x

Iklan

Luhur Pambudi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Politik Ekstra Parlementer Kampus (2)

BETAPA TIDAK MENARIK POLITIK EKSTRA PARLEMEN KAMPUS BELAKANGAN INI (2)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Teman-Teman Mahasiswa Kita (ternyata) Menjadi Kader Partai Politik Mahasiswa, Adalah?

Bertanya tentang siapa mahasiswa-mahasiswa yang menjadi kader inti partai politik mahasiswa yang berpeluang besar menjadi orang nomor satu di negara kampus UIN Sunan Ampel Surabaya, sebenarnya melanjutkan pertanyaan-pertanyaan yang telah kita lontarkan sebelumnya. Kita telah memahami bahwa partai politik mahasiswa ternyata, dibalik itu semua adalah mahasiswa-mahasiswa yang berhimpun diberbagai macam organisasi ekstra parlementer kampus. Biasanya kita sebut dengan istilah “organisasi mahasiswa ekstra kampus” disingkat “Ormek”. Organisasi ekstra parlementer kampus, awal kemunculannya bisa kita lacak dari membaca literatur sejarah yang berkisah tentang romantisme gerakan mahasiswa angkatan 1966. Organisasi ekstra parlementer kampus, yang kini kita sebut demikian. Dahulu merupakan kepanjangan tangan dari organisasi kemasyarakatan yang bergerak langsung ditengah-tengah masyarakat. Itu dimulai pada medio paska kemerdekaan hingga pertengahan orde baru. Pergolakkan bangsa sebelum dan sesudah kemerdekaan, sebagai arus awal masuknya berbagai macam ideologi transnasional, yang menyajikan suatu bentuk ide dan konsep tentang ketatanegaraan, kebangsaan, ideologi negara maupun sistem pemerintahan. Semua konsep-konsep besar pemikiran itu yang menjadi ilmu pengetahuan, dan akhirnya terbakukan dalam bentuk buku dan literatur berbahasa asing, sayangnya hanya bisa dipelajari dan dipahami oleh kalangan cendikia atau kalangan pelajar di zaman Hindia Belanda. Karena kondisi psikososiologis masyarakat Hindia Belanda ketika itu yang masih kalut karena kekacuan yang ditimbulkan oleh kolonialisasi dan imperealisme, masyarakat kalangan pelajar seakan mendapat nafas segar dari hasil belajar dan membaca buku-buku pemikiran ideologi-ideologi besar transnasional tersebut.

Keadaan yang mengekang dibawah pemerintahan Hindia Belanda, akhirnya memaksa para kaum pelajar untuk segera menyatakan diri sebagai bangsa yang berdaulat. Mereka (kalangan pelajar) membuat kelompok-kelompok yang nantinya disebut organisasi ideologi, tapi pada perkembangan awal merupakan kelompok-kelompok diskusi kecil yang sering kali tak pernah dianggap ada oleh pemerintah Hindia Belanda ketika itu. Yang diperbincangkan ditengah-tengah diskusi mereka tentunya adalah sebuah tatanan baru dari peradaban bangsa yang didorong dengan semangat dan kesadaran bahwa manusia merupakan subjek yang merdeka dan tak boleh ada yang merampasnya. Energi itulah yang akhirnya kita sebut sebagai nasionalistik yang hidup diruang-ruang nasionalisme. Pemikiran mereka para pelajar makin berkembang hingga sampai pada kebutuhan akan perlunya fragmentaris pemikiran-pemikiran mereka yang terbakukan didalam suatu bentuk organisasi yang terstruktur, sistematis dan memiliki visi misi jelas. Itulah awal dari tumbuh suburnya berbagai macam kelompok dan organisasi kemasyarakatan dengan ciri khas ideologi yang dibawanya di awal kemerdekaan.

Anggapan lama tentang dijajahnya bangsa Indonesia, kini bukan lagi karena tidak ada orang-orang yang pintar lantas tersadar dari keterkungkungan yang mereka alami berabad-abad. Dengan menjamurnya organisasi masyarakat ketika itu, dengan kesadaran yang menggugah tentang perlunya nasionalisme, organisasi masyarakat mulai berfikir untuk lebih taktis lagi dalam mensiasati keadaan, dengan membuat partai politik, sebagai sarana untuk belajar tentang organisasi dan bagaimana mengorganisasi segala sesuatunya; manusia, aset, budaya dan ideologi untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Partai politik itu tentunya tetap membawa keteguhan prinsipil dari ideologi yang mereka sebelumnya pelajari. Oleh karena itu, negara ini sebenarnya hanya tinggal memilih mau menggunakan ideologi, sistem pemerintahan dan ketatanegaraan macam apa, sebagai roda penggerak bangsa. Untuk memilihnya juga sangat sederhana, negara ini paska merdeka, mau dibiarkan untuk dipegang kedali oleh partai politik apa. Sayangnya, kita hanya punya dua pilihan. Kanan atau kiri, ketika itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Organisasi kemasyarakatan atau partai politik saat itu sadar, bahwa ideologi pemikiran yang menjadi prinsip organisasi mereka tidak akan bisa hidup jika tanpa didukung kekuatan massa dan kapabilitas intelektual dari kader-kadernya. Satu-satunya cara agar dapat mencapai target itu, adalah dengan memperluas persebaran dan jangkauan pengedaran ideologi partai keberbagai lini kemasyarakatan, mulai dari kalangan pelajar, buruh, nelayan, sopir oplet, petani, tukang tenun, buruh batik, guru, pedagang, dokter, dan sebagainya.

Dikalangan pelajar perguruan tinggi, partai politik atau organisasi masyarakat juga membentuk organisasi dikalangan mahasiswa. Munculnya organisasi ekstra parlementer kampus mahasiswa dilatarbelakangi atas dasar itu. Hal demikian juga menjawab mengapa organisasi ekstra parlementer kampus begitu identik dengan organisasi masyarakat maupun partai politik di tingkat nasional. Melihat kebelakang punggung sejarah bangsa ini, di era orde lama misalnya, organisasi masyarakat yang menjadi underbow Partai Komunis Indonesia (PKI) memiliki organisasi taktis-ideologis di tingkat pelajar mahasiswa bernama Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Partai Nasionalis Indonesia (PNI) memiliki underbow organisasi taktis-ideologis di tingkat pelajar mahasiswa bernama Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Partai Masyumi organisasi taktis-ideologis di tingkat pelajar mahasiswa bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Partai Sosialis Indonesia (PSI) memiliki underbow organisasi taktis-ideologis di tingkat pelajar mahasiswa bernama Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSos). Partai Katholik memiliki underbow organisasi taktis-ideologis ditingkat pelajar mahasiswa bernama Persatuan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI). Partai Kristen memiliki underbow organisasi taktis-ideologis di tingkat pelajar mahasiswa bernama Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Partai Nahdlatul Ulama’ (NU) memiliki underbow organisasi taktis-ideologis ditingkat pelajar mahasiswa bernama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Tentunya organisasi ekstra parlementer kampus yang pernah ada diawal kemerdekaan bangsa Indonesia itu, ada yang masih eksis dan adapula yang sudah hilang. Beberapa organisasi ekstra parlementer kampus yang telah hilang biasanya akibat dari arus geopolitik yang begitu deras menerpa organisasi masyarakat atau partai politik induknya. Seperti CGMI misalnya, organisasi ekstra parlementer kampus ini akhirnya hilang, setelah PKI (induk dari CGMI) ditahun 1965 dianggap sebagai biang keladi penculikan dewan jendral TNI AD dan tuduhan makar. Akhirnya PKI dibubarkan paksa oleh pemerintahan ketika itu pada medio 1966 hingga 1967 (alih kuasa Soekarno ke Soeharto). GMSos juga mengalami hal serupa dengan CGMI, hanya saja GMSos lebih kepada masalah orientasi gerakan mahasiswa di dalam tubuhnya tidak lagi bisa adaptif dan sejalan sebagai gerakan mahasiswa yang berorientasi pada prinsip Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera), selain itu, ada pula permasalah yang menyangkut pimpinan PSI yang ditangkap di era orde lama, yakni Sjutan Sjahrir, lalu dipenjara hingga akhir hayat. Ada hal lain juga yang melatarbelakngi hilangnya PSI, yakni setelah orde lama tumbang diganti oleh orde baru, para pimpinannya banyak yang menduduki kursi parlemen dan lupa akan tujuan utama partai yang telah disepakati bersama.   

Beberapa yang masih eksis seperti GMNI, HMI, PMKRI, GMKI dan PMII kini menjadi organisasi ekstra parlementer kampus mahasiswa yang bertebaran tumbuh subur diberbagai macam universitas atau perguruan tinggi se-Indoneisa. Organisasi ekstra parlementer kampus tersebut, kini tetap memelihara apa yang menjadi tujuan dan orientasi gerakan mahasiswa terdahulu. Kendati karena dinamika zaman yang berubah, beberapa visi dan misi, atau orientasi gerakan ekstra parlementer mereka sedikit menyesuaikan zaman. Tapi sebagai entitas ideologi pemikiran dikalangan pelajar mahasiswa yang hidup di lingkungan perguruan tinggi. Mereka juga tetap menjalankan amanat organisasi yang diturunkan dari senior-senior mereka agar senantiasa, terus diwariskan kepada kader-kadernya.

Melihat apa yang mereka lakukan di kampus, organisasi ekstra parlementer kampus disadari atau tidak memiliki satu saja esensi berorganisasi yang terinternalisasi dalam urat nadi organisasi mereka, yakni gerakan mahasiswa. Tepian sejarah menyisahkan sebuah pemahaman yang mana begitu identik dengan adanya mahasiswa, sebagai elemen masyarakat yang terpelajar. Mulai dari angkatan tahun 1966, 1978, hingga 1998. Cuma satu hal saja pesan yang dapat kita ingat di tiang kesadaran kita, tentang mahasiswa, yakni mereka melakukan gerakan pengerahan massa. Mengapa gerakan pengerahan massa, karena hanya itu yang dapat ditunjukkan (oleh diri mereka) sebagai mahasiswa. Dan hanya itu pula yang dapat mereka tunjukkan sebagai bukti eksistensi mereka.

Sense ini telah mendarah daging pada mahasiswa zaman dulu, hingga menular di zaman sekarang. Justru kini telah menjadi konstruk berfikir baku bagi para mahasiswa baru-baru ini. Mereka seringkali terjebak pada kekeliruan berfikir bahwa mahasiswa hanya bisa tampil dalam bentuk gerakan pengerahan massa atau demonstrasi. Seakan tanpa ada cara lain dalam menciptakan antitesa baru perubahan keadaan. Dan menganggap jika aktivitas berorganisasi mahasiswa tidak berujung pada adanya demonstrasi, adalah kegagalan baginya. Saya pribadi seringkali mendengar postulat semacam ini, dari beberapa sahabat, kawan, dan saudara-saudara aktivis saya di dalam kampus. Dan memang mudah ditebak, jika mereka memiliki kecenderungan pemikiran yang sedemikian sempit. Menjadikan beberapa hal yang lebih substansial dari sebuah demonstrasi, tak ubahnya sebatas isapan jempol belaka. Kita percakapkan saja sedikit tentang hal ini. Demonstrasi sebagai suatu bentuk gerakan mahasiswa, bukanlah hal patut dihindari, justru pada situasi tertentu, cara-cara pengerahan massa harus dipilih. Meskipun sangat beresiko pada kenyataannya, juga rentan konflik fisik dengan aparat atau warga yang tak terlibat, juga butuh modal besar untuk mendanai gerakan, dan butuh mobilisasi massa yang juga tak mudah. Tapi gerakan mahasiswa dengan format pengerahan massa juga perlu dipahami adalah satu bentuk alternatif akhir, bahkan sering kali dianggap sebagai alternatif yang (jika dimungkinkan) harus dihindari untuk sebuah upaya penyelesaian masalah, setelah format lain dalam gerakan mahasiswa seperti diplomasi, diskusi, simposium, jajak pendapat, tarung wacana, revisi, atau interupsi telah menuai jalan buntu dan tak mengakhiri masalah. Dan saya pikir siapa (mahasiswa) yang tak tau akan hal ini, tapi kenyataannya ya begitulah, gerakan pengerahan massa dengan cara demonstrasi (oleh mereka adik-adik kita) menjadi niat, ikhtiar, dan tujuan utama gerakan mereka.

Hanya kata maklum, yang dapat kita terima sebagai penjelas dari kegamangan gerakan-gerakan mahasiswa yang melulu pengerahan massa. Mungkin mereka jarang membaca romantisme sejarah tentang gerakan mahasiswa dahulu. Tapi, tak apalah, mau bagaimana lagi.

Romantisme tentang gelombang besar gerakan mahasiswa yang terakhir saya pikir masih dipegang oleh angkatan 1998, dengan membongkar dominasi orde lama yang mengakar puluhan tahun. Tapi angkatan 1998 bukanlah sekelompok mahasiswa dengan mulut besar dan tindakan anarkis belaka, yang tanpa paradigma atau landasan berfikir yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena gerakan yang meletus di tahun itu, adalah kulminasi dari 10 tahun sebelumnya untuk konsisten dan serius mengkaji permasalahan dari rezim orde baru, dan tak sekali duakali konsolidasi antar elemen perjuangan, hingga tiba pada suatu jawaban akhirnya, bahwa rezim orde baru harus tumbang dengan cara menggulingkannya menggunakan kekuatan massa, di tahun itu. Dengan kata lain, gerakan mahasiswa dulu adalah gerakan yang benar-benar bergerak secara logis, tepat sasaran, kritis dan transformatif (jalur diplomasi dahulu, baru alternatif terakhir digempur pakai demonstrasi besar-besaran).

Kendati pertanyaan mendasar sulit untuk kita hindarkan agar percakapan ini menjadi basah dan berasap; apakah gerakan itu benar muncul akibat kesadaran kolektif secara mandiri dari elemen perjuangan rakyat dan pelajar? Apakah mustahil tak ada campur tangan pihak lain? Perdebatan senantiasa menarik untuk kita picu dalam menelanjangi kronik pengerahan massa oleh pelajar di masa itu. Tapi satu pandangan yang turut merangkum analisis kritis terhadap peristiwa bombastis di masa itu adalah, bahwa gerakan ditahun 1998 bukan karena kausalitas dari suatu keadaan lama menuju keadaan yang lebih baru, tapi itu hanyalah fase yang memang sudah waktunya untuk terjadi, tanpa perlu kita bangga-banggakan terutama bagi kalian para mahasiswa yang hidup di sisa-sisa zaman.

Setelah kita mengetahui esensi dasar dari keberadan organisasi mahasiswa ekstra parlementer kampus yang identik dengan format gerakan pengerahan massa. Sedikit ada paradoks mungkin, antara tak pernah membaca atau keliru berfikir, yang mengakibatkan mahasiswa sebagai entitas gerakan menuju perubahan, dianggap tak lagi menarik bagi penguasa (objek sasaran yang lazim mereka kritik). Atau jangan-jangan, karena tak pernah membaca mengakibatkan keliru berfikir, sampai-sampai gerakan yang dilakukan, keliru semua dan tak kena sasaran.

Kini kita coba membaca tentang, inti dasar dari entitas gerakan mahasiswa yang dipelopori oleh organisasi ekstra parlementer kampus. Mungkin pembahasan ini agak segar bagi mahasiswa yang sebelumnya tak tau menau, atau tak mau tau tentang dinamika mahasiswa yang sebenarnya sangat kompleks. Tapi pembahasan ini akan menjadi tidak menarik bagi para sahabat-sahabat, kawan-kawan atau saudara-saudara aktivis saya, karena mereka adalah figur utama atau pelaku-pelakunya.

Kita menyadari bahwa percaturan politik didalam miniatur negara kampus kerap dipolitisir oleh para mahasiswa dari latar belakang organisasi ekstra perlementer kampus. Segala aspek kehidupan politik mahasiswa di dalam kampus seakan-akan menjadi mainan khusus bagi mereka, dan tak boleh dipinjamkan kepada orang lain (mahasiswa-mahasiswa lain organisasi ekstra parlementer). Namun, jika kita teliti dengan sabar, sebenarnya satu esensi dasar tentang organisasi ekstra parlementer kampus adalah upaya untuk mengukuhkan organisasinya yang tertuju pada upaya yang bersifat peremajaan anggota, bahasa lainnya adalah kaderisasi.  

Dari sini kita akan melihat sebuah pola, atau bisa kita sebut sebuah siklus, yang berputar. Bahwa organisasi ekstra parlementer kampus memiliki energi dan sumber kekuatan diri mereka yang terletak pada kaderisasi. Kaderisasi ini pada tahap selanjutnya akan merujuk pada upaya organisasi untuk memfasilitasi para anggota dan kader-kadernya, untuk menjadi sebagaimana organisasi itu inginkan. Yang lazim kita ketahui fasilitas itu berupa pembelajaran secara intelektual maupun keterampilan. Intelektual disini dapat dimaksudkan dalam hal ideologisasi, yakni suatu pembelajaran tentang paradigma utama atau logika dasar pemikiran yang dipakai oleh organisasi tersebut. Lantas menjadikan organisasi tersebut memiliki arah gerakan mahasiswa yang terarah, sistemik dan jelas. Ideologisasi ini diberikan oleh organisasi yang bersangkutan juga dimaksudkan untuk mencetak anggota atau kader-kader yang dapat menjadi prototipe gerakan, istilah bagi organisasi ektra parlementer kampus berparadigma Islam menyebutnya kader mujahid. Atau istilah dari organisasi ekstra parlemter kampus yang berhaluan nasionalis adalah kader militan. Poin penting dari fasilitator dari organisasi kepada para anggota dan kader terletak pada tahap ini. Dimana ketika organisasi tersebut telah memiliki dan mampu mencetak seorang kader militan, agar nantinya dapat mengemban sebuah tugas dan menjalankan misi-misi yang telah diatur didalam organisasi yang bersangkutan.

Mampu mengemban tugas dan melaksanakan visi-misi organisasi merupakan poin penting dari adanya proses kaderisasi didalam organisasi ekstra parlementer kampus. Poin ini menjelaskan bahwa seorang kader militan diharapkan dapat memberikan kontribusi lebih terhadap keutuhan, visi-misi dan tugas-tugas dari organisasi. Nah, tugas dan visi-misi dari organisasi itu juga akan menjadi poin penting selanjutnya, sekaligus meminta jawaban dari rasa penarasan kita tentang organisasi ekstra parlementer kampus yang “seakan-akan” begitu kemaruk oleh segala hal di dalam negara kampus. Karena tugas dan misi dari organisasi yang dibebankan kepada seorang anggota dan kader adalah terkait penguasaan leading sector kekuasaan yang ada di pemerintahan negara kampus.

Kita coba munculkan kembali kepermukaan pemahaman kita diawal mengenai esensi dasar, mengapa mahasiswa harus menghimpun diri dalam partai politik (yang ternyata isi kader partai politik mahasiswa adalah juga kader-kader organisasi ekstra parlementer kampus), pada pemaparan sebelumnya. Ada 3 aspek penting, yakni; kekuasaan, uang dan eksistensi. Sebenarnya tugas dan misi dari organisasi ekstra kampus adalah tiga aspek itu. Dan itu semua adalah nafas hidup dari organisasi ekstra parlementer kampus. Perlahan-lahan akan kita jabarkan ketiga aspek itu.

Pertama, penguasaan leading sector. Penguasaan ini dapat diartikan sebuah upaya untuk memperoleh kekuasaan yang itu tercermin dari struktur-struktur kekuasaan dalam negara kampus, atau bahasa yang lebih sederhana kursi-kursi organisasi intra parlementer kampus, elemen surpastruktur, maupun infrastruktur. Konteksnya di UIN Sunan Ampel Surabaya, ditatanan intra parlementer kampus suprastruktur, beberapa kursi DEMA dan SEMA universitas atau fakultas. Kemudian, ditatanan infrastruktur ada organisasi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) seperti UKM Paduan Suara, UKM Resimen Mahasiswa (Menwa), UKM Pramuka, UKM Seni Budaya (SB), UKM Pencak Silat Setia Hati (SH), UKM IQMA, UKM Unit Pengembangan Tahfidul Quran (UPTQ), UKM Unit Kegiatan Pengembangan Intelektual (UKPI), dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) tingkat unviersitas seperti Solidaritas.

Untuk UKM dan LPM tingkat fakultas, kita akan runut dari kesembilan fakultas se-UIN Sunan Ampel Surabaya. Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK); UKM Teater Sua, UKM Qoswadah, UKM Musik Red Band, dan LPM Ara Aita. Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK); UKM Teater Hastasa, UKM Musik USB, dan LPM Edukasi. Fakultas Adab dan Humaniora (FAH); UKM Teater Sabda, UKM Musik Moesad, dan LPM Qimah. Fakultas Ushuludin dan Filsafat (FUF); UKM Teater 20, UKM Musik Pualam, dan LPM Forma. Fakultas Syariah dan Hukum Islam (FSH); UKM Teater Q, UKM Musik Congkret, dan LPM Arrisalah. Fakultas Psikologi dan Kesehatan (FPK); UKM Musik Psikologi (MUGI), dan LPM Alam Tara. Fakultas Sosial dan Politik (FISIP); UKM Teater Artsip, dan LPM Parlemen. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI); selama ini yang diketahui hanya ada satu buah organisasi mahasiswa selain DEMA dan SEMA FEBI yakni LPM Al-Maslahah. Dan Fakultas Sains dan Teknologi (FST) hingga saat ini masih belum ada LPM ataupun UKM yang dibentuk oleh mahasiswa sebagai sarana mengembangkan keterampilan dan intelektual.   

Semua yang dipaparkan tadi, merupakan keseluruhan organisasi intra parlementer kampus dari sembilan fakultas, dan itu semua merupakan kursi-kursi atau yang kita sebut leading sector di negara kampus UIN Sunan Ampel Surabaya. Jelas kita akan menyebutkan semua organisasi intra parlementer kampus tersebut, agar kita dapat mudah untuk melihat kira-kira dari organisasi intra parlementer kampus yang menjadi pusat leading sector negara kampus UIN Sunan Ampel Surabaya, mana yang telah dikuasai oleh para elit mahasiswa jebolan dapur organisasi ekstra parlementer kampus? Mana yang dikuasi oleh mahasiswa dari latar belakang non-organisasi ekstra parlementer kampus. Tidak bermaksud untuk menghakimi mereka satu persatu dengan merunut semua organisasi intra parlementer kampus dari 9 fakultas yang ada di UIN Sunan Ampel Surabaya. Namun disini kita membaca pola apakah benar isi kepala para elit organsiasi ekstra parlementer kampus berisikan upaya-upaya untuk menguasai seluruh leading sector kekuasan negara kampus UIN Sunan Ampel Surabaya. Kita bisa buktikan dan cari tau sendiri. Dan nyatanya memang demikian. Seorang kader ataupun anggota organisasi ekstra parlementer kampus memiliki tugas dan misi untuk penguasaan leading sector, dan itu semua leading sector diupayakan oleh mereka untuk bisa dikuasai. Sebenarnya. Apa yang melatarbelakangi organisasi ekstra parlementer kampus tersebut harus bersusah payah mencetak sekaligus memfasilitasi anggota hingga menjadi seorang kader yang kita sebut mujahid atau militan? Apakah hanya untuk bisa menguasai struktur pemerintahan negara kampus semata? Muncul rasa penasaran ini. Namun akan segera dijawab setelah kita membaca kelanjutan aspek dari nafas hidup organisasi ekstra parlementer kampus.

Kedua, adalah uang. Uang disini barangkali dapat kita artikan lebih universal atau spesifik. Secara spesifik uang bisa berupa komplemen atau entitas nilai untuk dipertukarkan dengan sesuatu. Dan di era modern ini, nilai tukar secara spesifik tentang arti uang sangatlah jelas yakni menjadi ukuran untuk menilai benda-benda material. Namun secara universal, uang artinya hal penting untuk mendapatkan sesuatu hal dengan maksud menuntaskan hasrat pada suatu hal entah itu berupa kebutuhan atau rasa ingin (desire) belaka. Dalam konteks politik di tatanan negara kampus misalnya, mengapa uang yang menjadi aspek kelanjutan dari aspek penguasan leading sector bagi organisasi ekstra parlementer kampus. Tujuan paling mendasar adalah untuk menghidupi nafas organisasi mereka, yang jika tanpa itu, organisasi ekstra parlementer kampus tak ubahnya sebuah organisasi benalu yang tak mampu hidup untuk dirinya sendiri. Nafas hidup yang dimaksud adalah tentang suplai dana atau uang untuk proses kaderisasi, perawatan aset-aset kantor sekretariatan, dan pendanaan implementasi gerakan-gerakan. Kendati, tak menutup kemungkinan ditelan oleh mulut mahasiswanya sendiri. Dan aspek ini, nyatanya hanya bisa mereka peroleh dari upaya penguasaan leading sector tersebut, karena hanya dengan penguasaan leading sector (aspek kekuasaan), uang itu dapat mengucur deras sesukanya. Apa yang terjadi disini? Maklum saja mereka bisa berbuat demikian, dan menganggap soal uang dan kekuasaan menjadi hal penting bagi mereka (kendati sering mereka tutup-tutupi) karena secara status quo keberadaan diri mereka bukan sama sekali menjadi tanggung jawab pihak kampus. Seorang lain dari lorong sebelah barat menyeloroh mematahkan pembicaraan, “tapi organisasi tersebut kan sifatnya integralistik berdasarkan persebaran wilayah, dan dinaungi oleh struktur besar mulai dari pengurus pusat atau pengurus besar, pimpinan cabang, anak cabang, koordinator cabang, komisariat, koordinator komisariat, rayon atau sebagainya.”

Kemudian saya jawab, “memang benar.” Tapi pada kenyataannya, mereka sekalipun terintegrasi dengan struktur-struktur besar diatasnya yang sekaligus memayungi mereka, organisasi ekstra parlementer kampus tidak pernah mampu untuk menghidupi dirinya sendiri dengan mandiri. Entah dengan suplai dana yang sifatnya berkala dari pengurus besar atau pengurus pusat, turun ke cabang, hingga turun kembali ke koordinator cabang, sampai pada pengurus rayon, atau dengan cara model arisan ditiap cabang nanti kocokkan untuk mencari tahu siapa yang akan beruntung mendapat jatah dan secara tebak-tebakkan. Pada beberapa organisasi ekstra parlemeter kampus ada yang demikian tersistem secara baik melalui ADART mereka, dengan menyalurkan anggaran rutin kepada semua organisasi anak cabang atau struktur-struktur dibawahnya, tapi yang sering kita ketahui, sebelum sampai pada tataran struktur paling bawah, uang suplai anggaran itu telah dipotong dengan dalih pajak jalan, istilah yang akrab dari nenek moyang kita, dana itu dikorup oleh mereka yang duduk di struktur-struktur atasnya. Inilah yang terjadi. Maka kita menyebut, nyatanya tetap saja organisasi ekstra parlementer kampus tidak mampu menghidupi dirinya sendiri untuk menjalankan gerak organisasi. Dan keputusan untuk mencari suplai anggaran tambahan untuk bertahan hidup hanya dapat mereka lakukan dengan jalan menguasai leading sector yang ada di negara kampus, agar nantinya kucuran anggaran yang disediakan oleh pihak kampus, yang seharusnya untuk jalannya organisasi intra parlementer kampus, sedikit banyak bisa mengalir ke kantong-kantong dan menghidupi organisasi ekstra parlementer kampus.

Lantas, atas dasar apa semua yang mereka (organsasi ekstra parlementer kampus) lakukan? Dan untuk apa semua ini. Merujuk pada aspek selanjutnya yakni, ketiga, eksistensi. Aspek ini adalah aspek paling purba dari entitas manusia sebagai mikrokosmos. Sebuah sense untuk mengunggulkan apa yang ada dalam diri manusia, menjadi pertaruhan besar dalam kehidupan manusia. Mengapa kita sebut sebagai sesuatu yang bersifat purba, karena di melinium awal tentang keberadaan manusia adalah tentang jati dirinya yang tak sama dengan entitas hidup yang lain. Eksistensi butuh sebuah bahan bakar yang dapat membuat manusia menjadi seterusnya ada. Konteksnya dalam percaturan politik negara kampus yang berkenaan dengan organisasi ekstra parlementer kampus, eksistensi adalah dasar dari nafas hidup organisasi ekstra parlementer kampus tersebut. Belakangan, kita memahami dengan pengertian seperti ini, setelah terjadi reduksi makna tentang kehidupan kampus dan hal ikhwal politik miniatur negara kampus secara besar-besaran. Miniatur negara kampus dan organisasi ekstra parlementer kampus yang keduanya saling berkelindan, pada hakikatnya setelah terjadi degradasi pemaknaan yang habis-habisan mengingat pergolakan zaman yang semakin komplek.

Kita akan mengetahui itu, setelah membaca romantisme sejarah tentang apa landasan berfikir yang paling fundamental mengenai keberadaan para pelajar yang gerak hidupnya dekat sekali dengan aktivitas membaca buku dan berpolitik untuk membangun bangsa. Yang perlahan-lahan, tumbuh bertahap, hingga sampai pada terfragmentasinya pemikiran mereka ke dalam sebuah tatanan baku yang kini kita sebut organisasi ekstra parlementer kampus. Kini, di era paruh zaman modern ini, tak lagi memiliki arah tujuan sebagaimana tujuan awal menghendaki adanya organisasi pelajar yang menginginkan perubahan bangsa kearah lebih baik.

Dahulu, para pelajar benar-benar tahu apa yang harus mereka lakukan, setelah melihat kenyataan zaman yang melingkupi masyarakat pribumi bangsa mereka, yang juga didukung oleh perangkat berfikir dikepala mereka. Menjadikan mereka tahu bahwa tujuan penting adanya diri mereka adalah berfikir dan merubah tatanan yang buruk menjadi tatanan yang lebih baik untuk bangsa mereka. Sungguh kontras, ketika kita sebagai seorang (pelajar atau mahasiswa) yang hidup di zaman paling baru, menampakkan kenyataan lain bahwa yang dulu dilakukan pelajar untuk mengkritisi, berfikir secara rasional dan akal sehat untuk merubah tatanan yang mengungkung, harus berbenturan secara problematik dengan kondisi pelajar atau mahasiswa saat ini yang tidak mampu  berfikir secara kritis dan tranformatif untuk memahami persoalan-persoalan bangsa.

Mahasiswa yang tergabung di organisasi ekstra parlementer kampus saat ini, tidak lagi berfikir untuk bagaimana mereka menyajikan antitesa secara konkret, logis, sistematis, ber-nas, bertanggungjawab sebagai bentuk koreksi terhadap kondisi bangsa saat ini. Seperti berfikir kritis tentang kebijakan A, berfikir kritis tentang masalah B, befikir kritis tentang kondisi C, berfikir kritis tentang ketimpangan D, berfikir kritis tentang problem moral D, dan berfikir kritis tentang segala hal (termasuk agama yang sedang dianutnya). Entah apa yang melatarbelakangi, mungkin ada sebuah ketidakmampuan di isi kepala mereka (atau kita sebut saja software berfikir mereka) untuk benar-benar mampu; secara berani, sistematis, rasional, sadar dan objektif melihat problem-problem zaman yang mengelilinginya. Atau karena perubahan zaman dan dinamika psikososiologis di era modernitas kini, telah berhasil memaksa mereka untuk jangan terlalu idealis amat menjalani hidup (sebagai pelajar atau mahasiswa), cukup sadarilah  tugasmu baca buku sesuai silabus dari dosen, tugasmu menyelesaikan makalah, tugasmu mengumpulkan nilai ujian tiap semester, tugasmu lulus kuliah tepat waktu, agar nantinya bisa cari uang dan hidup tentram nyaman dan tak terbebani dengan apa-apa. Nyatanya organisasi ekstra parlementer kampus adalah demikian.

Melihat hal lain, sebagai tanda problem eksistensi secara fungsional organisasi. Apa yang kita sebut sebagai problem eksistensi adalah organisasi ekstra parlementer kampus kini tidak lagi mampu memahami fungsi mereka sebagai elemen penggugah kesadaran (sebagai mahasiswa atau sebagai elemen pelajar di tengah-tengah masyarakat). Pembelajaran wajib dalam kurikulum kaderisasi mereka, tentang tema-tema ideologi pemikiran sejarah dan dialektika ilmu pengetahuan, nyatanya saat ini tidak lagi mampu mengarahkan mereka pada sudut pandang yang lebih waras, segar, dan menggugah tentang tujuan organisasi ekstra parlementer kampus dalam ranah gerakan mahasiswa, terlebih-lebih sebagai agen kontrol sosial ditengah-tengah masyarakat.

Di organisasi ekstra parlementer kampus juga tidak mampu mengentaskan masalah yang terjadi di lingkungan mereka dalam kampus, apalagi lingkungan mereka di luar kampus (lingkungan masyarakat). Di dalam kampus saja kita lihat. Kira-kira organisasi ekstra parlementer kampus berapa prosentase dari sepersekian persen kontribusi mereka tehadap kehidupan kampus. Sebagaimana yang sudah kita bahas diawal tentang partai politik yang menguasai organisasi intra parlementer kampus sebagai elemen yang mampu melengkapi pemenuhan kebutuhan dari warga negara kampus UIN Sunan Ampel Surabaya. Terutama dalam hal pengembangan aspek pendidikan, intelektual dan keilmuan mahasiswa di dalam kampus, beberapa organisasi ekstra parlementer kampus dinilai tak mampu berkontribusi dalam hal itu. Bagaimana cara kita melihat indikator dari ketidakberhasilan organisasi ekstra parlementer kampus dalam memberikan pencerah atau suntikan energi ideasional mahasiswa (berlandaskan trinitas fundamental Tri Darma Perguruan Tinggi; pengabdian masyarakat, pendidikan, dan keilmuan). Dapat kita mulai dari, apa yang telah mereka (organisasi ekstra parlementer kampus) lakukan? Dan ada dimana posisi mereka? Sebagaimana yang sudah kita perbincangkan diatas bahwa mereka adalah kelompok mahasiswa yang mendominasi leading sector kursi pemerintahan negara kampus atau organisasi intra parlementer kampus. Cukup sederhana,  dapat dilihat dari kinerja dan program kerja mereka selama menjabat apakah sesuai dengan esensi Tri Darma Perguruan Tinggi dan niat dasar sebagaimana ideologi atau hasil bacaan buku pemikiran-pemikiran tokoh dunia yang mencerahkan.

Kalau memang iya, maka dapat dipastikan organisasi ekstra parlementer kampus telah berhasil mencerahkan dan menularkan nilai-nilai ideasional kepada mahasiswa secara keseluruhan. Tanpa sekat dan tanpa tedeng aling-aling karena tersaingi rival organisasi ekstra parlementer kampus yang bersebrangan ideologinya. Tapi realitas mengatakan justru sebaliknya. Organisasi ekstra parlementer kampus diklaim tak mampu memberikan kontribusi dalam hal pengembangan intelektual seluruh mahasiswa kampus, karena orientasi dan logika berfikir mereka atas rezim negara kampus yang mereka kuasai hanyalah untuk mendapat sebanyak mungkin keuntungan bagi organisasi yang menyokong mereka. Hal itu dapat kita saksikan dari aspek program kerja selama mereka menguasai rezim dan menjabat di kursi pemerintahan organisasi intra parlementer kampus. Beberapa acara atau kegiatan yang diselenggarakan oleh organsiasi intra parlementer kampus (yang statusnya dikuasai ekstra parlementer kampus), hanya akan memfasilitasi mahasiswa atau orang-orang organisasi mereka. Dan prioritas untuk ditularkan kepada seluruh lapisan mahasiswa, adalah nomor sekian.

Bagi mereka kalau toh selama menguasai kursi pemerintahan jika tidak mendapat keuntungan secara materiil berupa uang selama menyelenggarakan kegiatan, mereka punya logika berfikir bahwa, minimal ada keuntungan yang bersifat moril bisa mereka dapatkan. Misalkan pengaruh, kekuasaan, legitimasi, dan mobilisasi. Kesemuanya itu tak lebih dari muara sifat dasar mereka yang sudah kita ketahui bersama sebelumnya yakni kekuasaan yang mereka duduki akan menghasilkan keuntungan berupa uang. Untuk apa? Menghidupi diri mereka hingga 100 tahun yang akan datang.

Kemudian dilihat dari substansi acara atau kegiatan yang mereka selenggarakan cenderung tidak tepat sasaran dengan urgensi kebutuhan mahasiswa di dalam kampus. Sebagaimana ini telah kita ulas diatas. Sekaligus menjelaskan bahwa yang menyebabkan apatisme mahasiswa bukan karena sifat dasar mereka yang benar-benar acuh. Tapi karena situasi dan kondisi yang cenderung didominasi dan dimonopoli oleh mahasiswa-mahasiswa yang tergabung di organisasi ekstra parlementer kampus.

Bayangkan, apa faedahnya kita membuat sebuah program kerja dengan menyelenggarakan acara atau kegiatan-kegiatan yang sifatnya seremonial belaka seperti dies natalis, party bazar music, pameran, pemilihan duta ini dan duta itu, atau perayaan hari lahir (Harlah) dan lain sebagainya. Yang tak pernah tau bagaimana cara mengukur tingkat keberhasilan, apakah memberikan impact dan kontribusi khusus dalam pengembangan intelektual mahasiswa. Kalau pengembangan eksistensi agar dikenal publik saya pikir tak masalah, karena itu hak. Tapi apakah iya, organsiasi ekstra parlementer kampus memiliki logika berfikir demikian. Adik-adik kita di sekolah Menengah Akhir (SMA) atau Sekolah Menengah Pertama (SMP) pun bisa menyelenggarakan acara atau kegiatan serupa dengan lebih meriah bahkan, (lengkap dengan konsep dan pendanaan yang lebih jelas memadai) daripada kita yang mahasiswa.  

Kemudian di tengah-tengah masyarakat. Kita akan coba melihat adakah kontribusi organisasi ekstra parlementer kampus untuk lingkungan sosial tempat ia berada. Sebuah idiom yang mencengangkan kita semua bahwa mahasiswa itu disebut elitis, karena organisasi ekstra parlementer kampus didalam struktur masyarakat tidak mempunyai ruang sama sekali, artinya keberadaan mereka tidak dibutuhkan oleh masyarakat. Kalau memang benar, organisasi ekstra parlementer kampus merupakan organisasi yang memiliki ruang gerak lebih luas berada di luar kampus, jika demikian berarti dapat dipastikan organisasi ekstra parlementer kampus tersebut memiliki suatu bentuk, entah itu disebut sistem, mekanisme, program kerja dan orientasi gerakan yang titik fokusnya untuk kemajuan dan kemaslahatan masyarakat. Tapi nyatanya, paksa kedua mata kita untuk melihat ke dalam rumah yang selama ini kita perjuangkan di ruang-ruang diskusi sehari-hari, apakah benar memilikinya. Nyatanya tidak. Selama ini masyarakat ketika menghadapi berbagai macam permasalahan yang berkaitan dengan dimensi sosiologi dan psikologi masyarakat tentang keadaan sosial di lingkungan mereka, atau masalah-masalah tentang hubungan mereka dengan negara (atau pemerintahan setempat), jika permasalahannya terkait dengan program-program pemerintahan negara seperti masalah administrasi surat negara yang kacau atau sosialisasi program pemerintah yang masih membingungkan masyarakat, ternyata mahasiswa yang tergabung di organisasi ekstra parlementer kampuspun tidak pernah oleh masyarakat sengaja libatkan. Bahkan sebaliknya juga tidak (organisasi ekstra parlementer kampus menawarkan bantuan kepada masyarakat). Seakan menunjukkan kebenaran lain tentang organisasi ekstra parlementer kampus merupakan organisasi elitis yang gerakannya murni untuk kepentingan kampus, dan hanya mampu membaca situasi-situasi problematik yang terjadi di dalam kampus. Mahasiswa sebagai penghuni menara gading, saya pikir itu istilah tepat menjadi slogan kritik mahasiswa dari masa ke masa. Saya pikir ini keliru. Tapi apa mau dikata.

Bagi masyarakat organisasi mahasiswa, mereka menyebutnya, “anak-anak mahasiswa,” kata ibu-ibu di kios jajanan seberang jalan. Justru kerap membuat mereka resah ketika hidup berdampingan dengan masyarakat. Kata warga, mahasiswa itu sukanya hura-hura, tertawa cekakaan, urakkan, tidak tertib aturan, bikin sumpek, suka buang sampah sembarangan, tidak kenal batasan waktu, parkir motor tidak rapi, sering ganggu lalu lintas jalan warga, tak sungkan bawa pacar ke dalam kos dan kontrakan, suka bikin gaduh dengan suara gitar dan musik-musik keras, mengganggu tidur siang dan bikin rusuh tiap malam. Dus, suatu hari sebuah musibah yang tak pernah kita harapkan terjadi, cukup mengagetkan, di sore hari seorang mahasiswa di lingkungan warga kehilangan sepeda motor karena telodor tak mengunci ganda leher motornya yang diparkir tepat depan kos di wilayah pemukiman warga. Para warga yang mengetahui peristiwa itu tak bergeming untuk membantu atau setidaknya bersimpati dengan mereka. Abang-abang lambepun tidak. Yang warga tahu setidaknya ada perasaan lega karena rasa geram mereka terhadap mahasiswa yang mengganggu itu telah dibalas oleh keadaan.

Kendati pencurian motor mahasiswa bukanlah rekayasa para warga (yang geram) dengan maksud mengusir mahasiswa. Tapi pada akhirnya, mahasiswa juga akan terusir cepat atau lambat, oleh omelan keras warga atau karena tidak betah diganggu lantaran keamanan barang-barang berharga yang dimilikinya.

Dan, semula saya pikir organisasi ekstra parlementer kampus akan memiliki suatu bentuk formula program kerja yang implementasinya langsung tertuju pada pengembangan atau pengabdian masyarakat. Seperti program pengembangan pendidikan yang sifatnya mandiri untuk memfasilitasi masyarakat yang kurang beruntung. Dengan asumsi dasar, lembaga pendidikan mandiri milik organisasi ekstra parlementer kampus itu adalah alternatif dari pendidikan konvensional yang mahal milik negara. Atau sebuah lembaga peradilan dan bantuan hukum yang sifatnya mandiri, dan memilik tujuan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat yang tak beruntung menghadapi hukum negara yang sarat akan kompromi si empunya modal dan uang. Atau sebuah badan usaha yang bergerak pada mekanisme fasilitator ekonomi masyarakat mandiri yang memiliki regulasi sistem keuangan yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat kelas menengah ke bawah untuk dapat meningkatkan taraf hidupnya tanpa bayang-bayang takut tagihan pembayaran. Atau sebuah institusi yang bergerak diranah kesehatan masyarakat yang menfasilitasi warga kelas menengah ke bawah dalam ranah pemenuhan kesehatan yang sifatnya preventif dan kuratif, dengan asumsi dasar kesehatan masyarakat yang dijamin pemerintah tidak lebih dari sistem neo-kapitalis berkedok ethic of care. Kesemuanya ini hanya sekelumit konsep ideal yang seharusnya menjadi ukuran tentang hakikat dasar dari keberadaan organisasi ekstra parlementer kampus mahasiswa, yang mengatasnamakan “ekstra parlemen”. Dan itu bukanlah utopis, karena ukuran sebuah pencapaian hendaknya merupakan konstruk ideal yang akhirnya memaksa sistem untuk dapat meniru, mengikuti bahkan kalau perlu harus melampaui. Kendati pada kenyataannya organisasi ekstra kampus tak pernah mampu untuk menuju arah itu. Bahkan berfikir tentang itupun tak pernah mampu.  

Atas dasar ketidakmampuan itu organisasi ekstra parlementer kampus pada akhirnya memilih untuk melihat apa yang bisa dilihat, berfikir tentang hal konkret yang bisa dipikir atau bertindak dengan suatu cara yang tak berprinsip. Dan inilah yang kita maksud sebagai gerakan mahasiswa yang sifatnya populis.

Jika begini jadinya, dapat kita pastikan segala bentuk kegiatan, acara, pagelaran yang diadakan di dalam kampus oleh organisasi intra kampus (yang statusnya dikuasi oleh mahasiswa dari dapur organisasi ekstra parlementer kampus) bukan bertujuan untuk mengedarkan apa yang kita sebut nafas ideasional mahasiswa (yang isinya sebuah tatanan atau sistem berfikir yang tercipta hasil membaca buku dan berdialektika dengan ideologi yang dirawat organisasi mereka). Tapi hanya sebatas keuntungan; uang dan eksistensi belaka, agar mereka dianggap oleh orang lain, tetap ada.

Ini sebuah ironi yang dapat kita saksikan, melihat kondisi organisasi ekstra kampus yang saat ini berorientasi pada wilayah-wilayah atau ruang publik dimana wajah mereka dapat dilihat sebagai gerakan mahasiswa. Coba pahami hal ini. Mereka (ekstra parlementer kampus) memasang sebuah topeng dan mencatut wajah mereka menggunakan make up, agar mampu memainkan dramaturgi di sebuah panggung pementasan sebagai elemen kemasyarakatan yang paling waras, paling kritis, paling elit, paling elegan, paling populer, paling cocok dipilih. Padahal (lihat gerakan-gerakan yang mereka lakukan akhir-akhir ini) tidak lebih bersifat elitis, nol besar dan norak.

Mengapa sedemikian nyinyir kita sebut dengan istilah elitis, nol besar dan norak. Ah, ada yang tertinggal, yakni kampungan. Karena yang mereka edarkan setiap hari yang bertopengkan gerakan mahasiswa adalah gerakan-gerakan populis. Sebuah gerakan yang murni untuk dipublikasikan kendati tanpa ada tujuan yang substansial dan urgen. Hanya ada satu motif tentang gerakan mahasiswa yang populis, yakni agar mereka dianggap ada oleh banyak orang (masyarakat berbagai macam lini). Hal itu dapat kita lihat dari isu-isu yang mereka angkat. Sebenarnya isu populis, tapi mereka mengklaim sebagai isu yang subtansial. Misalnya, mereka kerap kali mengangkat isu-isu yang sebenarnya (tak perlu anda kuliah di perguruan tinggi, atau belajar pemikiran dari tokoh-tokoh besar dari abad dimana filsuf Elea yang diperbincangkan dalam buku yang ditulis Moh. Hatta, sampai kepada pemikian paling anyar mengenai filsafat modern dalam buku karangan Budi F. Hardiman) bisa melakukannya. Contoh: gerakan-gerakan yang mengangkat isu hari-hari monumental yang disepakati dunia, seperti Hari Aids, Hari Bumi, Hari Rokok dan sebagainya. Sebuah gerakan yang hanya menghasilkan hura-hura dan sorak-sorak bergembir semata. Kemudian dokumentasi dengan format selfie, untuk nanti diunggah di media sosial, agar mendapat simpati (yang hanya sebatas simpati). Atau isu-isu pembelaan tokoh yang didakwa kasus korupsi, atau isu-isu transnasional soal kenaikan harga bahan bakar minyak (konteks isu tersebut: justru mahasiswa sering kali keliru, tidak sistematis membaca persoalan, akhirnya ketika demo berlangsung, tak ubahnya sebuah demo yang tak merubah apa-apa).

Kita coba merefleksikan ini bersama-sama, dan mencari tau apa yang melatarbelakanginya. Sungguh disayangkan jika gerakan mahasiswa yang dipelopori oleh organisasi ekstra parlementer kampus yang berbasis paradigma ideologis (yang berkarakterisitik pemikiran dialektis) harus menciptakan suatu bentuk transformasi sosial yang dangkal. Bayangkan saja, siapa sih yang tak mampu membuat demonstrasi berformat refleksi hari ini hari itu? Solidaritas ini solidaritas itu? Bela ini bela itu? Toh ibu-ibu rumah tangga yang urusannya kalau gak dapur, ya dapur bisa melakukannya. Lalu apa yang menjadi khas bagi gerakan mahasiswa.

Ayolah. Sadari ada hal lain tentang masalah-masalah yang cukup halus, kasat mata, bahkan nyaris tak terlihat ditengah-tengah kita, yang itu sengaja dibiarkan (oleh oknum), agar dibakukan menjadi suatu sistem besar yang menguntungkan segolongan orang saja (yang pasti oknum). Ayolah, paradigma berfikir kritis dan horizon pengetahuan yang kita dapat dari hasil membaca buku-buku ideologi pemikiran tokoh-tokoh tiap peradaban, kita gunakan secara substansial dan tepat sasaran. Memang tak dapat dipungkiri hal ini sulit. Tapi. Apakah kita sebagai orang-orang yang belajar di organisasi ekstra parlementer kampus, harus menyerah dan berhenti seketika itu saja lantaran betapa beratnya tugas kita. Apakah iya, hanya karena gerakan mahasiswa yang kita lakukan tidak pernah terekspose media, (lantaran gerakannya bersifat hegemonik dan tak berbuah hasil secara langsung) mengikis niat tulus kita untuk menjadi yang mereka sebut khalifah yang memberi rahmat bagi seluruh entitas alam semesta. Saya optimis, tidaklah mungkin organisasi ekstra kampus adalah gerbong intelektual yang berisikan perut-perut lapar semata. Saya optimis organisasi ekstra kampus adalah mereka yang berhati lapang, berjiwa besar dan berpikiran luas.  

Ah, kita coba hentikan saja umpatan yang tak akan pernah didengar oleh seorang mahasiswapun di UIN Sunan Ampel Surabaya. Mungkin hanya sebatas kelakar dari seorang yang tak dipandang ditengah-tengah hiruk-pikuk percaturan politik praktis khas gaya mahasiswa.

Seorang tinggi berambut gondrong dari belakang panggung membanting kursi plastik atom berwarna hijau yang ia duduki, dan mendamprat si moderator yang memandu jalannya diskusi. “Lantas apa yang sudah anda lakukan dengan kata-kata yang setiap hari anda tulis.” Sebuah interupsi yang sebenarnya mirip konfrontasi, hanya saja tanpa ludah yang ia lecutkan dari mulutnya. “Mohon maaf saya tidak merubah apa-apa, anda yang paling mungkin dan berpotensi besar melakukan perubahan, karena saya adalah seorang yang tak pernah mampu melakukan ataupun memiliki apa-apa. Maka dari itu biarkan saya meninggalkan diskusi ini. Sepertinya meja dan kursi yang anda banting bukan benda yang pertama dan terakhir di forum ini untuk diporak-porandakkan.”

Ikuti tulisan menarik Luhur Pambudi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler