x

Iklan

Luhur Pambudi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Politik Ekstra Parlementer Kampus (5)

BETAPA TIDAK MENARIK POLITIK EKSTRA PARLEMEN KAMPUS BELAKANGAN INI (5)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sistem Pemaknaan Baru Berpolitik, Mensiasati Realitas Baru Dunia Politik

Hemat saya. Sistem pencoblosan berbasis IT, atau apapun sebutannya bukanlah sesuatu hal yang perlu untuk dipusingkan hingga sampai pada pengandaian-pengandaian tak waras tentang potensi dan ancaman dari pihak cyber misalnya, selama konteks yang menjadi sasaran kita adalah terselenggaranya politik yang sehat. Alat tetaplah sebuah alat, yang itu semua sangat tergantung daripada manusia itu sendiri sebagai si penggerak alat; bagaimana menempatkan, memperlakukan, dan memaknai keberadaan alat tersebut. Toh, seberapa canggih dari alat yang baru-baru ini booming disekitar kita, selama alat tersebut tidak kita ma’rifatkan untuk mengentaskan problem kesadaran politik dari mahasiswa yang apatis, menggunakan alat baru (yang otomatis), atau tetap menggunakan cara-cara manual yang melelahkan, tetap saja tak ada yang berbeda.

Tentunya kepada mereka si pembuat alat dan mereka yang sepakat menggunakan alat ini. Ucapan terima kasih sudah selayaknya kita haturkan sebagai penghargaan tertinggi atas hasil olah, rasa dan karsa diri yang berbentuk sistem pencoblosan berbasis IT, kepada si pembuat. Sekaligus penghormatan atas adanya alat tersebut yang memantik rasa optimisme kami yang hari-hari ini pesimis dengan kualitas, corak dan kondisi perpolitikan mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya yang demikian hina. Namun, satu hal.  Selama penciptaan alat ini tak benar-benar berlandaskan pada pengentasan dan penyelesaian masalah fundamental tentang kesadaran politik mahasiswa kampus, maka kecurigaan kita semua (orang-orang yang duduk di tribun penonton) tentang terciptanya alat tersebut tak lebih dari sebuah kepentingan proyek pengadaan barang dan jasa, yang diproposalkan, dengan niat memperoleh nominal anggaran (entah kalangan dosen, staf atau mahasiswa yang turut bekerja sama dengan mereka untuk melancarkan proyek berskala lokal UIN Sunan Ampel Surabaya), adalah benar adanya. Jika demikian kenyataan yang ada, maka apa yang digundahkan oleh Lyotard tentang ilmu pengatahuan dan kekuasaan (dipastikan) saling berkelindan, yang ujung-ujungannya dehumanisasi besar-besaran, adalah kenyatan yang tak terelakkan. Dan sepertinya sudah sepantasnya tradisi intelektual dan politik akal fikiran sehat mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya untuk tak lagi diteruskan, melainkan patut dibubarkan. Karena, sudah tak ada lagi ruang yang benar-benar murni dan suci di dalam kampus untuk bertukartambah perspektif menemukan apa yang benar. Tapi telah berubah menjadi sirkuit perlintasan balap bagi mereka yang menciptakan apa saja produk intelektual, (asalkan) menghasil uang. Apa boleh buat semua itu tetaplah menjadi suratan takdir milikNya.

Dipikiran saya, jauh memandang sebuah cakrawala prediksi dan perkiraan-perkiraan semantik belaka, tentang, jika saja alat ini benar-benar disosialisasikan dan dapat diaplikasikan secara sungguh-sungguh dalam menata kembali mekanisme politik dan proses demokrasi mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, betapa luar biasanya euforia politic educated menghiasi pergolakan politik miniatur negara kampus UIN Sunan Ampel Surabaya dimasa yang akan datang. Kita nalar saja. Andaikata alat pencoblosan dengan sistem IT ini benar-benar secara komprehensif dan berpikiran terbuka dikalangan mahasiswa untuk menerapkannya secara beradab dengan itikad bertanggungjawab atas terselenggaranya politic educated. Maka dapat kita pastikan akan terwujudnya nawacita mahasiswa dalam pergolakkan politik miniatur negara kampus. Meliputi; Pertama, penyegaran sistem politik mahasiswa. Kedua, pengentasan problem mendasar politik mahasiswa yang rentan manipulasi akibat menggunakan alat manual. Ketiga, momentum kembali pada politik akal sehat. Keempat, kembalinya mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya pada khittah dan fungsi dasar politik mahasiswa. Beberapa diantaranya, kita akan baca perlahan-lahan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Penyegaran Kembali Sistem dan Tradisi Politik Mahasiswa

Akan dipastikan, bukan lagi prediksi, merubah segala sesuatunya yang berkenaan dengan penyelenggaraan politik mahasiswa. Apa yang akan dirubah dan mengapa harus diubah. Apakah mustahil untuk berubah dengan sendirinya? Hingga sampai pada keterbutuhan pada seseorang untuk mengubahnya.

Pertanyaan eksistensialis ini akan selalu muncul ketika kita berbicara tentang konsep-konsep ideal yang nyaris bercorak utopis tentang segala hal yang berkenaan dengan tatanan-tatanan baru. Kita tentu tidak memungkiri hal itu. Tapi juga tak akan menafikkan keberadaannya. Karena utopis adalah kemungkinan buruk yang selalu akan menghinggapi hal-hal baru yang menyangkut tatanan besar soal nilai, kebiasaan, tradisi, budaya, hingga peradaban. Sistem pencoblosan berbasis IT ini dalam kalimat yang terang akan merubah segala sesuatunya yang berkenaan dengan proses, prosedur dan gerak sistem pemilihan umum negara kampus. Dalam tahap ini sebenarnya peran Kopurwa menjadi begitu menentukan dan memiliki urgensi yang penting untuk mewanti-wanti segala bentuk kemungkinan terburuk, dinamika, kompleksitas dan karakteristik pemilu raya dengan sistematika baru menggunakan sistem pencoblosan berbasis IT.  Perubahan pada aspek apa saja yang perlu diberi perhatian yang serius untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk, beberapa diantaranya, meliputi;

1) Kontestasi kandidat yang hendak maju menjadi pemimpin negara kampus.

Pada tahap ini perlunya perubahan dalam menentukan standar kualifikasi yang menetukan layak tidaknya warga negara yang berkepentingan untuk mengajukan diri atau diajukan menjadi bakal calon pimpinan, entah ditingkat presiden DEMA universitas atau ditingkat gubernur DEMA fakultas. Dengan alat dan sistem baru ini, tentunya wajah kepemimpinan dari seorang warga negara yang ingin maju menjadi seorang pemimpin mahasiswa ditingkat universitas atau fakultas harusnya memiliki kelayakan dalam beberapa aspek, beberapa diantaranya; Pertama, kelayakan secara attitude dan kepribadian. Mengingat pemimpin negara merupakan wajah dan cerminan pemerintahannya, maka seorang mahasiswa dengan cara berpenampilan, bersikap dan berperilaku yang baik dalam kesehariannya menjadi penting untuk wajah pemimpin negara. Tentu kita tidak akan sampai pada suatu pandangan untuk mendiskreditkan mereka yang berambut gondrong, mengenakan sendal merk Eiger ketika masuk kelas, bersikap arogan yang sporadis saat mengungkapkan pendapat, dan berperilaku tak sopan ketika berada di lingkungan kampus. Tapi prinsip dasar tentang moralitas untuk merumuskan apa yang benar dan yang baik, menjadi ukuran kepemimpinan dari suatu entitas kelompok, struktur atau tatanan sosial, kata Nurcholish Madjid. Maka apa yang baik dan benar saat meninjau aspek kenampakan luar tentang cara berpakaian, attitude, sikap dan tindak tanduk sehari-hari, tidak lagi menjadi aspek sekunder yang titik fokus pembahasannya berada dipoin kesekian dan terbawah.

Kedua, kapabilitas secara kognisi dalam memimpin. Mungkin kita akan dipersempit dengan anggapan ketika membahas aspek ini dengan berandai-andai kalau seorang pemimpin harus pintar, cerdas dan itu dapat dibuktikan oleh Kartu Hasil Studi (KHS). Itu semua normatif, tak akan menolak dan tak salah pula. Hanya saja agak keliru. Kemampuan kognisi yang dimaksud adalah bagaimana keluasan wawasan dan wacana teoritis dari seorang pemimpin untuk memahami perkembangan, dinamika, dan kondisi terkini warga negara yang dipimpinnya. Aspek ini menjadi begitu penting ketika kita hendak diperhadapkan pada suatu situasi tak terduga bagi DEMA UIN Sunan Ampel Surabaya pada bulan Agustus tahun 2014 lalu, saat dihujani konfrontasi oleh masyarakat dan salah satu lembaga Islam yang berhaluan fundamentalis Islam kanan, Front Pembela Islam (FPI), tentang tema Orientasi Studi Cinta Akademik dan Almamater (OSCAAR) salah satu Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF) UIN Sunan Ampel Surabaya yang dianggap menghina dan menistakan Tuhan, dengan diksi “Tuhan Membusuk; Reaktualisasi Islam Fundamental Menuju Islam Kosmopolitan”. Peristiwa itu sontak membuat wajah DEMA FUF dan DEMA UIN Sunan Ampel Surabaya menjadi wajah terdepan untuk menjadi sumber klarifikasi berita awak media. Tentunya sikap profesional, kepala dingin, dan argumen cerdas yang berlandasan, menjadi pertaruhan penting bagi pihak mahasiswa (DEMA FUF dan DEMA UIN Sunan Ampel Surabaya) untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk akibat salah tafsir dari masyarakat tentang tema OSCAAR FUF. Dan sikap-sikap demikian, sejauh pengamatan penulis membaca respon para DEMA FUF dan DEMA UIN Sunan Ampel Surabaya didalam lansiran pemberitaan media cetak dan online, Rahmat selaku Gubernur DEMA FUF periode 2014-2015 dan Hakim Selaku Presiden UIN Sunan Ampel Surabaya periode 2014-2015 mampu secara profesional untuk tetap bertanggungjawab menjelaskan substansi dari tema OSCAAR yang menggemparkan itu, kendati tanpa maksud menistakan agama dan Tuhan, tetap saja pada waktu itu masalah tersebut berakhir di meja hijau. Tapi dari sekelumit hal tentang cerita haru nan sendu di OSCAAR UIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2014 bukanlah terletak pada substansi masalah yang dialami oleh DEMA FUF DEMA UIN Sunan Ampel Surabaya dan pihak Rektorat UIN Sunan Ampel Surabaya yang menjadi aspek penting dalam pembahasan kepemimpinan ini. Tapi lebih kepada perlunya kemampuan kognisi dalam keluasan wacana, wawasan, ilmu pengetahuan yang memiliki pemimpin negara kampus sebagai suatu bentuk antisipasi secara preventif dan kuratif jika, entah kapan itu (naudzubillah), masalah yang serupa menimpa dan terjadi lagi kepada DEMA UIN Sunan Ampel Surabaya atau fakultas-fakultas lainnya di UIN Sunan Ampel Surabaya. Beruntungnya kita. Saya pribadi cukup mengenal, Cak Rahmat dan Cak Hakim, sebagai senior-senior saya dari angkatan 2011 yang memiliki ketekunan dalam beristiqomah dengan aktivitas diskusi dan membaca buku-buku pemikiran, filsafat, ilmu pengetahuan dan keislaman (suatu aktivitas yang sulit bagi kami, adik-adik atau kader-kader mereka untuk meniru). Yang akhirnya terselamatkan oleh ilmu pengetahuan yang mereka pelajari, dalam menghalau intervensi konfrontasi dan cecaran dari pihak penggugat yakni FPI. Mereka mampu menjawab, memberikan penjelasan secara bertanggung jawab atas tema OSCAAR yang secara tak sengaja dipahami ditafsirkan secara keliru oleh khalayak luas (masyarakat luar kampus). Tentunya kita tak membayangkan jika, mereka berdua sebelumnya tidak benar-benar memiliki kapabilitas dalam keluasan wacana untuk menjawab masalah yang menimpa DEMA FUF dan DEMA UIN Sunan Ampel Surabaya, akan menjadi apa wajah UIN Sunan Ampel Surabaya dihadapan publik dan negara-negara kampus di seluruh Indonesia. Inilah yang menjadi dasar pertimbangan mengapa kemampuan secara kognisi semacam ini begitu penting untuk menjadi standar kualifikasi memilih pemimpin negara kampus.

Ketiga, keterampilan kerja secara administrasi ketika nantinya menjabat, seperti menyusun laporan keuangan organisasi, menyusun proposal pengajuan kegiatan, menyelesaikan laporan pertanggungjawaban (LPJ), pembuatan surat-menyurat dan sebagainya. Hal ini penting menjadi salah satu standar kualifikasi seorang pemimpin di tatanan negara kampus, mengingat problem ini sebenarnya begitu remeh dan kecil, tapi nyatanya (pengalaman di beberapa DEMA fakultas se-UIN Sunan Ampel Surabaya) menjadi kendala paling besar kepemimpinan negara kampus di UIN Sunan Ampel Surabaya. KIta tak menutup mata tentang prosedur penurunan anggaran kegiatan mahasiswa yang begitu sulit, rumit, ribet dan begitu menjenuhan. Dalam kalimat lugas, uang selalu akan cair ketika LPJ telah rampung tanpa revisi. Maka dapat kita simpulkan jika uang turun ketika acara atau program kerja telah terselenggara. Artinya ketika ada suatu penyelenggaraan kegiatan atau acara mahasiswa, maka acara tersebut dapat dipastikan diselenggarakan menggunakan dana hasil patungan panitia, atau dana non-kampus. Entah, ada suatu mekanisme besar yang rumit dalam sistem keuangan organisasi mahasiswa (apakah proposal dosen juga demikian rumitnya seperti porposal mahasiswa, allahhuallam), apa yang melatarbelakangi itu semua, hingga menjadi mitos yang benar-benar mengasyikkan untuk dipergunjingkan. Karena hal itulah, kebanyakan dari teman-teman pejabat mahasiswa yang menguasai leading sector kekuasaan miniatur negara kampus tingkat fakultas atau UIN Sunan Ampel Surabaya lebih memilih untuk tak menggunakan anggaran kampus dalam memfasilitasi acara dan programnya, karena begitu ribetnya dan membuang-buang waktu. Padahal, pandangan semacam ini tentunya tak menyelesaikan masalah, justru menambah masalah yang laten sifatnya, karena beban bagi para mahasiswa yang tergabung di DEMA atau SEMA akan merasa sangat berat harus mengeluarkan uang patungan (bahasa khas arek-arek LPM Ara Aita: bantingan) untuk setiap program kegiatan. Jika kita hendak lihat secara perlahan-lahan teliti dan sabar, sebenarnya uang anggaran itu benar-benar bisa cair hanya saja harus butuh tingkat kesabaran dan pengertian yang ekstra untuk memahami bahwa anggaran mahasiswa yang dikucurkan dari keran anggaran negara begitu membutuhkan kelengkapan surat-menyurat, verifikasi beserta bukti alokasi penggunaan anggaran karena menyangkut pelaporan kepada keuangan negara. Andaikata penjelasan semacam ini lebih dini diketahui oleh mereka, para pejabat-pejabat kampus, mungkin mereka tak akan menyesal jika harus menunggu hingga akhir kepengurusan anggaran bisa sepenuhnya cair.  Lagipula, mengapa kita begitu membutuhkan anggaran dari kampus sebagai sarana dan prasarana kegiatan mahasiswa, agar nantinya para mahasiswa sudah tidak lagi berfikir tentang bagaimana caranya mencari uang untuk mendanai beragam kegiatan yang diprogramkan. Tapi sudah berfikir bagaimana membuat suatu program kegiatan yang berkualitas menunjang proses pembelajaran. Karena kita telah menyadari betapa pentingnya anggaran dana yang telah disediakan oleh pihak kampus, meskipun begitu sulit dan rumit untuk mencairkannya, tapi bukan berarti mustahil untuk tidak cair, hanya butuh rasa sabar, ketekunan dan ketelatenan untuk mengatasinya. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana kita dapat melihat kemampuan seorang pemimpin dalam menyelesaikan perkara administrasi anggaran kampus yang super ribet. Sederhana. Cukup tanyakan saja, sebelumnya pernah menjabat sebagai apa di organisasi? Dan apakah memiliki pengalaman dalam menyelesaikan urusan administrasi di tingkat fakultas atau di organsiasi tempat dulu ia pernah belajar.

Setelah membahas bagaimana kualifikasi seorang pemimpinan negara kampus, kemudian kita akan membahas perihal partai politik mahasiswa pengusung. Karena sistem pemilihan di kampus UIN Sunan Ampel Surabaya menggunakan sistem kepartaian untuk mengusung kandidat, lengkap beserta jajaran menteri-menteri pengisi formasi kabinet. Tentunya kualifikasi dan standarisasi partai politik mahasiswa untuk melihat partai politik mahasiswa mana yang benar-benar mampu menjalankan regulasi kepartaian dan memilih figur untuk memimpin publik. Diharapkan pihak Kopurwa untuk tidak terlalu membatasi mereka para partai politik baru yang bukan sebagai peserta pemilu raya di pemilihan umum beberapa tahun yang lalu, dengan standar persyaratan dan kualifikasi yang memberatkan. Kendati upaya untuk memberatkan partai-partai baru adalah sesuatu siasat dari kelompok rezim yang berkuasa untuk meminimalis kemungkinan rival-rival politik ketika pemilu berlangsung. Istilah paling purba yang sering mereka gunakan adalah upaya untuk menjegal lawan. Meskipun pesimisme publik akan selalu bernada ringkih dengan aroma suudhzon pada mereka yang menjadi Kopurwa, nyatanya adalah orang-orang pilihan dari dapur kepartaian dan organisasi ekstra parlementer kampus yang berkepentingan. Tapi lagi-lagi kita takkan merasa asing dengan keadaan ini, karena corak semacam ini sungguh familiar bagi kita dulu di zaman orde baru.

Pandangan kritis dari saya pribadi. Kalau cara befikir dengan logika deduktif sakit, semacam ini terus saja dirawat oleh rezim atau organisasi ekstra parlementer kampus yang berkuasa, maka akan mustahil percaturan politik mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya merawat ghiroh positif untuk mengimplementasi politic educated pada generasi mahasiswa yang datang silih berganti. Dan ini disadari atau tidak menjadi suatu pertanda gagalnya organisasi ekstra parlementer kampus menjalankan fungsi penggugah kesadaran mainstream mahasiswa di dalam kehidupan kampus.

Pada mereka yang berada di kelompok dominan, yang memainkan peran sebagai si penguasa rezim, tentunya suatu sifat pengecut yang dirawat secara sistemik yang sebenarnya mengindikasikan suatu moral value politik yang terbelakang. Jika mereka yang dominan adalah organisasi ekstra parlementer kampus PMII Cabang Surabaya, sangat mungkin publik akan membuat stereotype terhadap PMII Cabang Surabaya atau bahkan organisasi ekstra parlementer kampus lainnya, sebagai organisasi ekstra parlementer kampus yang mengalami waham autistik. Suatu ciri keabnormalitasan dari diri individu yang memiliki kecenderungan fokus terhadap suatu bentuk permainan, benda atau entitas tertentu, kendati tanpa landasan berfikir atau rasionalisasi yang logis, mengapa harus terus memainkan itu.

Tentunya organisasi ekstra parlementer kampus seperti PMII tengah mengidap waham ini, dalam istilah Psikologi, PMII Cabang Surabaya, mengalami suatu bentuk kecenderungan perilaku yang memfokuskan satu entitas perilaku, yang bentuknya entah mainan, benda-benda yang sifatnya fisik atau non-fisik. Dan politik adalah entitas yang dapat kita sebut sebagai non-fisik yang menjadi objek perilaku menyimpang. Yang bentuknya, perilaku politik yang ingin mendominasi, memonopoli, dan ingin menangnya sendiri. Apakah kita masih menolak kenyataan ini, tentang kondisi mentalitas yang sakit dari organisasi ekstra parlementer kampus kesayangan kita.

Dalam telaah Psikologi Politik, pola berpolitik secara organik yang semacam itu oleh organisasi ekstra parlementer kampus PMII, berpotensi menimbulkan suatu bentuk alienasi atau keterasingan politik. Keterasingan antara para elit, dalam istilah yang digunakan Hamdi Muluk seorang Psikolog Politik, dengan para warga negara (civil society). Tentunya disini kita melihat jarak yang memisahkan antara negara dan warga negara, yang seharusnya mustahil terpisahkan. Apa yang melatarbelakangi, adalah yang sudah kita dari awal jabarkan, pola sikap dan perilaku para pejabat kampus yang menjadikan politik sebagai mainan khusus organisasi berbendera (organisasi ektra parlementer kampus) dan tak boleh diganggu, karena disitu ada kekuasaan, uang dan eksistensi. Akibatnya apa? Suatu pertanyaan yang harusnya menjadi proyeksi kemungkinan terburuk dikepala mereka para elit mahasiswa pejabat miniatur negara sebagai representasi refleksi yang paling kritis. Yakni sesuai yang dikemukakan Yinger (1973), mulai hilangnya keterhubungan (loss of a relationship), hilangnya rasa partisipasi (loss of participation) dan hilangnya kemampuan mengendalikan (loss of control) dalam kaitannya dengan proses sosial politik. Yang tentunya sangat membahayakan konstelasi dasar dari adanya miniatur negara kampus sebagai elemen yang memberikan suntikan pengetahuan tentang politic educated pada mahasiswa yang bertindak sebagai warga negara. Karena, Pertama sukarnya mendorong partisipasi yang lebih tinggi dan kontruktif. Kondisi alienasi politik yang tinggi, cenderung mengakibatkan proses penarikan diri (withdrawal) terhadap aktivitas politik nasional (Templeton, 1966 dalam Muluk, 2010). Inilah yang kita maksud sebagai imbas paling konkret ketika organisasi ekstra parlementer kampus yang mendominasi organasisasi intra parlementer kampus, tidak lagi memiliki orientasi pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan dari warga negara (mahasiswa pada umumnya yang tak jadi pejabat), entah itu dalam segi pengembangan softskill dan hardskill dalam mempersiapkan diri menghadapi dunia kerja, atau dalam perluasan wacana politic educated. Mereka akan memilih untuk menarik diri dengan suatu bentuk kesadaran, bahwa DEMA dan SEMA tidak mampu menjawab sekaligus memenuhi apa yang menjadi keinginan civil society warga negara mahasiswa didalam kehidupan berpolitik, bernegara kampus.

Kedua. Meningkatkan ketidakpercayaan politik (political untrust). Publik atau mahasiswa sebagai warga negara sudah antipati terhadap segala bentuk itikad pembangunan dan pengembangan diri secara softskill maupun hardskill dari program-program atau acara-acara yang itu diselenggarakan oleh mereka yang menjabat di DEMA dan SEMA. Dengan argumentasi, ada suatu bentuk kepentingan yang terselip halus didalamnya. Yang toh, pada akhirnya tidak menentukan sama sekali nasib diri (kita) selama berkuliah mengejar gelar sarjana.

Ketiga. Dukungan terhadap keberlanjutan bisa terancam. Ini merupakan akumulasi dari kejenuhan berpolitik mahasiswa yang benar-benar tak berorientasi pada kebaikan dan kebenaran. Karena sulitnya mendorong partisipasi mahasiswa warga negara untuk turut dalam visi dan misi kepartaian yang telah dilegalkan oleh lembaga negara miniatur negara kampus seperti DEMA dan SEMA. Diperparah dengan ketidakpercayaan mereka terhadap simbol-simbol negara kampus seperti gubernur dan presiden DEMA dan keterwakilan SEMA, karena sudah terpatri dengan anggapan, “toh tak ada bendanya, ketika ada dan tiadanya.” Kondisi demikian akan menjadi bertambah parah ketika suatu sistem besar tradisi belajar politik berorganisasi akan tiba pada suatu saat, karena mekanisme regulasi kepengurusan bergulir pada generasi mahasiswa selanjutnya, akan hilang sama sekali dan untuk selama-lamanya. Dapat kita perkirakan, ketika saat ini kita menyadari betapa hanya sedikit mahasiswa yang memutuskan untuk tergabung didalam organisasi (karena merasa ada ghiroh positif didalamnya), diperhadapkan dengan sistem besar politik tidak sehat warisan dari senior-senior mereka terdahulu, tak lama lagi miniatur negara kampus mulai akan sepi dan tak lagi dianggap sebagai suatu ajang, fasilitas belajar, ruang eksperimen menempa diri dan mengembangkan intelektual, perluasan wawasan, bahkan kecakapan softskill-hardskill individu mahasiswa. Nantinya kita akan saksikan, mahasiswa tidak akan ada lagi kemauan untuk menjadi seorang Presiden DEMA universitas, Gubernur DEMA fakultas atau ketua UKM, lantaran suatu paradigma, “apa pentingnya organisasi itu, karena tak ada sangkut-pautnya dengan perkuliahan saya setiap hari.” Gempuran zaman yang berkelindan dengan sistem perkuliahan, para mahasiswa, tepatnya adalah adik-adik kita, nantinya akan benar-benar memilih untuk memfokukan diri mengerjakan tugas-tugas makalah dan aktivitas kuliah mereka (yang sebenarnya formalitas belaka), daripada bersusah payah berorganisasi yang didalamnya sebenarnya disadari atau tidak menyediakan segala hal keperluan bagi diri mereka ketika nanti berhadapan dengan dunia nyata selepas diwisuda. Apa mau dikata? Mereka sudah terlanjut menstereotipekan dan mempersempit makna atas fungsi organisasi yang akhirnya disimbolkan dengan anggapan, “organisasi itu hanya sebatas rutin hadir setiap sore untuk diskusi, tiap minggu jadi panitia acara, harus berani bolos kuliah karena ada acara ini dan itu, atau mungkin bagi para pengurus harian justru harus direpotkan memikirkan pintar dan tidaknya para anggota yang dinaunginya.” Kendati semuanya itu merupakan ikhtiar diri sebagai upaya menempa dan mempersiapkan diri menghadapi dunia profesi nanti. Dipastikan pula, runtuhnya pemahaman akan pentingnya miniatur negara kampus, akan pula meruntuhkan moral value dalam diri mahasiswa untuk menjadi agen kontrol sosial dimasyarakat sebagaimana termaktub didalam Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Belum lagi kita diperhadapkan pada situasi kultur sosiologis di UIN Sunan Ampel Surabaya, kita tentu akan menghadapi arus besar para misionaris dari kelompok-kelompok Islam ekstrem kanan yang ingin mengedarkan suatu pandangan ideologi transnasional yang tak mengakar rumput dari tradisi adat modal kebudayaan nusantara dan Islam rahmatanlilallamin. Jika kita saat ini masih saja melihat para organisasi ekstra parlementer kampus saling berebut kekuasaan di dalam miniatur negara kampus, kemudian setelah berkuasa dan memegang tampuk kepemimpinan hanya berorientasi pada kepentingan kekuasaan itu semata; uang, eksistensi, dan kekuasaan, oleh karenanya mengindahkan fungsi edukasi politik sebagai sarana untuk belajar bagaimana mendistribusikan kebijaksanaan dan mencapai kemaslahatan bersama bagi warga negara mahasiswa. Di zaman baru nanti, justru sebaliknya, mahasiswa enggan berpolitik dengan menjabat disegala leading sector pemerintahan infrastruktur dan suprastruktur negara kampus, apalagi sampai seteru antara organisasi karena berseberangan pandangan politik, ideologi, dan pemikiran. Karena apa? Dua penyebabnya. Senior-senior mereka menyontohkan pada suatu bentuk pembelajaran, pemahaman yang keliru akan miniatur negara kampus. Dan hegemoni perubahan zaman yang menjauhkan mereka dari akar rumput idealnya manusia sebagai khalifah fil ard yang nahi mungkar. Kita lantas kembali bertanya, sebagaimana Rendra bersajak. “Maksud hati saudara untuk siapa? Saudara berdiri dipihak yang mana?” Orasi ilmiah penyambutan mahasiswa baru, dengan gaya pembacaan sajak tahun 70-an di hadapan mahasiswa baru Universitas Indonesia (UI). 

 

2) Proses Kampanye Untuk Mempublikasikan Wajah Calon-Calon Pemimpin

Pada tahap ini, menjadi sangat perlu untuk melakukan penyesuaian terhadap cara-cara baru pada prosesi pemilu dikarenakan, proses kampanye merupakan prosesi dimana para calon pemimpin akan mengedarkan ide-ide tentang kepemimpinan dan visi-misi yang akan ia implementasi selama masa menjabat, andaikan menang. Kampanye merupakan suatu momentum dimana para calon dari berbagai latar belakang kelompok, golongan, kebudayaan dan tradisi keilmuan diperbenturkan secara kontestatif idenya, gagasannya, pemikirannya tentang kesempatan untuk memimpin kekuasaan beberapa waktu kedepan. Bagi para calon pemimpin dalam tahap ini merupakan suatu kesempatan untuk bertarung secara kontestatif ide, gagasan dan pemikiran dengan rival yaitu kandidat lain, atau suatu bentuk kesempatan untuk mensosialisasikan visi dan misi kepemimpinan beserta sekaligus implementasi konkret dalam program kerja. Untuk itu, adanya sistem dan alat baru dalam penyelenggaraan pemilu raya mahasiswa, patut pula memfasilitasi bagaimana prosesi kampanye menjadi ajang pertemuan, pengenalan, atau tabayyun bagi para calon kandidat dan warga negara. Tak cukup hanya itu, alat baru itu hendaknya mampu mengatasi problem fundamental bagi kalangan mahasiswa yang benar-benar bersikap apatis tak ingin tahu menau, dan tak ingin tahu tentang politik, sehingga enggan untuk menggunakan hak suaranya di pemilu raya. Bahkan sebenarnya problem fundamental tentang apatismenya mahasiswa dalam perpolitikan mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, salah satu faktornya disebabkan oleh proses sosialisasi dan kampanye tidak dilangsungkan secara maksimal. Sehingga si batang hidung kandidat calon pemimpin yang nantinya dipilih, para mahasiswa tidak pernah tahu wujudnya. Maka, urgensi untuk menentukan sistem baru dalam melakukan prosesi kampanye calon dianggap perlu. Kita tentunya masih ingat bagaimana cara-cara manual juga mempengaruhi prosesi kampanye calon kandidat peserta pemilu. Selebaran-selebaran tertempel di tembok-tembok atau disudut-sudut kampus secara sembarangan, tak jarang kita temui di kamar mandi atau tempat wudlu di masjid-masjid sekitar kampus. Mengingat pengalaman itu, tentunya dengan hadirnya alat yang lebih canggih dan sederhana berbasis IT, format kampanye bisa kita buat sama berbasis IT pula. Sebuah itikad, untuk berdialektika dengan zaman. Di era yang serba simulasi, maya dan fantasi seperti saat ini, menghindari pesimisme akut terhadap modernitas dalam simulakra-nya Jean Baudrillard, Kopurwa ataupun kita patut memiliki cara berfikir gila, berani dan segar untuk memanfaatkan android, gadget, smartphone sebagai media baru penunjang penyelenggaraan prosesi kampanye kandidat pemilihan umum. Kopurwa tentu akan berfikir bagaimana kampanye itu bisa diselenggarakan tanpa harus melibatkan kertas-kertas yang di tempel ditembok-tembok kampus. Tentunya Kopurwa juga jangan berfikir bodoh untuk tidak menguji ide, gagasan dan pemikiran dari para kandidat calon dengan hanya memverifikasi berkas surat menyurat yang administratif belaka sifatnya. Memverifikasi ide dan hal ikhwal isi kepala kandidat calon pemimpin kita, sepertinya hal yang paling substansial.

   

3) Sosialisasi Kepada Seluruh Warga Negara Yang Mencakup Suprastruktur Dan Infrastruktur Negara

Sosialisasi menjadi inti dari berlangsungnya hajatan besar politik yang disimbolkan dengan pemilihan umum. Pemerintahan mahasiswa memiliki wewenang dan andil lebih dalam penyelenggaraan sosialisasi ini dengan harapan kemajemukan dari penyelenggaraan politic educated didalam kampus dapat benar-benar adaptif hingga menyentuh elemen paling kecil didalam miniatur negara kampus, yakni mahasiswa awam yang tak benar-benar mengerti tentang seluk-beluk politik. Adanya alat baru, dengan segala bentuk karakteristik yang sifatnya menyederhanakan segala sesuatunya, sistem sosialisasi tentunya diharapkan mengikuti sebagaimana tuntutan dan mekanisme gerak alat baru tersebut. Namun tetap tidak meninggalkan aspek paling fundamental dari upaya sosialisasi politik negara kampus. Sepertinya kita tidak mungkin lagi mengandalkan pengetahuan politik mahasiswa (warga negara) dengan selebaran kertas berisikan sosialisasi pemilihan umum yang ditempel dimading-mading disetiap fakultas. Sepertinya tidak lagi efektif. Perlu adanya suatu cara memahamkan yang sifatnya lugas, terukur dan tentunya tepat sasaran, untuk memberikan suatu suntikan pengetahuan wacana berfikir mereka terhadap politik kampus yang diperankan oleh para mahasiswa sendiri. Kopurwa tentu harus berfikir lebih jernih lagi, bagaimana fungsi penyelenggaraan edukasi politik tidak hnaya dipahami setengah-setengah oleh mahasiswa yang awam, dengan tidak mengandalkan selebaran kertas yang ditempel di Majalah Dinding (Mading) belaka. Sosialisasi dengan format seminar, simposium, atau kuliah umum berskala lokal dimasing-masing fakultas-fakultas yang berisikan tema tentang Pentingnya Politik bagi Mahasiswa ditinjau dari paradigma dan rumpun keilmuan dimasing-masing fakultas, sepertinya cara-cara semacam itu merupakan ide yang brilian dalam menjalankan fungsinya sebagai elemen penggugah kesadaran pentingnya edukasi politik. Dan menciptakan suatu pandangan utuh bahwa kampus merupakan tempat dimana kontestasi politik akal sehat harus digalakkan (bukan politk uang seperti di tatanan nasional) dan pentingnya keterhubungan antara pemimpin DEMA dan SEMA dengan warga negara mahasiswa pada umumnya di UIN Sunan Ampel Surabaya.

 

4) Tata Cara Ketika Nyoblos

Tentu disini kita akan berbicara tentang bagaimana mekanisme dasar dari penggunaan alat atau sistem pencoblosan berbasis IT ini. Dan sangat sederhana. Saya menyaksikan peragaan dari Aziz dan kawan-kawan mencoblos menggunaakan alat ciptaannya, prosedur standar dalam memilih wajah kandidat tetap sama substansialnya sebagaimana cara-cara manual pada umumnya. Jika menggunakan cara manual, seorang warga negara akan mencoblos wajah dan nomor kandidat calon yang dipilihnya pada lembar kertas suara menggunakan paku payung yang disediakan Kopurwa di dalam bilik suara. Menggunakan alat atau sistem pencoblosan berbasis IT yang baru, seorang warga negara juga sama mencoblos wajah dan gambar kandidat yang terpampang, namun bukan dilembar kertas suara menggunakan paku payung, melainkan layar monitor komputer menggunakan kursor komputer. Perbedaan yang nampak begitu jelas, dalam segi penggunaan waktu akan menjadi lebih efektif dan singkat. Bagaimana dengan sistem keamanan standar mengantisipasi seorang warga negara menggunakan dua kali bahkan lebih, kesempatan memilih kandidat. Alat atau sistem pencoblosan berbasis IT yang diciptakan Aziz ternyata telah didesain mengantisipasi kemungkinan terburuk macam itu. Dengan cara seorang warga negara mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya harus login terlebih dahulu mencantumkan username dan password sebagaimana ia miliki dari program siakad.uinsby, sebelum akhirnya meng-klik kandidat yang dipilihnya. Program tersebut telah dirancang untuk satu kali login user, hanya dapat untuk sekali kesempatan mencoblos, prinsip one man one choice yang termaktub didalam AD & ART juga menjadi pertimbangan dasar yang ketat untuk membuat alat atau sistem pencoblosan berbasis IT ini. Lantas alat dan sistem baru ini apakah juga mustahil unuk diretas atau di-hack oleh para oknum cyber crime. Jawabannya, Aziz mengutarakan selama jangkauan penggunaan alat atau sistem pencoblosan berbasis IT ini masih berada didalam wilayah jangkuan yang masih memungkinkan pengawasan mata kita untuk melihat dan mengawasi, maka masih dapat dipastikan keamanan dari serangan hacker yang tak bertanggungjawab. Tapi kan masih ada kemungkinan, jika username dan password miliki seseroang bisa dibobol oleh orang-orang yang memang sengaja untuk mengingat-ingat username dan password orang lain. Bagaimana jika demikian? Sederhana jawabannya, ternyata kata Aziz, itu tidak mengindikasikan kesalahan, kelemahan atau kecacatan dari sistem ataupun mekanisme dari alat atau sistem pencoblosan berbasis IT tersebut. Melainkan murni human error. Manusianya yang bermasalah bukan alatnya.     

 

5) Tahap Rekapitulasi Suara Setelah dilakukan Pemungutan Suara

Ternyata alat atau sistem pencoblosan berbasis IT ini juga menyederhanakan pula proses rekapitulasi suara yang semula jika kita menggunakan cara dan mekanisme manual, surat suara harus dihitung satu persatu, dengan pangawasan ketat melihat lubang coblosan dilembaran surat suara apakah lubang coblosan tersebut sudah sesuai dengan tata aturan yang telah ditetapkan Kopurwa, jika tidak, coblosan surat suara kan dianggap tidak sah. Pada alat atau sistem pencoblosan berbasis IT ini, akumulasi perhitungan suara sudah secara otomatis masuk ke database perhitungan user program (sistem pengguna program), lengkap beserta perolehan suara hingga kita dapat mengetahui kandidat calon mana yang memperoleh suara terbanyak dan menentukan siapa pemenangnya, jadi alat ini tidak akan menghabiskan banyak waktu untuk dengan menunggu proses rekapitulasi yang biasanya memakan waktu berjam-jam lamanya. Cukup satu klik saja kita akan tahu siapa yang menang, lengkap beserta perolehan suaranya.  

Seorang sahabat, mantan Ketua Rayon Dakwah Komisariat UIN Sunan Ampel Surabaya Cabang Surabaya, Ahmada nama, mahasiswa jurusan Bimbingan Konseling Islam (BKI), lazimnya ia suka dipanggil dengan Cak Mad, menceritakan pengalaman tentang alat atau sistem pencoblosan berbasis IT yang sempat diujicobakan secara langsung dalam pemilihan ketua Himpunan Mahasiswa Prodi (HMP) Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Ampel Surabaya, cukup lancar, antusias dan singkat. Ia melanjutkan, hanya saja ada satu kegamangan dari alat IT tersebut yang juga turut mewarnai perpolitikan tingkat HMJ KPI di FDK, yakni proses rekapitulasi suaranya menjadi tidak seru, lantaran proses mendebar-debarkan itu, yang  biasa turut mewarnai dalam prosesi rekapitulasi suara kini sontak hilang, saat menggunakan alat pencoblosan berbasis IT. Ia mengutarakan jika suasana yang mendebar-debarkan yang lazim menjadi bumbu atmosfer politik ketika proses rekapitualsi surara berlangsung, dan menjadi momentum dimana politik mahasiswa memiliki wajah dan tempat. Namun, sahabat saya itu tidak menyesalkan hal tersebut begitu dalam, hanya saja mungkin butuh penyesuaian dengan cara-cara dan mekanisme baru, atau mungkin memikirkan kembali bagaimana caranya alat pencoblosan berbasis IT ini dimasa yang akan datang juga mampu menimbulkan gaung dan atmosfer yang lebih menggugah percaturan politik mahasiswa. Agar tidak, “moro-moro menang gitu saja,” katanya. 

 

6) Pengesahan dan Sosialisasi Pemenang Hasil Rekapitulasi

Apa yang dipaparkan oleh sahabat saya itu tentunya menjadi informasi dan data penting terhadap jalannya perpolitikan mahasiswa mengunakan alat atau sistem baru pencoblosan bebasis IT. Itu masih merupakan persoalan tentang bagaimana tradisi dan budaya politik beberpa waktu yang lalu mencirikan bahwa proses rekapitulasi menjadi seru ketika dibacakan satu persatu perhitungan suara dengan cara manual. Tidak menutup kemungkinan, nantinya akan timbul suatu permasalahan yang begitu krusial, yakni penolakkan terhadap hasil rekapitulasi suara yang dilakukan menggunakan sistem atau alat IT yang baru. Entah apa yang melatarbelakanginya, tentunya kita patut memikirkan ini juga jika nantinya ada saja yang tiba-tiba menggugat setelah pembacaan hasil perolehan suara yang begitu otomatis, singkat, dan cepat. Perlunya suatu mekanisme baru pula dalam mengesahkan hasil rekapitulasi suara yang menggunakan alat IT tersebut. Kita bisa saja lakukan dengan cara mengesahkan hasil rekapitulasi suara dengan dihadirkan saksi dari berbagai pihak yang dianggap mampu secara valid mengindikasikan prosesi pemungutan suara terawasi, teratur, rahaisa, dan jujur. Yakni Pertama, menghadirkan masing-masing saksi dari partai atau kandidat calon. Sebagai upaya untuk saling mengawasi dan memantau jalannya pencoblosan berbasis IT agar tidak terjadi kecurangan-kecurangan yang diakibatkan oleh rival politik pendudukung salah satu kandidat calon, atau sistem pencoblosan berbasis IT yang sebenarnya tidak semua orang bisa mengoperasikannya karena berbasis teknologi yang segalanya komputerisasi, virtual dan IT. Artinya mengantisipasi kecurangan akibat sabotase sistem yang hanya orang-orang IT saja yang dapat melakukannya.

Kedua, kemudian menghadirkan elemen pers mahasiswa ditingkat fakultas atau universitas sebagai media publikasi terhadap segala bentuk gerak-gerik proses perpolitikan kampus. Pers mahasiswa juga dapat mewakili mata publik dan aspirasi warga negara mahasiswa lainnya yang secara de facto dan de jure tidak diperbolehkan mengikuti jalannya proses pemungutan suara hingga rekapitulasi suara selesai. Ketiga, Turut menghadirkan pula elemen keamanan mahasiswa yang dapat kita wakilkan kepada Organisasi intra kampus UKM Menwa. Kita juga patut mengantisipasi jika nantinya ada suatu konfontasi tak berhujung yang berakhir dengan konflik fisik. UKM Menwa disatu sisi dapat memastikan keamanan penyelenggaraan proses pemilihan, disisi yang lain dapat pula turut menjadi pengawas dan pengesah hasil rekapitulasi suara yang ditetapkan olek Kopurwa. Keempat, patut juga dihadiri oleh perwakilan dari pihak dekanat atau rektorat yakni oleh wakil dekan atau Wakil Rektor III bidang Kemahasiswaan. Sebagai penanggungjawab aktivitas mahasiswa, peran elemen kelembagaan dekanat dan rektorat nantinya diharap mampu menstabilkan kondisi dan suasana perpolitikkan yang rentan konfrontasi antar kelompok hingga benturan fisik.

Untuk itu keempat komponen itu mulai dari para saksi dari tiap kandidat, perwakilan elemen pers mahasiswa, perwakilan elemen pengamanan mahasiswa UKM Menwa, dan birokrasi dekanat maupun rektorat, nantinya ketika hasil rekapitulai suara telah dikeluarkan secara formal oleh Kopurwa dapat disahkan secara langsung oleh penandatangan dari keempat komponen pengesah hasil rekapitulasi suara. Mengapa sebegitu ribetnya ketika hanya sebatas mengesahkan? Ketika kita melihat sistematika pencoblosan dengan cara manual, proses pengawasan pada saat perhitungan suara yang begitu lama memakan waktu dapat disaksikan oleh segenap warga negara tanpa harus melibatkan elemen atau entitas suprastruktur negara lainnya seperti Menwa, Pers Mahasiswa atau pihak birokrasi dekanat atau rektorat. Proses perhitungan dapat disaksikan dengan mata kepala masing-masing orang yang, entah kebetulan atau menyempatkan dengan sengaja untuk datang, karena proses perhitungan dilakukan dengan cara yang ketat dan penuh pengawasan, sehingga memungkinkan semua orang yang melihat dapat sekaligus pula apakah surat suara yang akan dibacakan lubang pencoblosannya telah sesuai dengan aturan sah dan tidak sah yang dibuat oleh pihak Kopurwa. Tentu mekanisme manual semacam ini tidak akan bisa kita gunakan saat menggunakan alat pencoblosan IT, karena alat tersebut tidak menguji kevalidan dan keakurasian dari cara memilih, melainkan sebatas tahap perhitungan akumulasi otomatis suara yang masuk ke sistem. Yang ini, kita harus terang menandaskan. Sangat sarat, sensitif dan rentan sekali dengan penolakan oleh pihak-pihak yang tak mengetahui secara pasti mekanime sistem IT tersebut bekerja. Apalagi diperparah dengan sistem komputerisasi berbasis digital dan virtual yang tak semua orang memahaminya, kecuali orang-orang dari jurusan sistem informasi. Kemungkinan terburuk ini perlu menjadi dasar pertimbangan kita untuk tidak serta merta menggunakan alat IT untuk pencoblosan tanpa harus merubah maknisme dasar yang lainnya. Karena berubahnya suatu tatanan kecil dalam gear box system jam tangan, turut mempengaruhi pula mekanime gear yang lainnya. Jika tidak demikian, bersiap-siap saja jam tangan tersebut tak akan berumur lama akibat ketidakcocokan dan ketidaksesuaian dimasing-masing gear-nya yang justru berubah menjadi ketimpangan, bahkan tak jarang kemudharatan.

Ikuti tulisan menarik Luhur Pambudi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler