x

Iklan

Putu Suasta

Politisi Demokrat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menakar Institusi Politik dan Ekonomi Indonesia di Usia ke-73

Refleksi atas Dirgahayu ke-73 Indonesia

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pidato Presiden Jokowi dan ketua MPR, Zulkifli Hasan, di kompleks parlemen kemarin (16/07/2018) telah berubah menjadi alat kampanye politik antara penguasa dan oposisi. Kendati konteksnya adalah menyongsong perayaan HUT Indonesia ke-73, aroma persaingan Pilpres antara kubu petahana dan kubu penantang lebih menonjol daripada refleksi serius, tulus dan substantif atas perjalanan bangsa ini selama 73 tahun mengisi kemerdekaan.

Pidato Jokowi bersifat apologetis yakni pembelaan atau pembenaran atas berbagai hal yang belum berhasil dicapai bangsa ini. Upaya itu dilakukan sambil menyajikan beberapa data, angka dan informasi keberhasilan pembangunan di bawah pemerintahannya. Sebaliknya, Zulkifli Hassan menyampaikan pidato yang bersifat korektif atas berbagai klaim keberhasilan pemerintah.

Cukup disayangkan bahwa kedua pemimpin tersebut tidak mampu menghadirkan evaluasi yang menyeluruh (komprehensif) untuk mengukur sejauh mana kita telah melangkah sebagai bangsa yang telah berusia 73 tahun dalam menggapai cita-cita kemerdekaan. Angka-angka dan data-data pembangunan tidak representatif dalam mengukur dan merefleksikan capaian-capaian sebuah bangsa. Untuk itu, seharusnya dilakukan sebuah evaluasi terhadap bangunan-bangunan kebangsaan yang lebih bersifat fundamental. Secara lebih konkrit,  angka-angka dan data-data pembangunan dalam satu tahun atau suatu periode tertentu merupakan output sementara (bukan representasi final) dari kinerja institusi politik dan institusi ekonomi.  Maka evaluasi yang konprehensif hanya bisa dilakukan melalui penilaian secara langsung terhadap institusi politik dan institusi ekonomi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pembangunan Berkelanjutan

Para ilmuan ekonomi semakin sadar bahwa kemajuan sebuah negara ditentukan oleh efektifitas institusi politik dan institusi ekonomi yang bekerja di negara tersebut.  Hal ini dibuktikan, misalnya oleh Prof. Daron Acemoglu dari MIT dan Prof. James A Robison dari Universitas Harvard, melalui penelitian mereka terhadap sejarah politik dan sejarah ekonomi dalam kurun waktu 400-500 tahun terakhir. Hasil penelitian mereka dituangkan dalam sebuah buku Why Nations Fail: the Origins of Power, Prosperity and Poverty (2002).

Berbeda dengan ilmuan ekonomi lainnya, kedua  Profesor  di atas tidak memasukkan kekayaan alam sebagai faktor yang menentukan kemajuan sebuah negara. Mereka menunjukkan banyak contoh negara kaya akan sumber daya alam tetapi gagal dalam pembangunan. Kegagalan tersebut bersumber dari tidak efektifnya institusi politik dan institusi ekonomi untuk menyokong pembangunan yang berkelanjutan.

Berkaca Pada Orde Baru

Sejalan dengan tesis di atas, kita dapat berkaca pada pembangunan di era Orde Baru yang berakhir dengan sebuah anti-klimaks di penghujung abad ke-20. Kita tahu, Orde Baru membawa perbaikan siginifikan dalam pembangunan ekonomi Indonesia yang carut marut di masa Orde Lama. Kurang lebih 3 dasawarsa Orde Baru dapat mengklaim berbagai keberhasilan pembangunan yang dapat dibuktikan dengan berbagai data-data terpercaya. Tidak sedikit lembaga internasional yang memberi apresiasi terhadap kemajuan pembangunan Indonesia terutama di dasawarsa awal Orde Baru. Hantaman krisis 98 yang merontokkan ekonomi Indonesia hingga ke titik terendah kemudian membuka mata banyak orang bahwa pembangunan di masa Orde Baru tidak dijalankan di atas fundamen yang kokoh sehingga sangat rapuh dan sewaktu-waktu dapat berbalik ke titik ekstrem.

Sumber daya alam yang kaya dan tenaga kerja murah serta berlimpah, didukung dengan open policy terhadap investasi asing membuat Indonesia menjadi salah satu tujuan investasi paling favorit di masa Orde Baru. Derasnya dana asing yang masuk ke Indonesia dan geliat pembangunan industri baik oleh korporasi domestik maupun luar negeri, membuat roda ekonomi indonesia berlari kencang. Karena itu pembangunan di masa Orde Baru dapat dijalankan tanpa pernah menghadapi hambatan ekonomi yang serius. Pemerintah dapat dengan mudah mendapatkan insentif-insentif ekonomi untuk membiayai pembangunan.

Tata kelola institusi politik dan insititusi ekonomi yang sangat buruk di masa Orde Baru membuat pertumbuhan ekonomi yang sempat meroket tersebut tidak dapat dipertahankan dan justru membawa Indonesia pada titik balik berongkos mahal. Orde Baru tidak mampu membangun institusi politik dan ekonomi yang bersifat inklusif sehingga  gagal mempertahankan capaian-capaian yang sempat ditorehkannya.

Institusi yang Inklusif

Institusi politik yang inklusif akan membuka ruang pada proses meritokrasi. Secara sederhana dapat diterjemahkan, institusi politik inklusif akan memberi peluang pada orang-orang terbaik untuk mengisi pos-pos pemerintahan dan pos-pos lain yang membutuhkan proses politik. Dengan demikian birokrasi dapat berjalan dengan baik karena dijalankan orang-orang yang memiliki keahlian dan mememiliki kualitas moral yang memadai untuk menjalankannya. Orde Baru secara praktis mengabikan prasyarat ini sehingga menyuburkan oligarki politik.

Di masa Orde Baru, para politisi akan berjuang lebih keras untuk mendekat ke lingkaran oligarki daripada membekali diri dengan kualitas-kualitas yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas politiknya. Karena itu, insitusi politik Orde Baru bersifat sangat eksklusif. Hanya dapat diakses oleh pihak-pihak yang dapat memasuki oligarki Orde Baru. Oligarki politik kemudian melahirkan oligarki ekonomi.

Institusi politik yang bersifat eksklusif memunculkan keraguan para pelaku ekonomi untuk menjalankan persaingan sehat, tidak yakin untuk mengedepankan kerja keras dan merasa tidak nyaman untuk melakukan inovasi-inovasi teknologi. Tidak ada jaminan bahwa apa yang dicapai pelaku ekonomi melalui kerja keras akan mendapat perlindungan negara dari sabotase pihak lain. Tidak ada jaminan bahwa temuan-temuan teknologi atau inovasi-inovasi yang dijalankan pelaku ekonomi mendapat perlindungan negara dari klaim pihak lain yang sesungguhnya tidak berhak.

Karena itu, dalam sebuah institusi politik eksklusif kemajuan usaha ekonomi hanya dapat dicapai dengan menjadi bagian dari oligarki politik. Maka praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) menjadi proses paling logis yang mesti ditempuh oleh siapapun untuk bisa unggul dalam ekonomi. Karena hanya segelintir orang dapat berhasil menjalankan proses ini, maka hanya segelintir orang yang dapat menikmati konsesi bisnis melalui relasi-relasi politik. Karena itu terjadilah pemusatan ekonomi dalam lingkaran sebuah oligarki. Dengan demikian menjadi jelas mengapa ekonomi Orde Baru sangat rapuh kendati berhasil menunjukkan data-data kemajuan selama kurang lebih tiga dasawarsa.

Maka pertanyaan yang mesti dijawab dalam merefleksikan 73 tahun Kemerdekaan Indonesia adalah, apakah institusi politik dan ekonomi kita semakin inklusif atau sebaliknya? Pertanyaan ini menjadi penting diajukan di tengah gaung keberhasilan pembangunan ekonomi dan rejim infrastruktur yang dijalankan Jokowi. Jawaban atas pertanyaan tersebut akan menjadi dasar apakah pembangunan yang kini berlangsung memiliki visi jangka panjang (sustainable) sebagaimana ditegaskan Jokowi dalam pidatonya, atau justru berpotensi membawa bangsa ini  ke titik balik berikutnya.

Ikuti tulisan menarik Putu Suasta lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu