Seseorang yang mestinya menang dalam suatu kontestasi publik, bisa saja kalah telak akibat pendukungnya yang ngawur dan tidak cerdas membelanya. Mungkin karena panik atau sekedar menjalankan perintah tanpa dedikasi.
Sebaliknya, seseorang yang diasumsikan sudah kalah bahkan sebelum bertanding, bisa saja meraih simpati dan menang dengan cara sederhana: menelanjangi perilaku absurd dan ketidakcerdasan para pembela kubu lawan.
Sejarah Islam mencatat akhir cerita dari pertarungan antara “kelicikan” kelompok Mu’awiyah versus “kepolosan” kelompok Ali bin Abu Thalib pada pertemuan arbitrase (tahkim) di Dumatul-Jandal pada tahun 37 Hijriyah (658M).
Sebuah arbitrase yang kemudian terabadikan sebagai awal dari Dinasti Umayyah, yang bertahan sekitar 370 tahun, dan cucu-cicitnya sukses merentangkan wilayah kekuasaan ke daratan benua Eropa: Cordoba, Spanyol.
Konon, kebohongan dan kelicikan yang hampir sempurna akan sulit ditelanjangi. Karena hanya kebohongan tanggung yang enteng dilucuti kedoknya. Dan publik memiliki kecerdesan kolektif untuk mendeteksi pembohong ecek-ecek.
Syarifuddin Abdullah | 24 Agustus 2018/ 12 Dzul-hijjah 1439H
Sumber foto: bintangnusa.com
Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.