x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Petualangan Don Quixote

Kisah tentang absurditas perjuangan manusia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Petualangan Don Quixote

Judul Asli: Don Quixote de la Mancha

Penulis: Miguel de Cervantes

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penterjemah: Muajib

Tahun Terbit: 2017

Penerbit: Immortal Pubhisher

Tebal: 124

ISBN: 978-602-6657-62-6

 

Pertama kali saya berkenalan dengan Don Quixote adalah saat SMP. Saya mengenalnya melalui gambar kesatria dengan pakaian perang, membawa tombak, naik kuda kurus sedang menghadapi kincir angina. Di belakangnya seorang gendut naik keledai mengiringinya. Saya tidak ingat pasti gambar tersebut di buka apa. Sejak perkenalan pertama itu saya semakin sering mendengar atau membaca nama Don Quixote. Dalam diskusi-diskusi, artikel-artikel di koran dan majalah atau buku-buku, nama orang konyol ini sering dikutip. Nama Don Quixote disebut sebagai bahan candaan, diskusi santai, pembahasan politik sampai bahan diskusi filsafat yang njlimet. Orang-orang beken pun tak melewatkan menyebutkan nama tokoh aneh ini. Tak kurang Gunawan Muhamad, Sindhunata, Romo Mangunwijaya, Albert Camus dan Dostoevsky pernah menyebut Kesatria dari Mancha ini.

Novel yang terbit di abad 17 ini dianggap mengilhami banyak penulis aliran eksistensialis barat. Gagasan bahwa manusia itu absurd sedikit banyak terpicu oleh novel pendek karya Miguel de la Cerpantes ini. Beberapa pihak bahkan mengklaim novel ini sebagai pelopor sastra modern Eropa.

 

Namun sejak melihat gambar sang kesatria tersebut saya belum pernah membaca kisahnya secara utuh.

Baru saat saya berkunjung ke Toko Buku Gramedia di Kota Tarakan, Kalimantan Utara, saya menemukan buku berjudul “Petualangan Don Quixote.” Toko Buku Gramedia di Tarakan adalah satu-satunya toko buku di Provinsi Kalimantan Utara. Satu-satunya? Ya satu-satunya! Aneh ya, kok ada provinsi yang hanya punya satu toko buku. Semoga Toko Buku Gramedia bukan sedang memerankan Don Quixote yang absurd dalam mengubah masyarakat Kaltara menjadi suka membaca.

Saya bahagia ketika mendapatkan buku ini. Akhirnya saya bisa membaca lengkap kisah Don Quixote. Saya senang karena buku ini ditulis dengan Bahasa Indonesia. Bahasa yang saya mengerti dengan baik. Saya tidak bisa berbahasa Spanyol, bahasa asli dari karya Miguel de Cervantes ini.

 

Novel ini berkisah tentang kegilaan Alonzo Quinjano akibat terlalu banyak membaca buku-buku petualangan para kesatria. Gagasan-gagasan kepahlawanan dan kehebatan para kesatria yang ada di buku-buku yang dibaca itu membuat tuan tanah ini terkagum-kagum. Ia memutuskan untuk menjadi kesatria yang membela kebenaran melalui peristiwa-peristiwa yang heroik. Dalam novel pendek ini Cerpantes menceritakan petualangan Don Quixote yang sangat absurd.

 Ke-absurd-an Don Quixote sudah muncul dari sejak bab pertama. Untuk benar-benar menjadi seorang kesatria, ia harus memiliki kuda dan seorang gadis pujaan. Maka diciptanya kudanya yang kurus menjadi Rozinante -kuda tunggangan sang kesatria. Ia pun menciptakan tokoh Dulcinea Del Toboso dari seorang gadis anak petani di kampungnya. Ia melengkapi diri dengan pakaian perang. Ia menganggap penginapan sebagai kastil dan para pengembara yang ditemuinya sebagai para penjahat yang harus ditaklukkan. Menganggap serombongan domba sebagai pasukan tantara yang harus diperanginya. Meski sering kali Don Quixote mengalami nasip malang dalam petualangannya, bahkan sering luka parah dan hampir mati, namun ia tak pernah mau berhenti.

Petualangannya yang penuh ketololan baru terhenti saat pada akhirnya ia menyadari bahwa semua yang dilakukannya adalah sebuah ilusi belaka. Namun kesadarannya tersebut membuat semangat hidupnya hilang. Alonzo Quinjano akhirnya meninggal dalam kesadaran bahwa apa yang telah dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Sebuah kesia-siaan.

Don Quixote de la Mancha ditulis di masa gagasan renaisan muncul dan pendapat bahwa ajaran agama Kristen untuk membawa kebaikan bagi manusia mulai dipertanyakan. Itulah sebabnya novel ini berani menampilkan kisah kegilaan. Kisah manusia yang “bertanggung jawab” atas keyakinan/pendapatnya sendiri. Cervantes mau menunjukkan bahwa manusia bebas adalah manusia yang berani menjalani ide-idenya sendiri, meski ide-ide itu tolol, gila dan absurd. Tapi kalau kita melihat akhir cerita dimana kesadaran akan kegilaan adalah sebuah kesalahan, menunjukkan bahwa sang penulis masih gamang untuk benar-benar menolak ajaran kasih.

Kegilaan bukan hanya bisa terjadi karena keracunan buku kepahlawanan yang heroik. Kegilaan bisa terjadi karena banyak hal. Manusia bisa mengalami kegilaan karena kekuasaan, harta benda, ideologi, paham kebenaran bahkan ajaran agama. Kita menemukan arwah Don Quixote dalam diri Hitler. Kita menemukan arwah Don Quixote dalam tubuh para konglomerat yang tanpa ampun menggusur orang kecil dan merusak lingkungan. Kita menemukan arwah Don Quixote dalam diri para teroris yang melakukan bom bunuh diri. Sayang sekali para Don Quixote baru ini tidak sampai ke bab terakhir, yaitu menyadari kegilaannya.

Semoga semakin banyak orang yang membaca petualangan Don Quixote sampai bab terakhir, sehingga kegilaan yang absurd menjadi semakin berkurang.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler