 2019 (Perindo, Berkarya, Garuda, PSI) dan juga parpol peserta Pemilu 2014 yang tidak lolos parliamentary treshold 2014 (PBB, PKPI).

Dari data tersebut (lihat foto ilustrasi), Parpol koalisi pendukung Jokowi-Ma’ruf jauh lebih unggul (62 persen). Sementara Parpol pendukung Prabowo-Sandi hanya mengantongi 38 persen, dengan mengasumsikan PBB ikut bergabung. Selisihnya 24 persen. Artinya, kubu Prabowo-Sandi membutuhkan suara baru sekitar 12 persen untuk dapat bersaing ketat. Dan ini bukan pekerjaan mudah. Jangan heran, sebagian orang sudah berkesimpulan bahwa di atas kertas, pertarungan sudah selesai: kubu Jokowi-Ma’ruf unggul dan menang.

Persoalannya adalah sehari setelah deklarasi dua bakal Capres-Cawapres (Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi), tidak/belum ada data survei yang “aman” dijadikan acuan untuk mengukur basis kekuatan masing-masing dari kubu tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebab, secara metodologis, sesaat setelah deklarasi Capres-Cawapres, pada 10 Agustus 2018, kedua kubu tersebut harus secara otomatis ditempatkan pada posisi imbang dulu: 0:0 atau 50:50. Karena semua survei yang diselenggarakan sebelum deklarasi, yang melibatkan kandidat lain sudah kadaluarsa dan karena itu harus “diabaikan”. Karena survei selanjutnya hanya akan memperhadapkan dua pilihan, secara head-to-head antar dua kubu. Tegasnya, pertarungan sesungguhnya baru saja dimulai, setelah deklarasi.

Dan periode 8 bulan ke depanlah (mulai 11 Agustus 2018 sampai hari pencoblosan 17 April 2019), yang akan menentukan bandul keunggulan akan berayun ke mana. Selama periode itu, segala kemungkinan bisa terjadi. Dan saya pikir, dengan metode apapun, yang rasional ataupun irasional, masih terlalu dini untuk memperkirakan hasilnya akan seperti apa. Gambaran sinyal awalnya baru akan mulai terbaca setelah muncul dua-tiga-sampai-lima survei selama satu-dua bulan ke depan.

Karena itu, sebagai publik pemilih, ada dua catatan dini yang harus ditanamkan dalam benak setiap individu:

Pertama, bahwa setiap Pemilu yang melibatkan dua kubu, jangan diposisikan sebagai kontestasi atau pertempuran vis-a-vis atau tete-a-tete yang bernuansa hitam-putih. Terkait ini, menarik menyimak pernyataan Presiden Jokowi bahwa Pemilu harus “...menjadi perayaan yang penuh kegembiraan dan semangat demokrasi”.

Kedua, pada akhirnya, pasti akan ada pemenang dan yang kalah. Maka pernyataan “siap menang dan siap kalah” jangan juga hanya di mulut saja. Bukan pernyataan verbatim saja. Tapi harus disosialisasikan kepada semua individu di masing-masing kubu secara massif dan sistematis, agar menjadi sikap mental dan perilaku kolektif dalam melangsungkan dan menyongsong hasil Pemilu 2019.

Hanya dengan begitu, kita bisa berharap Pemilu 2019 akan berlangsung dengan penuh kegembiraan.

Syarifuddin Abdullah | 11 Agustus 2018/ 29 Dzul-qa’dah 1439H

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB