x

Iklan

Luhur Pambudi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Politik Ekstra Parlementer Kampus (1)

BETAPA TIDAK MENARIK POLITIK EKSTRA PARLEMEN KAMPUS BELAKANGAN INI (1)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Desire politik mahasiswa; kemarin, kini dan esok hari

Sepertinya kita harus mengulang kembali argumen, slogan, ataupun ungkapan pembakar semangat yang cenderung provokatif selama berlangsungnya orientasi mahasiswa baru. Sekalipun, ada beberapa mahasiswa yang tak memahami ini, bahwa setelah lulus dari sekolah menengah akhir atau kejuruan, mereka yang memutuskan untuk melanjutkan proses belajar di perguruan tinggi, dihari pertama hingga hari kedua masa orientasi pengenalan kampus berlangsung, mendadak identitas diri mereka (dalam paradigma antropologi kampus) berubah menjadi warga negara mahasiswa. Mungkin bagi mereka yang tak pernah mendengar ini, akan terasa asing mendengarnya, sedikit tercengang karena aneh, bahkan pada fase paling parah menganggap ini semua adalah mustahil atau gak penting. Tapi tak apa? Mengingat, oleh senior-senior mereka di berbagai fakultas, mungkin saja, tidak pernah sama sekali diberitahu tentang apa itu antropologi kampus? Dan, hal itu wajar, patut dimaklumi, agar tidak menyalahkan si adik mahasiswa baru itu, atas ketidaktahuan mereka, yang sebenarnya adalah akibat dari bodohnya senior-senior mereka.

Namun, bagi mereka yang sebelumnya telah mendengar dan mengetahui hal ini, mungkin akan bosan membacanya, kendati saya tidak bermaksud memaksa anda untuk membaca hingga tuntas, tapi yakinlah, kebenaran dari mana lagi yang akan kita dapati jika tidak dengan merefleksikan ini bersama-sama. Bahwa, kampus adalah miniatur dari sebuah negara. Dikarenakan ini semua hanya miniatur dari sebuah negara sungguhan, dan menjadi prototipe negara bangsa Indonesia. Terlihat disana-sini secara suprastruktur dan infrastruktur kurang lebih sama dan tak ada beda, jika hendak kita bandingkan. Kendati ada beberapa hal yang mungkin tidak dapat kita tiru dari konsep ketatanegaraan yang sebenarnya. Tapi sadarilah bahwa, untuk apa semua konstelasi yang begitu rumit, ribet, terkadang menjemukkan ini harus ada menghiasi kehidupan kita selama 8 semester di perguruan tinggi. Nyatanya, tidak lebih dari upaya edukasi politik bagi anda, saya dan kita semua.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Entah kapan itu, konsepsi bernegara khas gaya miniatur negara kampus mulai diterapkan di perguruan tinggi, jika ada salah satu dari kita yang ingin memberitahu penulis, tulisan balasan untuk mengkritisi tulisan ini, sangat saya butuhkan. Konstelasi suprastrukur contohnya, negara kita menganut asas demokrasi dan ideologi Pancasila, mengingat sejarah yang mengular dibelakangnya menjadi salah satu konstelasi suprastruktur yang kita tiru pula di dalam kampus. Prinsip trias politica; eksekutif, legislatif dan yudikatif yang dimetafisikakan oleh Montesque (1689-1755) menjadi kerangka aplikatif agar dapat didefinisioperasionalkan kemudian dapat kita terapkan di dalam mengatur poros pemerintahan negara mahasiswa.

Di UIN Sunan Ampel Surabaya, badan  eksekutif dalam pemerintahan mahasiswa bernama Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA). Menggunakan istilah dewan dikarenakan pemerintahan DEMA di kampus UIN Sunan Ampel Surabaya berisikan para ketua-ketua yang dikomandoi oleh ketua umum. Pembacaan dalam tatanan wilayah, DEMA UIN Sunan Ampel Surabaya terdiri dari 2 pembagian; DEMA di tingkat universitas dan DEMA di tingkat fakultas-fakultas. DEMA selaku badan eksekutif negara kampus, juga memiliki tugas dan fungsi yang sama sebagaimana badan eksekutif di negara Indonesia, yakni menjadi kepala, pimpinan dan wajah dari pemerintahan dihadapan warga negaranya. Adapun cara pengistilahan yang khas dikalangan mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, menyebut mereka (mahasiswa) yang terpilih menjadi ketua DEMA universitas dengan sebutan Presiden Mahasiswa, dan mereka yang terpilih menjadi ketua DEMA di tingkat fakultas dengan sebutan Gubernur Mahasiswa fakultas. Hal ini menarik kendati, penyebutan diatas tidaklah dibenarkan secara statuta hukum perundang-undangan mereka yang tertulis di Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD dan ART), namun tradisi dan nilai-nilai kebiasaan ini sulit untuk dihilangkan, mengingat betapa hangatnya tradisi itu hidup dikalangan mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya.  

Setelah badan eksekutif. Untuk badan legislatif yang mungkin kita kenal di tatanan pemerintahan negara Indonesia dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan lain sebagainya. Di negara kampus UIN Sunan Ampel Surabaya, fungsi legislatif sebagai pembuat, perembuk sekaligus penggodok aturan perundang-undangan negara, diistilahkan oleh sebutan Senat Mahasiswa (SEMA). Sama halnya dengan DEMA yang memiliki 2 bentuk pembagian. SEMA-pun demikian ada pula yang berada di tingkat universitas dan fakultas.

Kemudian, badan yudikatif yang mungkin kita kenal di negara Indonesia dengan Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Konstitusi (MK), nyatanya di UIN Sunan Ampel Surabaya, badan yudikatif yang menjalankan fungsi pengawasan penerapan undang-undang badan eksekutif, tidak pernah ada. Semula saya pikir, mungkin saja prinsip trias politica yang diterapkan oleh pemerintahan mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya bukanlah mengadaptasi dari pemikiran Montesque. Karena ada pemikir atau filsuf politik lain bernama John Locke memberikan konsepsi yang cukup menarik tentang bentuk ketatanegaraan secara  suprastruktur tidaklah harus mengadaptasi pemikiran Montesque, meskipun hal itu bukan kritik dari John Locke. Bahwa cukup dengan 2 entitas saja yang mengatur pemerintahan, yakni eksekutif dan legislatif. Jika demikian, lantas bagaimana dengan fungsi pengawasan yang lazimnya dilakukan oleh yudikatif? Dan bagaimana dengan jalannya pemerintahan, jika fungsi itu tidak ada pada penerapannya? John Locke ternyata tidak menghilangkan fungsi itu, justru menyederhanakan fungsi yudikatif masuk kedalam sekaligus menjadi fungsi pula di badan legislatif. Semula saya pikir demikian, nyatanya pemerintahan negara kampus UIN Sunan Ampel Surabaya juga tidak benar-benar mengadaptasi pemikiran ketatanegaraan dari John Locke. Hal itu dapat kita lihat dalam draf ADART, tidak secara implisit dalam fungsi SEMA selalu mengawasi DEMA yang menjalankan perannya. Hanya sebatas pengawasan secara formalitas atau mungkin cenderung politis. Dan sebenarnya bukan tanpa efek samping jika penerapan ketatanegaraan kampus UIN Sunan Ampel Surabaya tanpa landasan berfikir sama sekali. Hal negatif itu akan terjadi ketika, dalam situasi yang pelik yang tentunya tidak kita inginkan di proses pemilihan umum terdapat suatu bentuk kecurangan yang dapat dibuktikan praduganya secara hukum, terlepas dari tendensi politik. Pertanyaannya adalah, akan dibawa kemana perkara itu untuk diperbincangkan, diperembukkan dan dimusyawarahkan dengan akal pikiran sehat agar segera ditemukan penyelesaiannya. Itu pertanyaan lama dari generasi mahasiswa dulu hingga sekarang.

Setelah kita berbicara tentang apa itu suprastruktur negara kampus. Kini kita mulai geser sedikit arah perbincangan kita tentang siapa orang-orang (mahasiswa) yang bisa menjadi orang nomor satu dan orang terpenting di tingkat universitas dan fakultas. Pertanyaan ini akan semakin mengasyikkan pergunjingan kita tentang politik mahasiswa. Yang jelas, jawabannya adalah, semua mahasiswa punya hak.

Semua mahasiswa memiliki hak yang setara untuk menjadi orang, yang kita sebut sebagai nomor satu di pemerintahan negara kampus UIN Sunan Ampel Surabaya. Di dalam undang-undang atau ADART yang setiap tahun dimusyawarahkan, layaknya sidang paripurna di Senayan, dengan sedikit modifikasi, di negara kampus UIN Sunan Ampel Surabaya istilahnya lain, yakni Kongres Besar Mahasiswa Universitas (KBMU), secara terang tertulis bahwa semua mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya memiliki hak untuk menjadi pimpinan di negara kampus. Hanya saja, karena itu adalah perundang-undangan yang mana proses pembuatan dan penerapannya harus dirembuk secara mufakat oleh semua struktur dan pimpinan kepemerintahan negara kampus UIN Sunan Ampel Surabaya, ada beberapa prasyarat yang musti harus dipenuhi agar kualifikasi seorang pimpinan dapat terpenuhi dan tidak bersinggungan dengan konstitusi yang berlaku.

Namun aturan tentang siapa yang layak, dan siapa yang lolos kualifikasi pencalonan untuk menjadi orang nomor satu, kini menjelma menjadi pertaruhan pelik dari sistem besar pemerintahan negara kampus yang diperbutkan oleh banyak mahasiswa. Seakan-akan menyisahkan sekelumit tanda tanya; apakah benar semua mahasiswa memiliki kesempatan sama dan setara?

Pertanyaan itu akhirnya merujuk pada perbincangan hangat kita tentang apa sebenarnya negara kampus, pimpinan, pemilu raya, kotak suara dan hal ikhwal menyangkut politik yang dilakukan mahasiswa. Bahwa disadari atau tidak miniatur negara kampus yang didalamnya diatur oleh ketatanegaraan yang dilandasi paradigma teoritis (bukan utopis) ternyata tersembunyi didalamnya, tentang apa yang tak mudah bagi kita untuk melihatnya, yakni; kekuasaan, pengaruh, uang, dan eksistensi. Karena begitu luar biasa pemerintahan negara kampus ini menyajikan kemewahan dan kemegahan semacam itu, beberapa kelompok mahasiswa menganggap hal itu sebagai sesuatu yang berharga, oleh karenanya akan selalu dijaga agar jangan sampai direbut oleh mereka yang bukan menjadi bagian dari kelompok. Akhirnya sistem besar yang mengatur tata cara bernegara mahasiswa tersebut, pada gerak perjalanan sejarah disatu sisi menjelma bak tembok besar penghalang yang membatasi siapa saja mereka (mahasiswa) yang bernafsu menduduki dan merebut status quo pemerintahan yang tengah berkuasa. Atau disisi tembok lain, memperteguh garis batas bagi mereka (sosok-sosok mahasiswa) yang bermaksud mempertahankan dan memelihara kursi nyaman yang didudukinya agar jangan sampai direbut atau ngguling oleh kelompok mahasiswa lain, dengan cara mengubah titik menjadi koma atau sebaliknya kalimat-kalimat hukum yang tercantum didalam sistem perundang-undangan yang berlaku.

Sama halnya dengan bermain judi, kekuasaan adalah meja casino dimana kartu hendak disebar dan dimainkan. Dan kita pikir, keraguan kita tentang siapa yang memiliki kesempatan sama dan setara sebagai suatu keniscayaan yang tak benar-benar adil.

Mereka (para mahasiswa yang kita sebut sebagai inside dan outside tembok besar itu) dalam konstelasi politik pemerintahan negara kampus yang sedang diperebutkan adalah mereka kader-kader partai politik mahasiswa. Apa itu partai politik mahasiswa? Siapa saja mahasiswa yang tergabung di partai politik mahasiswa? Lantas mengapa kita membutuhkan partai politik mahasiswa. Muncul beberapa pertanyaan mendasar tentang partai politik mahasiswa. Sepertinya akan sangat bodoh kiranya jika hendak menghindar untuk menjawab pertanyaan tersebut.

 

Berhimpun Dibawah Payung Partai Politik, Mahasiswa Menjadi Apa

Apakah partai politik mahasiswa bisa disamakan dengan partai politik sungguhan negara Indonesia? Pada bagian tertentu bisa saja sama, tapi adapula yang membedakannya. Ada yang kita lihat sebagai hal yang berbeda, karena partai politik mahasiswa di dalam kampus memiliki istilah nama partai politik dan lambang partai politik yang sifatnya unik, hasil pemikiran dan ijtihad mahasiswa dalam berkreasi. Dan itu, juga tidak dapat diidentikkan sama sekali dengan partai politik sungguhan di negara Indonesia. Kendati aras pemikiran, seperti ideologi yang mengikat kader mahasiswa didalamnya, juga tidak menutup kemungkinan ada kesamaan atau ikatan afiliasi-kultural dengan partai politik sungguhan di negara Indonesia.

Sejatinya partai politik mahasiswa, menurun dari pengertian dasar partai politik secara universal. Adalah sebuah organisasi, kelompok, gerombolan yang berisikan individu-individu dalam suatu momen tertentu memiliki orientasi yang terukur, jelas, dan objektif. Pengertian partai politik secara umum, melihat adanya partai politik sungguhan di tingkat nasional, sebagai sebuah organisasi yang didalamnya terdiri dari warga negara yang diatur dalam suatu struktur, aturan partai, dan keberadaan mereka memiliki tujuan, tugas dan fungsi khusus. Partai politik di tingkat nasional juga memiliki orientasi khusus dalam hal ideologi, pemikiran, sikap, dan arah gerakan. Entah itu, yang agamis, sosialis, demokratis, nasionalis, bahkan komunis (jika berkaca pada pergolakan sejarah bangsa Indonesia paska kemerdekaan). Partai politik mahasiswa juga demikian sama, secara harfiah. Para mahasiswa yang berhimpun didalam payung organisasi partai politik sebenarnya adalah kelompok-kelompok ekstra parlementer kampus yang memiliki ideologi, paradigma berfikir, dan orientasi gerakan yang khas. Biasanya organisasi ekstra parlementer kampus ini memiliki afiliasi khusus dengan organisasi masyarakat ditingkat nasional. Status quo mereka tidak terikat secara struktural oleh organisasi kemahasiswaan di dalam kampus, artinya bukan dibawahi langsung oleh pihak kampus. Otomatis, hidup tidaknya organisasi ekstra parlementer kampus tersebut bukan tanggung jawab kampus (seperti; pendanaan kaderisasi, fasilitas, kantor sekretariatan dan lain sebagainya).

Status legal formal partai politik mahasiswa juga diatur didalam perundang-undangan atau ADART negara kampus UIN Sunan Ampel Surabaya. Seorang pernah bertanya dengan nada sinis, “mengapa di kampus mahasiswa butuh partai politik?” Pertanyaan ini sebenarnya bermaksud meminta jawaban secara struktural tentang fungsi partai politik mahasiswa dalam kancah miniatur negara kampus. Bahwa fungsi secara struktural, tentang diaturnya konstitusi adanya partai politik mahasiswa di UIN Sunan Ampel Surabaya, secara administrasi adanya syarat dan aturan tertulis bahwa sosok ketua dan wakil ketua DEMA, dan Ketua SEMA harus berasal dari dapur partai politik mahasiswa. Dalam pemilu raya mahasiswa, mereka para anggota termasuk pimpinan partai politik mahasiswa harus mencalonkan kadernya untuk menjadi kandidat dalam kontestasi pemilihan umum ke Komisi Pemilihan Umum Raya Mahasiswa (KOPURWA). Definisi Kopurwa adalah sebuah komponen negara kampus yang bertanggungjawab atas terselenggaranya pemilihan umum di tingkat universitas maupun di fakultas. Tentunya partai politik mahasiswa harus memenuhi segala bentuk kelengkapan aturan-aturan administratif dalam pemenuhan berkas calon kandidat dan calon partai politik mahasiswa untuk menjadi peserta pemilihan umum raya. Yang kesemuanya itu juga sudah diatur dalam ADART. Kemudian, partai politik mahasiswa yang bersangkutan (partai politik mahasiswa yang telah mencalonkan kadernya menjadi kandidat), akan mengikuti pemilihan umum agar nantinya menemukan siapa pimpinan Ketua SEMA. Artinya siapapun partai politik mahasiswa dalam pemilihan umum raya memperoleh kemenangan suara hasil rekapitulasi suara yang sah dari Kopurwa, otomatis ketua partai politik yang bersangkutan akan menjadi ketua SEMA.

Partai politik dari sini dapat kita lihat sebagai suatu hal yang nyata, logis dan rasional dalam percaturan politik pemerintahan negara kampus UIN Sunan Ampel Surabaya. Diperkuat dengan status hukum legal formal yang diatur ADART tentang partai politik mahasiswa, kendati kritik yang selalu menganulir keberadaannya begitu deras, sangat sukar dielakkan keberadaannya. Partai politik mahasiswa, bagi saya pribadi, tidak menolak (sekaligus kritik saya terhadap mereka yang mengkritik adanya partai politik). Karena. Hanya dengan berhimpun didalam bangunan teoritik bernama partai politik, mahasiswa dapat secara sehat dan bermartabat menggunakan akal pikirannya untuk belajar bagaimana cara mendistribusikan kebijaksanaan dengan baik dan benar. Kita memahami keberadaan partai politik mahasiswa dengan segala fungsinya di dalam negara kampus secara umum tetap sebagaimana terminologi dasarnya, yakni partai politik sebagai sarana dan prasarana untuk mencapai suatu bentuk kebijaksanaan dalam berkomunalitas di dalam suatu konstitusi ketatanegaraan. Negara terdiri dari beberapa komponen penyusunnya; warga negara (civil society), pemerintah, dan media.

Lalu apa landasan berfikir adanya partai politik? Dan mengapa mahasiswa membutuhkan itu? Karenapartai politik memudahkan kita dalam menghimpun pemikiran, ideologi maupun gagasan yang begitu beragam dari tiap kepala seluruh mahasiswa, dengan cara mencari kesamaan sifat ideologi untuk dijadikan satu menjadi lebih sederhana dan praktis, sehingga dalam puncak prosesi demokrasi berlangsung yakni pemilihan umum, civil society terhindar dari trial and error, sekaligus tidak dibingungkan dengan bejibun banyaknya mahasiswa yang berkepentingan untuk menjadi pemimpin. Dalam arti lain, menyederhanakan sekaligus mengantisipasi kemungkinan terburuk membludaknya partisipasi publik dalam kancah perebutan tampuk kekuasan suatu rezim. Kendati demikian, penyederhanaan dengan menggunakan dalih filosofi partai politik, de facto memudahkan civil society mencermati secara detail produk gagasan, ideologi, visi dan misi dari mereka para mahasiswa yang ingin menjadi pimpinan. Karena proses terselenggaranya pemilihan umum dengan etika demokrasi, roh utamanya terletak pada keterbukaan dan kesadaran diri untuk saling mendengar, mengedarkan, dialektika, dikoreksi dan dikritik oleh diskursus publik. Maksudnya, proses demokrasi dikatakan berjalan dengan baik, ketika publik atau civil society berkesempatan secara penuh untuk menelanjangi siapa saja calon wajah parlemen kenegaraan yang akan unjuk gigi? Dan menguji contenstable or uncontestable isi pikirannya? Sebagai modal dasar ia nanti memimpin suatu rezim.

Kembali berkaca pada sejarah bangsa ini, era orde baru yang beranjak ke era reformasi, memiliki tipologi yang menjelaskan relasi antara ketiganya. Fungsi partai politik ternyata menjadi salah satu komponen pendukung yang sifatnya bekelindan dengan komponen pemerintahan, terlepas dari banyak komponen pembentuk negara. Maka bisa dikatakan partai politik adalah sama pentingnya dengan fungsi pemerintah, karena berisikan kader intelektual yang cara berfikirnya didesain siap tempur dalam kancah pergulatan ideologi politik. Di era orde baru, relasi yang terbangun dari ketiga komponen itu berbentuk skema segitiga, tapi sama kaki jenisnya. Pemerintah menjadi pusat dan letaknya berada diatas, dari kedua sisi yang sama (tidak pentingnya) bagi pemerintah, yakni media dan warga negara. Di era reformasi awal pemerintahan Gus Dur, relasi itu tetap berbentuk skema segitiga, namun jenisnya agak lain, yakni sama sisi. Antar media, warga negara, dan pemerintah dikembalikan adaptif, normal dan tak lagi bertendensi ke sebelah pihak, sebagaimana mustinya.

Kendati sejarah orde baru pernah mengisahkan betapa pentingnya peran partai politik dalam penentuan statistik pemilihan umum. Kesadaran atas partai poltik sebagai sarana untuk menyalurkan dan mewujudkan aspirasi publik, disadari oleh civil society menjadi satu-satunya fasilitas negara yang dapat dimanfaatkan. Sayangnya rezim yang berkuasa ketika itu menghendaki jalan pikiran lain, bahwa tidak boleh ada yang berani secara kognisi, maupun mengupayakan secara kolektif gerakan massa, apapun itu bentuknya, yang berniat untuk mengganti otoritas atau previlage rezim partai Golongan Karya (Golkar) yang isinya militer sebagai nahkoda parlemen ketika itu. Karena parlemen tahu, ternyata surplus kritik dan kemungkinan makar sangat rentan terjadi, dimobiliasi oleh partai politik, rezim orde baru berupaya untuk merepres pikiran civil society dengan cara yang akhirnya disebut the new kind of otoritarian, yakni dengan menyederhanakan partai politik menjadi tiga sumbu; sumbu nasionalis oleh Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sumbu Islamisme oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan sumbu militer (republikanisme-nasionalis kanan) Golongan Karya (Golkar). Dengan dalih yang kita sebut pure emansipatoris, rezim orde baru sengaja menerapkan cara demikian hendak bermaksud menyederhanakan agar publik tak bingung dalam memilih pemimpin nanti di Tempat Pemungutan Suara (TPS), tapi pada tinjauan paling kritis dalam memaknai kebijakan publik ini, upaya demikian sebenarnya cara rezim untuk menelanjangi poros lain kekuatan partai politik rival Golkar sebagai rezim dominan kala itu.  

Kini, keadaan berubah rezim otoriter ambruk, diikuti berhentinya sensor, represi, dan ditandai upaya subversif semakin mengecil intensitasnya, kerena sistem pemerintahan menjadikan telinga parlemen, lebih akomodatif dalam mendengar dan menangkap suara publik untuk dimempercakapkan itu di meja parlemen hingga menjadi goal rumusan kebijakan publik, penuntasan masalah, atau terobosan kemaslahatan bersama. Namun di medio pasca reformasi hingga hari ini wajah parlemen lambat laun berubah, jauh dari yang semula kita idamkan. Justru menjadi lebih seram ketimbang dulu wajah orde baru. Parlemen di zaman orde baru dulu, wajar saja melakukan represi begitu ketat lantaran rezim mendengar suara rakyat berkoar lantang, berdesas-desus dan beberapa mengendap-endap menjelma menjadi kritik terhadap kekuasaan untuk mengubah suasana peradaban. Tapi kini, justru parlemen yang bertelinga lebar itu, dengan teknologi dan kecanggihan sistem informasi hari ini, menjadi semakin tuli karena sengaja tidak mendengar suara rakyat, yang mendengus bertatak lurus menagih surplus melalui kritik, karena satu pikiran bodoh, yakni rezim tak ingin diusik oleh apapun itu termasuk kritik.

Ketika kita mencoba melihat partai politik ditatanan nasional, kita tak akan ambil pusing, bahwa nilai rapornya adalah merah. Partai politik dianggap bukan lagi sebagai alternatif, sarana dan prasarana oleh warga negara untuk mengentaskan kompleksitas dan dinamika hidup mereka secara sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, kesehatan dan agama. Kacamata masyarakat kini hanya secara jelas melihat bahwa pemerintah negara dengan segala bentuk skandal suap, korupsi, penyelewengan, ketidakmampuan menstabilkan harga pangan, pembangunan macet, program-program skala nasional yang tak tepat sasaran, kegaduhan elit di Senayan, sebagai indikator gagalnya pemerintah beserta kaki tangan partai politik dan fraksi-fraksinya di parlemen mewakili kehendak warga negara. Pada akhirnya, sinisme publik memandang pemerintah, menjadi akumulasi kebencian mereka terhadap partai politik.

Parahnya partai politik tak pernah menyadari, bahwa akumulasi kebencian itu sebenarnya telah menggorok leher mereka sebagai tukang kebun konstitusi, malah kini terbukti busuknya. Setelah kita tahu bahwa partai politik saat ini, sudah tak lagi sama sebagaimana kita ingat partai politik Murba, yang dibentuk dan dipimpin oleh Tan Malaka, seorang visioner yang telah berhasil melihat masa depan bangsa Indonesia, yang hanya dapat diperoleh dengan proses pendidikan politik melalui partai politik. Dari situ kita ketahui jika partai politik memiliki fungsi khusus yang tak kalah penting, sebagai sarana pendidikan bagi setiap warga negara yang ingin belajar mendistribusikan kebijaksanaan. Justru kini partai politik tidak ada yang memiliki orientasi sebagaimana Partai Murba dulu ada. Partai politik tidak lagi menjadi public educated, melainkan telah menjadi depkolektor, kata Rocky Gerung. Statistik suara dalam pemilu, merubah kacamata mereka (partai politik, kader, dan simpatisannya) yang mataduitan, menganggap kini politik adalah akumulasi kekuasaan yang menghasilkan uang (tugasnya sederhana, berupaya untuk cari modal lewat leading sector yang ia kuasai). Makin jauh lagi, fungsi adanya partai politik serasa tak mewakili apa-apa, partai politik saat ini juga tidak lagi berkenan untuk menjadi telinga yang mendengarkan suara publik. Justru kini partai politik malah menjadi preman tukang rampas, bernalar pragmatis, yang merampas mulut publik atas hak frekuensi yang dimilikinya, untuk membuatnya menjadi saluran usus besar korporasi, melalui media. Dari semua itu dapat kita simpulkan bahwa partai politik di tingkat nasional memang pantas dinilai dalam rapot mereka, dengan angka rendah dan tinta merah, sebagai pertanda bahwa mereka telah gagal mengentaskan masalah.

Dan itulah nilai rapor merah partai politik dan pemerintah di negara sungguhan. Bagaimana dengan partai politik mahasiswa di negara kampus kita UIN Sunan Ampel Surabaya? Rasa-rasanya ada derajat kesamaan tentang fungsi partai politik mahasiswa dengan partai politik sungguhan di tingkat nasional. Apakah demikian. Nyatanya di kampus, para mahasiswa pada umumnya (diberbagai fakultas dan jurusan) yang bertindak selaku warga negara, mengalami hal yang sama dialami oleh warga negara Indonesia; ketidakmampuan pemerintah untuk menjadi sarana penyalur aspirasi, ketidakmampuan menjadi katalisator konflik (justru menjadi sumber konflik), dan ketidakmampuan menjadi alternatif pembelajaran politik dan bernegara bagi mahasiswa pada umumnya. Kendati ada yang tidak terlalu demikian. Tapi jika hendak terbuka nyatanya memang demikian adanya, justru para mahasiswa sama sekali tak mengetahui, bahkan memahami keberadaan partai politik mahasiswa yang statusnya secara legal tertulis di ADART. Ada apa ini?

Kekecewaan publik sebagaimana di negara sungguhan Indonesia, juga dialami serupa di negara kampus UIN Sunan Ampel Surabaya. Mereka yang tak pernah telibat sama sekali dengan aktivitas politik dan serba-serbinya, menganggap mereka para kader partai politik mahasiswa tak lebih dari mahasiswa-mahasiswa autis, yang asyik dengan dunia mereka sendiri. Pada pemilihan umum misalnya, entah pemilihan di tingkat universitas atau di tingkat fakulas, bagi kacamata mahasiswa awam (warga negara biasa yang tak tergabung partai politik mahasiswa) melihat prosesi pesta demokrasi di negara kampus UIN Sunan Ampel Surabaya, sebatas pemilihan yang tiba-tiba ada, tiba-tiba kampanye, tiba-tiba minta Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) dengan alasan pendaftaran partai politik dan kandidatnya, padahal tidak pernah tau sama sekali orang-orang yang hendak dicalonkan, tiba-tiba ada parkiran motor disulap menjadi Tempat Pemungutan Suara (TPS), tiba-tiba dipaksa nyoblos padahal gak tau apa-apa, tiba-tiba cek-cok, tiba-tiba berantem, tiba-tiba si Anu menang, tiba-tiba si Anu memar-memar, tiba-tiba pelantikan, dan segala sesuatunya yang serba tiba-tiba. Apakah kita hendak memungkiri itu, fakta sosial yang bersumber dari warga negara mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya telah berkata demikian.

Saya rasa ada sense ketidakpercayaan yang terjadi antar mahasiswa terutama ditatanan negara kampus UIN Sunan Ampel Surabaya, warga mahasiswa dengan pemimpinnya (kendati ketidakpercayaan ini juga sering dialami oleh rektorat atau dekanat atau para dosen dengan mahasiswa-mahasiswinya). Dalam segi partisipasi politik saja kita lihat. Kasusnya, yakni para mahasiswa tak mau mencoblos lantaran tak tahu kandidatnya siapa saja. Ini menunjukkan permasalahan yang serius di dalam tubuh partai politik mahasiswa termasuk para mahasiswa yang duduk di kursi pemerintahannya. Rasanya kita (yang aktif berpolitik) tidak pantas untuk menyematkan sebutan rasial tersebut kepada mereka (mahasiswa civil society) sebagai apatis. Mengapa demikian? Nyatanya mereka yang benar-benar memutuskan untuk menghindari praktik politik mahasiswa, bukan lantaran dalih apatis, tak suka politik, atau tak mampu berpolitik. Hanya saja mereka tidak menemukan apa yang mereka inginkan terkait kebutuhan hidup mereka di dalam perguruan tinggi. Ini jelas menegaskan bahwa mereka yang kita sebut apatis, nyatanya merasa tidak pernah terpenuhi keinginan dan kebutuhannya sekalipun pada saat yang bersamaan ada partai politik, yang katanya memfasilitasi mereka.

Tentunya kita tak bisa menyamakan kebutuhan para warga negara mahasiswa di dalam negara kampus UIN Sunan Ampel Surabaya, dengan kebutuhan warga negara sungguhan di Indonesia. Yang kita tahu, kebutuhan itu adalah bersifat korelatif dengan aktivitas berkuliah atau belajar mereka setiap hari di dalam kampus. Coba kita beranikan diri membaca ini. Sebenarnya apa sih, yang menjadi tujuan mereka melanjutkan belajar di tingkat perguruan tinggi? Kemudian apa sih yang sebenarnya sedang mereka butuhkan selama belajar di perguruan tinggi? (pertanyaan-pertanyaan ini tak akan sulit kita temukan jawabannya, bagi kita yang masih aktif bekuliah).

Dilihat dari tujuan. Mungkin karena keinginan kita agar mendapat pekerjaan atau profesi yang layak dikemudian hari nanti selepas lulus. Mungkin keinginan membahagiakan orang tua. Mungkin keinginan untuk memperdalam ilmu Agama Islam dan sains yang saling terintegrasi di kampus ini. Mungkin karena fasilitas yang memadai dan dekat dengan tempat tinggal. Dan segala macam tujuan yang membuat mereka akhirnya berkuliah di kampus ini.

Dilihat dari keinginan. Mungkin karena tujuan mereka adalah profesi dan pekerjaan yang layak nantinya, keinginan mereka bisa saja (dalam hal skill individu) pengembangan keterampilan dalam ilmu di jurusan yang mereka pelajari saat ini. Seperti pelatihan, seminar, workshop maupun kajian ilmiah. Keinginan mereka dalam jaringan kerja, agar nantinya tidak lagi dipusingkan paska lulus menjadi sarjana. Langsung kerja sebelum lulus kuliah. Dan segala macam kenginan mereka dengan harapan bisa dipenuhi oleh pihak perguruan tinggi.

Melihat itu semua, pertanyaan kita hanya satu. Apakah partai politik mahasiswa, pemerintahan konstitusi negara kampus dan hal ikhwal kenegaraan kampus UIN Sunan Ampel Surabaya, pernah memahami hal itu. Meskipun pada akhirnya ada juga yang berdalih, “loh itu kan masalahnya rektorat dan dekanat kampus. Kami yang duduk di kursi DEMA atau SEMA universitas maupun fakultas kan tidak punya wewenang lebih akan hal itu,” celetuk seorang mahasiswa yang duduk di kursi paling ujung dari lorong, belakangan kita ketahui adalah seorang aktivis tulen.

Memang benar bukan wilayah dan wewenang kita. Tapi apakah anda (yang duduk) tidak mampu mengupayakan itu, sebagai suatu bentuk shodaqoh dari kita yang turut membantu dan tandang gawe  mensukseskan penyelenggaraan pendidikan kampus. Kalaupun alasan rasional mengenai fungsi yang terbatas sebagai pimpinan mahasiswa di kancah miniatur negara kampus, tak mampu menggugah hati kecil kita untuk mengupayakan perubahan kampus. Hanya dengan dalih kebajikan bertema amal jariyah dan shodaqoh alasan paling konkret dan logis melandasi ikhtiar belajar kita di dalam kampus. Dengan segala fasilitas kucuran anggaran, kantor sekretariatan, dan legalitas untuk membawa nama kampus keberbagai instansi, apakah itu semua tidak cukup menjadi modal atau bahan bakar kita (yang duduk dikursi) untuk mengupayakan dan mewujudkan keinginan-keinginan para warga negara mahasiswa kita. Memang benar, tidak ada yang salah, jika semua masalah itu adalah sebenarnya masalah bagi rektorat dan dekanat, terkait suksesi pembelajaran dan hal ikhwal pendidikan yang disediakan oleh kampus UIN Sunan Ampel Surabaya. Tapi sejenak sadarilah. Kita sebenarnya memahami hal itu sebagai suatu bentuk kelemahan dan ketidakmampuan rektorat dan dekanat kampus. Pertanyaan selajutnya. “Apakah iya, kita akan tetap mengumpat pada kegelapan,” kata Aristides Kattopo, dalam interviewnya tentang Soe Hok Gie, seorang aktivis sekaligus sahabatnya di Kick Andy, “dan tak berusaha menyalakan lilin.”

Kegelapan itu telah nampak pada ketidakmampuan bapak ibu kita mungkin di rektorat dan dekanat, dalam memfasilitas mahasiswa secara lebih, untuk menggapai keinginannya. Namun apakah tidak mungkin kita para mahasiswa yang duduk di kursi pemerintahan mengupayakan itu. Sebagai upaya untuk menghidupkan lilin, seraya menyelamatkan wajah-wajah bapak ibu kita, di rektorat dan dekanat yang telah bersusah payah memfasilitasi kita selama ini, kendati hasilnya tak sama sekali ada.

Apakah iya kita tetap menjadi individu-indvidu yang autis, dalam berpolitik. Merasionalisasikan segala hal yang berkenaan dengan aktivitas berpolitik, dengan dalih kepedulian terhadap kehidupan kampus dan serba-serbinya, menghujat siapa saja yang tak sejalan dengan gerak tingkah laku mereka, padahal hasilnya tidak sama sekali berguna bagi seluruh warga negara mahasiswa. (Hanya menguntungkan sebagian kelompok-kelompok saja). Politik macam apa. Rasa-rasanya memang sama, wajah kita dengan wajah parlemen di negara kita yang sungguhan, negara Indonesia.

Ikuti tulisan menarik Luhur Pambudi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler