x

Iklan

Luhur Pambudi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Politik Ekstra Parlementer Kampus (6)

BETAPA TIDAK MENARIK POLITIK EKSTRA PARLEMEN KAMPUS BELAKANGAN INI (6)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Problem Mendasar Politik Mahasiswa; Manipulasi Penyebab Apatisme Mahasiswa

Kita akhirnya tahu bagaimana sesungguhnya alat ini diciptakan, alat ini bekerja dan alat ini membantu kita. Dalam perpolitikkan mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya kita dapat membayangkan, akan jadi apa alat baru ini ketika kita mulai coba terapkan secara masif di setiap penyelenggaran pemilihan umum mahasiswa di tingkat fakultas dan universitas. Cukup di UIN Sunan Ampel Surabaya saja dulu, tak perlu muluk-muluk terlalu tinggi agar bisa ditularkan secara massal ke berbagai kampus-kampus tetangga. Karena bukan untuk itu alat ini tercipta. Alat baru itu bukan tercipta untuk proyek yang diproposalkan pengadaan barangnya. Tapi, alat ini merupakan suatu alat elementer dimana pertanda akan terciptanya iklim yang lebih sehat akal pikiran politik kita, sehingga menjadi arif segala tindak tanduk kebudayaan yang oleh mahasiswa ciptakan melalui instrumentasi bernama miniatur negara kampus.

Melihat ke belakang layar sejenak, secara singkat sudah kita singgung baru saja, bahwa alat atau sistem pencoblosan berbasis IT ini hanyalah sebatas alat yang peruntukkannya tergantung kita selaku manusianya memaknai dengan cara bagaimana. Hal ini tentunya menandakan bahwa alat atau sistem pencoblosan berbasis IT bukanlah penentu dari segala sesuatunya, meskipun kita tahu betapa canggihnya saat kita hendak digunakan. Tapi apalah arti dari segala kecanggihan dan kecenderungan berfikir modern ketika kita tak meng-ijtihad-kan keberadaan alat atau sistem pencoblosan berbasis IT tersebut untuk mengentaskan problem mendasar dan tentunya fundamental dari tradisi berpolitik mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya.

Justru akan menjadi mudharat ketika alat atau sistem pencoblosan berbasis IT, oleh kita selaku manusia-manusianya, hendak memaknai sebatas kepentingan administrasi dan formalitas belaka. Di kampus nampaknya kepentingan yang kita sebut administratif dan formalitas nyatanya begitu berjejal lantas menyesakkan. Semacam asam laktat yang menggenangi persendian birokrasi ditingkat rektor, dekan, kepala jurusan (Kajur), kepala program studi (Kaprodi), staff akademik, hingga pada akhirnya efek kelelahan dan kejenuhan hebat yang dirasakan oleh segenap tulang persendian civitas akademika, lantaran terkatung-katung di dalam ruang-ruang akademis yang sifatnya kulit semata, dan nihil substansi. Apalagi jika kepentingan itu berkaitan langsung dengan akumulasi nilai jual dari status perguruan tinggi, yang tak dipungkiri, belakangan berupaya sekeras mungkin untuk mem-branding diri sebagai kampus yang entah dalam perspektif pengadaan fasilitas, literatur, taraf pendidikan, sistem pembelajaran setara dengan kampus-kampus umum yang memiliki kelas dimata masyarakat Indonesia, bahkan dunia, The World Class of Unversity. Betapa payahnya sekarang tubuh akademisi kampus kita, yang bukan lagi persendian saja yang lelah, tapi sekujur tubuh, dari ujung rambut hingga ujung jari jempol yang cantengan, turut pula kejang merasakannya. Keterbutuhan akan hal ikhwal yang dapat menjual identitas positif dari kampus UIN Sunan Ampel Surabaya menjadi harga yang tak segan dibayar oleh pihak rektorat agar kampus makin hari makin dikenal, eksis, dianggap hebat, dianggap berkompetensi, dan nampaknya berwibawa dimata masyarakat (hanya nampak, kemungkinan berwibawa masih ditanyakan ulang kepada masyarakat). Saya kurang paham ukuran apa yang sedang mereka gunakan untuk menakar kualitas dari perguruan tinggi ini? Yang jelas kampus, betapapun itu bentuk gagasannya, selama itu dapat menjual kampus UIN Sunan Ampel Surabaya dengan harga pantas dimata masyarakat dan peradaban dunia, maka berapapun cek kosong itu tertulis kampus tak segan membayarnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika memang cara befikir demikian dapat memacu pengembangan aspek yang paling substansial dari kampus UIN Sunan Ampel Surabaya seperti hasil riset, terobosan kurikulum, wacana keilmuan yang progresif atas problematika masyarakat, pengabdian masyarakat, pengembangan literasi, ruang terbuka bagi pengejawantahan baru pemikiran-pemikiran dalam pandangan ilmu pengetahuan Islamic Studies, maka tak akan menjadi masalah, justru perlu digalakkan, dan wajib semua entitas warga civitas akademika gotong-royong membantunya. Tapi belakangan bukannya seperti yang kita saksikan. Nilai jual kampus sedang tidak ditukartambah dengan hal ikhwal yang substansial, namun diperjualbelikan dengan hal ikhwal yang bersifat profane. Seperti pengadaan dan peremajaan infrastruktur dalam kampus yang berskala menyeluruh atau massal, kendati bukan termasuk salah satu contoh yang dapat mengeneralisasikan fitnah kita terhadap kampus, namun kenampakan dari bukti fisik juga dapat mengindikasikan atribut-atribut non-fisik dari suprastruktur kampus di dalamnya, seperti budaya, nilai-nilai, tradisi, kebiasaan, attitude mahasiswa dalam menuntut ilmu di kampus UIN Sunan Ampel Surabaya. Refleksi kritis ini kita dapat setelah melihat dari kenampakan yang muncul dari perilaku dan kognisi sosial mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya bukan birokrasi ditingkat dekanat atau rektoratnya. Tapi entahlah, jika hal ini pada akhirnya ada pertautan yang kausalitas sifatnya, maka cukup jelas jika pihak kampus juga turut andil terciptanya suasana peradaban mahasiswa yang demikian adanya.

Muncul kemudian suatu bentuk perubahan cara befikir dan horizon pengetahuan yang dekonstruktif, kalau rekonstruktif masih mendingan, itu yang kita harapkan bahkan. Tapi kali ini dekonstruktif dalam cara berfikir mahasiswa yang kita maskud adalah, ketika esensi dasar dari diri mereka yang tengah belajar di dalam perguruan tinggi yang memiliki orientasi khusus dalam keilmuan, yakni Islamic Studies. Menjadi beralih cara befikirnya untuk belajar dengan tujuan menghasilkan “apa”. Ketimbang belajar dalam rangka mencerahkan ketidaktahuan dengan memahami tentang “apa”. Ada sebuah tuntutan baru didalam diri mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya saat ini untuk tidak sekedar belajar, tapi sebisa mungkin menghasilan uang. Disini akhirnya kita memahami bahwa “apa” itu sebagai hal yang harus dihasilkan, adalah uang. Tidak akan menyalahkan bagi mereka yang berkuliah sembari mencari uang tentunya? Karena kita akan terjebak pula, pada pembagian-pembagian tipologi jenis mahasiswa yang memutuskan berkuliah sambil mencari uang. Mahasiswa jenis pertama, yang mencari uang lantaran kuliah mereka benar-benar bergantung pada uang yang ia cari sendiri melalui perkerjaan atau profesi yang dijalani paruh waktu. Untuk jenis mahasiswa yang kedua, ada pula yang benar-benar mencari uang untuk tidak dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar mereka (lebih kepada keinginan-keinginan mendapatkan uang lebih dari sebatas uang saku bulanan, yang dirasionalisasikan dalam bentuk argumen ingin mandiri berpenghasilan sendiri). Keduanya adalah jenis yang baik, kita tak akan menoak itu, tapi sebenarnya sangat bertendensi negatif pada jenis mahasiswa yang kedua.  Kita akan lihat cara berfikir demikian, yang akhirnya membuat mahasiswa berfikir dalam rangka orientasi dirinya memperoleh uang, yang sebenarnya ia sendiri tak perlu mencarinya, karena kebutuhan dasar hidupnya sudah terjamin dan terpenuhi. Tentunya karena ia masih memiliki orang tua atau keluarga yang mampu memberinya uang saku dan menjamin segala pernak-pernik kebutuhan hidup selama berkuliah 4 tahun lamanya. Dari sini kita ketahui bahwa cara befikir untuk mencari uang pada jenis tipologi yang kedua bukan lagi bertujuan untuk survive menghadapi hidup sebagaimana jenis mahasiswa yang pertama. Dikatakan sebagai jenis mahasiswa yang berpotensi negatif lebih, lantaran, cara befikir yang berbasis penghasilan uang akan menggeser, bahkan menyingkirkan cara berfikir utama (tentunya yang paling penting) yakni tentang perkuliahan, pendidikan dan pembelajarannya di dalam kampus.

Melacak secara deduktif argumen ini, kita akan melihat bahwa mahasiswa pada jenis kedua tidak menempatkan secara adil, benar dan baik cara befikir yang seharusnya ia pikirkan di saat dirinya berada di ruang tertentu. Saat ini ia berkuliah, saat ini ia tengah belajar, tentunya cara befikir yang harusnya ia gunakan adalah bagaimana perkuliahan, bagaimana pembelajaran, dan bagaimana kelangsungan pendidikan dirinya tetap baik dan benar tidak melenceng dari peruntukkannya. Justru berfikir bagaimana mencari uang, disaat ruang dan waktu belum (atau tidak) menghendaki dirinya untuk berfikiran demikan. Yang terjadi apa? Adanya deviasi, dalam terminologi Psikologi Perkembangan, yakni terlampaunya tugas dan karakteristik umum dalam dirinya yang seharusnya ia jalani, tapi tidak sedang ia jalani, justru malah melampaui karakteristik dan tugas perkembangan yang belum sepantasnya dialami. Deviasi menjadi pertanda dimana masalah perkembangan diri manusia itu terjadi. Dari sini dapat kita simpulkan bagaimana kecenderungan cara berfikir mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya saat ini yang begitu kronik.

Suasana lain yang kita dapati secara sosiologis, turut melegitimasi postulat dasar kita secara individual mengenai kondisi mahasiswa saat ini. Adanya suasana ketidaksadaran yang begitu merasuk dan mempengaruhi cara befikir mahasiswa yang berorientasi pada uang. Yakni masalnya acara simposium, seminar, workshop atau pelatihan, tentang kewirausahaan dan enterprenuership yang diadakan oleh para mahasiswa. Mereka sering mengadakan acara bertemakan enterprenuership karena suatu anggapan tema tersebut yang sedang hits dan populer bagi mahasiswa yang hidup di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Lagi-lagi, tak ada yang salah memang, semua sah. Hanya saja betapa jelasnya kekeliruan berfikir kita memaknai pergolakkan zaman dan arus sejarah yang sedang berlangsung. Dalam pandangan Psikologi, madzhab pertama Psikoanalisis, pemilihan tema enterprenuership dan wirausaha yang dilegitimasi menggunakan argumen rasionalitas-logis tentang perlunya tema tersebut sebagai dialektika dengan zaman, sehingga mereka akhirnya tak lagi segan menyelenggarakan acara itu. Adalah bukti dari unconsiousness pikiran mereka yang tak lagi menganggap membaca, diskusi, belajar, kuliah dan pendidikan sebagai hal penting. Entah hendak disadari atau tidak. Kemudian muncul konfrontasi yang ingin memperselisihkan argumen ini, dengan menganggap, “kuliah bagi kami tetap penting dan kami memprioritaskan itu?” Maka jawabannya adalah apakah benar kuliah dan aktivitas belajar anda sudah sesuai dan benar sebagimana yang anda katakan untuk memprioritaskan itu. Sangat mustahil. Karena premis itu adalah jenis premis yang saling bertentangan tidak sepemahaman.

Ini mengindikasikan suatu bentuk gejala bahwa mahasiswa sebenarnya pada akhirnya tak benar-benar mengerti tentang apa yang benar-benar ia butuhkan, justru terjebak pada hal ikhwal yang bersift profan tentang segala sesuatu yang mereka inginkan. Tentunya berbeda, kita melihat hal yang kita butuhkan dengan hal yang kita inginkan. Terkadang yang kita butuhkan seringkali berkonfrontasi dengan anggapan-anggapan yang membuat kita tidak menginginkannnya. Tapi tentntunya bersifat baik dan karena kebutuhan selalu benar adanya. Berbeda dengan hal yang kita inginkan, terkadang menjadi benar lantaran sesuai dengan keinginan kita, meskipun pada akhirnya disadari atau tidak, benar2 tidak sedang kita butuhkan.

Konteks Sosiologis itu sebenarnya juga dilatarbelangi oleh konstruk lingkungan, yakni pihak penyelenggara pendidikan dekanat dan rektorat. Secara eksistensialis kita akan mengetengahkan, cara berfikir mahasiswa yang serba uang, kerja, enterprenuer, kewirausahan, juga dipengarui oleh faktor intervening, bahwa pihak kampus juga mendukung arah mata angin yang dipilih mahasiswa saat ini. Pihak kampus mendukung keinginan mahasiswa untuk berwirausaha dan enterprenuership, bisa kita artikan sebagai adanya ketakutan dari pihak rektorat atas nasib mereka para mahasiswanya setelah lulus kuliah apakah mendapat pekerjaan atau profesi yang sesuai dengan fak atau basis paradigma keilmuan mereka. Rasa takut ini, tentunya tak boleh diedarkan ke ruang publik, karena strukturasi sosial menghendaki tidak boleh menimbulkan kegaduhan dari entitas sosial yang dikuasainya. Maka rasa takut itu, direduksi dalam bentuk lain yakni support dukungan terhadap aktivitas program kerja mahasiswa yang diinginkan mahasiswa, parahnya, sekalipun itu harus berseberangan dengan orientasi utama keilmuan yang mereka sedang pelajari. Dan pahamilah, bukan hanya aspek ini saja, pihak kampus tidak kontestatif cara befikirnya dalam menyeleggarakan dan memfasilitasi pendidikan bagi mahasiswa yang memutuskan berkuliah di dalamnya.

Kenampakan lain yang dapat kita peroleh menggunakan perspektif yang lebih mendasar. Jika kita berani berfikir secara telanjang dan radikal saat kita memasuki pintu. Di sebelah kiri kita tepat Masjid Ulul Albab, dari gerbang utama kampus UIN Sunan Ampel Surabaya, tepatnya di sebelah kanan dari kita ketika berdiri terdapat Gedung Twin Tower dengan segala landasan filosofis yang turut membangunnya harus diwarnai dengan wajah kapitalis yang sistemik sifatnya. Tepat Gedung Twin Tower A, lantai dasar kita akan diperlihatkan wajah sebuah Bank BTN Cabang Pembantu dan sebuah minimarket yang dikelola langsung oleh pusat bisnis kampus UIN Sunan Ampel Surabaya. Bagi saya sebuah wajah UIN Sunan Ampel Surabaya dengan kultur paradigma ilmu pengetahuan Islamic Studies seketika itu tercoreng dengan perwajahan kampus yang lebih mengutamakan esensi jual beli, bisnis, transaksi dan uang. Tentunya kita akan mendapati kenyataan ini setelah kita coba reduksi realitas tersebut dengan Psikologi Lingkungan, bahwa secara tak langsung lingkungan fisik sangat menentukan bagaimana dinamika psikologis terbentuk dalam diri manusia yang hidup, bersua, dan beradab ditengah-tengah lingkungan fisik tersebut. Diawal pembangunan kampus, yang dimulai dari tahun 2013, anggapan mendasar kita terhadap kampus yang akan menjadi lebih baik secara bangunan fisik ini adalah, akan dipastikan wajah peradaban keilmuan yang khas soal keislaman menjadi lebih ditonjolkan pula kemuka publik setelah bangunan fisik rampung. Pada kenyataannya, justru berbanding terbalik? Bukannya malah menampilkan wajah, ruh, dan substansi intelektual yang dapat disimbolkan dengan ruang-ruang yang memungkin tradisi berdialektika antar keilmuan terjadi seperti perpustakaan dan ruang baca. Malah, membangun sarana- prasarana yang tidak-tidak, seperti minimarket dan pusat bisnis wirausaha. Tak salah memang belakangan kita saksikan jika, kampus kini disudut-sudut parkiran atau halaman bukan saja berjejal stand pendaftaran seminar, atau stand penjualan buku-buku bacaan populer remaja, tapi ada pula stand penjulaan produk makanan dan minuman yang didiskon besar-besaran. Pastinya, kita dapat menilai mana stand yang paling ramai dikunjungi mahasiswa.

Akhirnya mereka (mahasiswa) memilih untuk berfikir mencari peluang usaha, uang dan kerja, bukannya berfikir untuk merumuskan suatu ejawantah baru pemikiran tokoh penyeimbang pikiran peradaban dan dialektika ilmu pengetahuan yang membentuk zaman.

Konteks psikososiologis dari cara berfikir mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya kita adalah problem menjernihkan mana hal ikhwal yang benar-benar mereka butuhkan bukan malah terjebak pada hal ikhwal yang mereka inginkan. Keinginan mereka adalah mencari uang, dengan satu-satunya anggapan primitif uang hanya bisa didapat dengan cara kerja. Sehingga mereka memutuskan untuk kerja (padahal jika sejenak perlahan-lahan berfikir, uang tidak selalu sesederhana itu dikonotasikan dengan bekerja). Disaat yang sama mereka memiliki tuntutan akan kuliah belajar, dan pendidikan, yang nyatanya dapat dirawat hanya dengan satu-satunya cara pemenuhan kebutuhan yakni pembelajaran yang komprehensif, sesuai dengan peruntukkan dirinya di dalam perguruan tinggi. Dari kenampakan yang sudah kita jabarkan berikut, yang sebenarnya terpatri jelas diambang sadar kita, apakah ada yang hendak kita pertengkarkan?

Jika hendak kita kembalikan pada perbincangan tentang politik mahasiswa dan sistem pencoblosan berbasis IT. Keberadaan alat atau sistem pencoblosan berbasis IT tersebut tentunya bukan semata-mata digunakan dengan sebatas kepentingan akreditasi kampus agar dinilai lebih progresif dalam segi pemanfaatan alat teknologi dan informasi oleh para asesor BAN-PT. Atau agar dianggap memiliki nilai jual lebih terhadap fakultas karena sudah berbasis cyber IT dan modern. Namun, penglihatan kami menggunakan kacamata perspektif dan sudut pandang mahasiswa, alat atau sistem pencoblosan berbasis IT ini setidaknya mampu mengentaskan problem fundamental yang benar-benar menjadi kronik bagi kami yang tandang gawe ngeramut rezim. Suatu bentuk kesadaran sikap yang acuh hingga terakumulasi menjadi perilaku apatis. Mahasiswa pada umumnya di UIN Sunan Ampel Surabaya benar-benar tak pernah mengerti tentang hakikat politik dan miniatur negara kampus di kampus yang hampir setiap hari ia pijaki. Memang ada suatu pandangan bahwa tidak semua mahasiswa ingin berpolitk dan antusias mengikuti gejolak dan gaung politik kampus, namun akan muncul suatu pernyataan balik yang kritis pula, memang pada bagian mananya sih dari politik mahasiswa yang akhirnya membuat mahasiswa pada umumnya memilih untuk menghindar dan tak mau terlibat? Tentu akan menuai jawaban bahwa mereka yang memilih untuk tidak terlibat mempunyai anggapan bahwa politik mahasiswa di dalam kampus sama saja dengan politik yang ditampilkan oleh wajah parlemen negara kita di tingkat nasional. Intinya satu, yakni sama, sama-sama tukang tipu, sama-sama tukang korup, sama-sama tukang pukul, sama-sama tukang ngomong dan lain sebagainya yang bercirikan sifat kesamaan. Karena anggapan yang begitu nyinyir, mereka pada akhirnya lebih memilih untuk berkuliah saja dan tak perlu turut campur politik didalamnya. Dan kesemua jawaban itu adalah sekelumit kenyataan yang benar-benar nyata adanya. Ini menjadi tugas besar kita semua, kita yang dimaksud tentunya saja para mahasiswa yang tergabung di organisasi ektra parlementer kampus, mamangnya mau siapa lagi. Pun pihak kampus tak perlu ikut campur untuk bershodaqoh memikirkan masalah ini. Kendati problem dasar yang muncul dari masalah ini disebabkan karena biang keladi sistem besar dan grand narative ciptaan birokrasi perguruan tinggi.

Lalu problem apatisme mahasiswa dalam percaturan politik minatur negara kampus, apa yang melatarbelakanginya? Sistem besar dari birokrasi kampus UIN Sunan Ampel Surabaya yang sudah dijabarkan tadi, yang berkelindan dengan kerumitan zaman baru peradaban kita, menjadi pangkal penyebab mahasiswa menjadi apatis. Tapi.

Orang gila apa! Kita hendak menyalahkan keadaan dan realitas sosial yang sama sekali mustahil bermasalah. Realitas tidak mungkin bermasalah, jika masih bersikeukuh ada masalah, yang pasti bukan realitasnya yang keliru, lalu apa yang keliru? ya pikiran kita ini (manusia) yang mendadak hang. Lalu apakah selesai dengan menyalahkan keadaan, yang jelas akan menjadi betapa gilanya kita semua jika perspektif ini yang selalu kita ketengahkan menghadapi problema umat mahasiswa sebagai warga negara miniatur negara kampus UIN Sunan Ampel Surabaya.

Yang pasti, kita perlu mencari siapa sesosok orang, atau entitas mungkin, yang patut kita cengkram kerah bajunya untuk kita seret kemeja hijau untuk diadili dan kita tagih piutang pertanggungjawabannya. “Loh bukannya malah memperkeruh suasana yang sudah kalut dan tak mengenakkan seisi ruangan, jika kita masih saja mencari kambing hitam untuk dijotosi sama-sama dalam rangka melampiaskan kegeraman dan kemarahan kita semua?”

“Siapa yang hendak mencari kambing hitam untuk digoreng kulitnya jadi kerupuk rambak, atau dibakar dagingnya jadi sate atau krengsengan, sebagai pemuas rasa amarah, geram dan murka. Kita hanya bermaksud mencari penjelas saja dari masalah yang kita hadapi sama-sama. Dengan berangkat dari siapa orangnya, kita akan mudah melihat dengan jernih pangkal masalah dan bagaimana solusi kedepannya. Kalau tidak dengan cara demikian, ya mampuslah kau menghujat wajah Tuhan si pencipta keadaan-keadaan, zaman-zaman, fase-fase, masa-masa, ruang-ruang, momentum-momentum, waktu-waktu, kejadian-kejadian yang serba tak mengenakkan.”   

Kita butuh perspektif untuk memulai ini, mencari tahu siapa penyebabnya, itu akan mempermudah kita untuk menguliti perlahan-lahan masalah yang akarnya sudah mencengkram kuat pada tanah di kebudayaan kita. Anggapan tentang mencari kambing hitam untuk ditersangkaan beramai-ramai, bukan lantas berhujung pada penghakiman yang tak menuntaskan persoalan hingga akar. “Sudah-sudah, terus siapa memangnya yang pantas kita tersangkakan?”

Adalah organisasi ektra perlementer kampus, patut ditersangkakan, terkait lemahnya gairah perpolitikan mahasiswa hingga mencapai derajat paling akut dan stadium paling parah, yakni ambang apatisme mahasiswa dengan keadaan sosiopsikologis minatur negara kampus tempat dirinya berada.

Kemarin, menjelang hari dimana emansipasi wanita, perempuan, dan ibu-ibu kita mulai menarik perhatian peradaban, di hari Kamis tanggal 20 April 2017, ketika instansi perkantoran, sekolahan, pegawai kelurahan, karyawan perusahan tengah bersiap menyambut Hari Kartini dengan pernak pernik kebangsaan Indonesia dan segala bentuk atribut kebaya batik khas Jawa Tengah. Di kampus UIN Sunan Ampel Surabaya, sebagian kecil mahasiswa dari latar belakang organisasi ekstra kampus mendadak bentrok. Bentrokan tersebut mewarnai prosesi pemilihan umum presiden mahasiswa tahun 2017. Pemicu bentrokan cukup sederhana ketidakpuasan dari salah satu kubu partai politik belakangan kita tahu dari kubu Ormek PMII Surabaya Selatan, yang menyayangkan keputusan Kopurwa terkait; Pertama, mendiskualifikasi partai politik yang diusung mereka beserta calon presiden dan wakil presidennya. Dengan argumen, keputusan kopurwa bertendesi ke sebelah pihak dan tak berlandaskan sama sekali dengan konsensus AD & ART hasil KBMU. Mengidikasikan adanya kecurangan dan penyalahgunaan wewenang atas dasar bukti penyelenggaraan sosialisasi, pendaftaran kandidat calon beserta partai politiknya, pengesahan hasil kualifikasi kandidat calon dan partai politik, dan masa kampanye kedua calon diselenggarakan dalam kurun waktu satu hari saja.  Kedua, pergantian secara sepihak dan tak berlandaskan AD & ART hasil KBMU oleh Kopurwa dalam prosesi pemungutan suara menggunakan sistem keterwakilan dari elemen intra kampus mahasiswa, bukan pemungutan suara secara langsung kepada seluruh warga negara mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya.

Cukup arogan saya pikir, kelakuan Kopurwa dengan segala pretensi yang berat sebelah ke arah kandidat PMII Cabang Surabaya yang mengusung Partai Revolusi Mahasiswa (PRM) menandakan suatu gejala sakit yang benar-benar nyata dan akut dialami oleh organisasi ekstra kampus. Saya tidak akan terjebak dengan berpihak pada salah satu sisi; si Parem atau si PRM, bagi saya konteksnya cukup rumit karena, telah kita singgung diawal melalui tulisan sebelumnya, jika problem paling mendasar mengenai segala tindak tanduk dalam berpolitik sakit yang tidak merepresentasikan akal sehat dan kejernihan berfikir selalu diidap oleh mereka yang organisasi ekstra parlementer kampus.

Saya pribadi juga cukup tercengang karena disatu sisi PMII Cabang Surabaya nampak bodoh bermanuver politik yang tanpa landasan teoritik, mirip tukang becak, bahkan lebih elit para tukang becak karena punya kelas. Disisi yang lain PMII Cabang Surabaya Selatan juga menampakkan kedunguan yang tak berhujung membuat kita terpingkal-pingkal geli dibuatnya, mendadak melakukan orasi yang berisikan protes, kepada para jajaran presidium kopurwa dengan mencari-cari siapa sosok kopurwanya. Dungu yang kita maksud adalah, betapa tidak selesainya mereka, PMII Cabang Surabaya Selatan untuk merumuskan apa hakikat, status ontologi, dan definisi operasional dari orasi dan demonstrasi. Kita tahu orasi adalah sarana, metodologi atau instrumen bahkan, untuk mengadu, melontarkan, mengungkapkan masalah kepada sosok, entitas, lembaga, atau organisasi yang dianggap mampu mengentaskan masalah yang menjadi kegundahan dihatinya. Justru demonstrasi itu nampak lucu, pada akhirnya ketika kita tahu para orator PMII Cabang Surabaya Selatan mengungkapkan aspirasinya dihadapan para mahasiswa atau kerumunan orang-orang PMII Cabang Surabaya dan para presidium kopurwa. Padahal kita tahu yang menjadi sumber masalah adalah pihak kopurwa dan orang-orang dari PMII Cabang Surabaya. Kok malah mengadukan hal itu di depan hidung mereka. Iki piye maksud’te? Seharusnya mereka PMII Cabang Surabaya Selatan berfikir lebih cerdas ketimbang PMII Cabang Surabaya untuk mencari siapa yang diklaim mampu untuk menyelesaikan masalah ini. Bisa saja kepihak rektorat atau pihak SEMA universitas yang masih bertugas dengan SK kepengurusan tahun lalu. Tapi disini akhirnya kita tahun kalau kedua kakak beradik PMII yang bersaudara, tapi tak serumah sama-sama nampak dungunya. Sungguh lucu memang, monggo bagi kalian yang hendak tertawa terbahak-bahak, tak ada yang melarang. Maksud hati dari PMII Cabang Surabaya Selatan untuk mengentaskan masalah politik tai kucing dari PMII Cabang Surabaya, lantaran keliru memahami esensi dan hakikat dasar demonstrasi, menjadikan masalah tersebut tetaplah menjadi masalah yang tak terselesaikan pada akhirnya. Disini kita tahu betapa asyiknya kehidupan ini, membawa pemahaman pada diri kita bahwa tidak ada yang benar-benar bodoh atau tidak ada yang benar-benar pintar. Semuanya komplek, semula yang kita anggap bodoh ternyata adalah kepintaran yang tak nampak wujudnya, entah kerena buta atau sengaja tak berendah hati melihatnya. Bahkan semula yang kita anggap pintar, pada akhirnya tersingkap tabirnya sebagai sesuatu hal yang bodoh, bahkan lebih dari sekedar bodohnya-bodoh. Artinya PMII Cabang Surabaya juga tak murni-murni amat bodohnya. Dan PMII Cabang Surabaya Selatan juga tak murni-murni amat nampak pintarnya. Jadi apa yang dapat kita simpulkan. Saya teringat dengan diktum Rene Descartes, seorang filsuf yang membukakan pintu modernitas untuk mendapatkan ruhnya menginfeksi zaman, “tidak ada yang disebut benar-benar pasti di dunia ini, semua murni adalah keragu-raguan. Tapi masih mungkin ada satu hal yang pasti di dunia ini, adalah keragu-raguan itu sendiri.”

Dalam hal ini kita tahu betapa bodohnya PMII dihadapan meraka yang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Gerakan Mahasiswa Pembebasan (Gema Pembebasan) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), tapi bukan berarti, mereka yang selain PMII, ketika nanti pada suatu saat menjadi rezim yang berkuasa tidak akan mengalami jenis kejadian yang serupa, hingga bernasib sama, yakni sama-sama bodohnya. Bisa saja mereka (HMI, GMNI, IMM, Gema Pembebasan dan KAMMI) memiliki kecenderungan untuk berperilaku bodoh pula, dengan tingkat yang lebih parah. Namun satu hal yang menjadi kegamangan bersama, apa yang sedang PMII alami hingga begitu tak berlandaskan sama sekali tindak-tanduknya dalam bermanuver politik?

Asumsi dasar tersebut salah satunya diperkuat dengan pemahaman bahwa tentu kita tau jika Kopurwa, dalam demonstrasi dadakan oleh pihak PMII Cabang Surabaya Selatan, adalah berisikan orang-orang PMII terkhusus pada PMII Cabang Surabaya, karena meraka tahun lalu adalah Ormek pemenang pemilu. Lantaran memiliki tuntuan untuk meneruskan tradisi kemenangan, melalui Kopurwa yang dikuasainya, akhirnya PMII Cabang Surabaya berfikiran untuk mengalihfungsikan Kopurwa menjadi alat untuk menghajar rival yang hendak turut memperebutkan kekuasaan presiden mahasiswa. Yang disayangkan adalah betapa bodohnya Kopurwa untuk berfikir bagaimana dapat sekaligus menjalankan fungsi fasilitas edukasional politik dan fasilitator dari kepentingan kelompok PMII Cabang Surabaya melalui simbol PRM yang ingin mempertahankan rezim. Dengan suatu paradigma tak mendasar untuk merubah sistem pemungutan suara yang semula melibatkan partisipasi langsung dari warga negara untuk memilih dan menentukan siapa pemimpin mereka. Kini, oleh Kopurwa justru mendadak diganti, tanpa melalui tata krama konstitusi dan unggah-ungguh konsensus AD & ART persidangan KBMU, sistem pemungutan suara menggunakan sistem keterwakilan dengan mengandalkan suara dari pemimpin-pemimpin organsiasi intra parlementer kampus UIN Sunan Ampel Surabaya. Seperti gubernur Dema, ketua UKM dan UKK ditingkat universitas maupun fakultas. Tentu sah-sah saja, jika logika sistem pemerintahan berdasarkan keterwakilan, maka tidak ada yang salah dari apa yang dilakukan oleh Kopurwa. Namun akan menjadi busuk ketika perubahan sistem tersebut merupakan itikad dari Kopurwa sendiri yang hendak bermanuver secara sepihak untuk mendukung kemenangan PRM, dan mempertahankan rezim dari kelompok organisasi ektra parlementer kampus PMII Cabang Surabaya. Apakah Kopurwa tidak berfikir bagimana sistem keterwakilan itu layak dan pantas dijalankan? Sebagai sebuah siasat sistem pemilihan dengan cara keterwakilan hanya akan pantas digunakan ketika dalam suatu negara memiliki jumlah penduduk atau warga negara yang besar dengan jangkauan wilayah yang begitu luas. Sistem keterwakilan dalam memilih pemimpin sebagai upaya untuk menyederhanakan aspirasi warga negara dalam menentukan siapa calon orang nomor satu yang pantas memimpin mereka. Tentunya sistem keterwakilan ini, dalam memilih pemimpin tidak hanya serta merta dipasrahkan begitu saja tanpa pertimbangan yang bertanggungjawab dari pemimpin wilayah yang hak suaranya akan ditampung. Ada suatu mekanisme besar, kendati sistem keterwakilan yang diterapkan, tetapi tetap warga negara memiliki andil utuh dalam menentukan wacana sekaligus mengusulkan wacana siapa pemimpin pusat yang cocok dipilih, nantinya akan diusulkan pada pemimpin wilayah agar oleh memimpin wilayah itu dapat dibawa menjadi dasar pertimbangan menjalankan demokrasi keterwakilan. Dari sini dapat kita artikan jika sistem pemilihan keterwakilanpun secara de facto tidak sekedar sebagai upaya mewakilkan suara, tapi disitu perlu ada pertimbangan usulan wacana dari segenap warga negara.

Ketika kita melihat konteks realitas di kampus UIN Sunan Ampel Surabaya yang mendadak menggunakan sistem pemilihan keterwakilan, suatu pertanyaan dasar muncul. Apakah ketua DEMA, SEMA, UKM atau UKK di tingkat fakultas maupun universitas merupakan representasi dari keselurhan jiwa, primordial, ruh dan entitas dari warga negara mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya. Toh, kenyataan yang sesungguhnya, tidak semua mahasiswa tergabung menjadi anggota dari DEMA dan SEMA, karena mereka yang menjadi anggotapun juga disekat oleh pembagian jatah kursi untuk setiap angkatan mahasiswa yang sedang mengikuti proses perkuliahan. Apakah dapat merepresentasikan suara dengan bulat tanpa konfrontasi? Lagi pula jumlah dari keseluruhan mahasiswa juga masing belum bisa dikatakan terlalu banyak dan dalam jangkauan yang tak tersentuh. Toh, kampus UIN Sunan Ampel Surabaya masih cukup lama untuk dipisah sebagian fakultasnya ke Daerah Gunung Anyar menjadi UIN Sunan Ampel Surabaya kampas B. Lagi-lagi kita bertanya apakah sarat untuk menggunakan demokrasi keterwakilan masih kontestatif kita gunakan?

Kemudian, keterwakilan oleh UKM dan UKK, apakah mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya sebagian besar mengikuti dan tergabung menjadi anggota organisasi intra kampus UKM dan UKK, entah itu ditingkat universitas maupun fakultas. Hingga ada asumsi dasar suara dari para ketua UKM dan UKK menjadi pertimbangan mutlak mewakili beribu-ribu mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya yang masih aktif berkuliah. Lagi-lagi kita bertanya apakah sarat untuk menggunakan demokrasi keterwakilan masih kontestatif kita gunakan?

Tidak ada yang cacat dari sistem pemilihan dengan cara keterwakilan, toh lagi-lagi kita menyadari sistem itu hanya sistem yang tak lebih dari sebuah entitas atau alat, untuk mempermudah kita manusianya. Tapi entah kerena ada rasa sakit dan tumor ganas di otak yang mempengaruhi akal sehat politik kita. Sistem tersebut akhirnya menjadi sarana kejumudan sistemik, mengakar dan fundamental bagi kelompok yang sudah kita sebut diawal.

Setelah kita melihat berdasarkan tugas pokok dan fungsi mekanisme sistem keterwakilan, dengan menimbang dan menganalisis apa kelemahan dan apa kelebihan. Lebih mendasar lagi kita akan mencoba memahami apa sebenarnya sedang terjadi pada kognisi otak para simpatisan, kader, anggota, teman koalisi PMII Cabang Surabaya, hingga sebegitu naifnya mereka mempertahankan rezim dengan cara-cara nyinyir, licik, najis, dan tak berlandaskan kajian teoritik literatur manapun. Apakah mereka tidak pernah melihat kebelakang ketika sahabat sedarah kita, tapi tak serumah yakni PMII Cabang Surabaya Selatan ketika dulu ia pernah mendominasi rezim dan berkuasa sekian tahun pernahkan sekali saja kita merasa dijegal kaki kita, pincang hingga tertatih-tatih tak bisa jalan.  Sehingga tak mampu masuk dalam kualifikasi partai politik dan kandidat calon presiden. Tentu jegal menjegal, carok-mencarok, gorok-menggorok, plorot-memplorot adalah vokabulari perbendaharaan yang lazim bagi aktivis pegiat politik praksis, tapi menjegal menggunakan rekayasa otak-atik sistem pencoblosan yang kasar, tak berlandaskan teorema diskursus politik dari buku Miriam Budiardjo, adalah satu bentuk penjegalan dalam hal berpolitik yang tak bermartabat, kelas bawah, dan paling hina bagi mahasiswa. Nampak betapa takutnya PMII Cabang Surabaya menghadapi lawan bebuyutan mereka yakni PMII Surabaya Selatan.

Suatu sindrom ketakutan atau kecemasan (anxiety) terhadap hal ihwal yang dianggap mengancam status quo bagi diri, dapat memicu satu bentuk mekanisme pertahanan diri (defend mechanism) yang bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari yang paling rasional hingga pada akhirnya paling irrasional. Nah, PMII Cabang Surabaya mengalami anxietas tersebut, tapi dengan memunculkan mekanisme pertahanan diri yang paling irrasional. Anxiety-nya adalah ketakutan atas kekuasaan yang baru satu tahun ini ia dapat, lantaran karena tradisi dari organisasi dan kultur senior yang menekan untuk mempertahankan kemenangan dan pisuhan senior-senior mereka jika sampai kalah dipemilihan yang akan datang, memunculkan suatu konstruk berfikir, yang itu adalah mekanisme pertahanan yang kita sebut paling irrasional, yakni salah satunya cara agar kekuasaan itu tetap dapat dikuasai dan didominasi adalah dengan melakukan sabotase, manipulasi dan otak-atik landasan hukum AD & ART KBMU untuk melegalkan penggunaan sistem pemungutan suara dengan cara keterwakilan, dan menghalang-halangi rival untuk turut mendaftar atau ikut andil dalam memperebutkan kekuasaan.

Kelenjar endokrin itu menyebar menjalar dan beredar melalui pembulu darah kita untuk mempengaruhi fungsi kognisi kita dalam menentukan apa yang baik dan apa yang benar dalam proses politik. Tapi pada kenyataannya endokrin itu mengedarkan sari-sari perusak kognisi kepala kita, sehingga metabolisme tubuh terganggu, sikap dan perilaku menjadi kacau, tak berorientasi dan arogan. Wajah politik mahasiswa adalah demikian adanya. Lantas bagaimana kita hendak memungkasi problem manipulasi dalam pemilihan umum dan sikap apatisme mahasiswa.

Pemilu Raya Presiden DEMA tahun 2017 yang semula diasumsikan akan menggunakan alat atau sistem pencoblosan berbasis IT, ternyata nihil adanya. Entah ada penolakan dari pihak mahasiswa atau tidak siapnya pihak kampus memfasilitasi perubahan itu menjdi tanda tanya kita bersama tentang mengapa alat atau sistem pencoblosan berbasis IT ini urung digunakan. Yang pasti, kita disini hendak menjabarkan bagaimana ketika problem permainan politik yang sarat akan manipulasi dari pada partai politik mahasiswa dan sikap apatisme mahasiswa pada umumnya bisa dientaskan oleh alat atau sistem pencoblosan berbasis IT ini.

Andai saja alat tersebut digunakan oleh segenap kesadaran akan perubahan yang lebih baik di kepala para aktivis mahasiswa untuk memfasilitasi dirinya dalam berpolitik secara sehat, tentunya bentrok yang diakhiri oleh orasi panjang yang diawasi langsung oleh pihak kepolisian itu tak pernah terjadi. Kita tetap berharap entah kapan itu akan tiba pada suatu masa dimana kesadaran akal sehat politik mahasiswa akan menuntun pada penggunaan alat pencoblosan berbasis IT buatan Aziz ini.

Manipulasi surat suara yang biasanya dilakukan dengan cara mencoblos sendiri oleh para oknum politik mahasiswa saat menggunakan sistem manual, akan dipastikan sirna. Praktik demikian, seiring dari kemudahan alat ciptaan Aziz ini, bahwa pada akhirnya warga negara mahasiswa akan secara sadar dan logis untuk menentukan siapa calon yang hendak dipilih. Tapi sinisme terhadap politik yang telah begitu mengakar, hingga menjadikan sikap apatisme politik mahasiswa berubah menjadi suatu bentuk ke-lumrah-an ditengah-tengah mahasiswa. Bagimana mengatasi itu? Cukup mudah, kita tahu bahwa kesinisan itu diakibatkan, lantaran sikap dan perilaku sakit dalam berpolitik yang diterjadi pada mahasiswa ektra parlementer kampus, namun tidak serta merta kita justifikasi bahwa yang salah adalah meraka sahabat, kawan dan saudara organisasi ektra parlementer kampus yang bersangkutan, tunggu dulu, disini kita dapat lihat gejala sakit itu ternyata ditimbulkan oleh sistem pencoblosan manual dengan gaya konvensional, memiliki kelemahan yang tak (pernah) sekalipun dikritik atau meng-otokritik-kan sendiri sebagai suatu sikap visioner membenahi masalah. Sistem pencoblosan gaya manual-konvensional terdapat kelemahan yang itu dimanfaatkan untuk melancarkan itikad politik mahasiswa yang haus akan kekuasaan dan bringas dalam mempertahankannya.

Alat ciptaan Aziz ini, adalah sebuah obat yang diprediksi manjur mengentaskan demam politik akal miring dari oknum mahasiswa. Secara tegas kita tandaskan, penggunaan alat pencoblosan berbasis IT ini adalah mutlak untuk kebaikan politik mahasiswa kita semua.

Ikuti tulisan menarik Luhur Pambudi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler