x

Iklan

Luhur Pambudi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Politik Ekstra Parlementer Kampus (7)

BETAPA TIDAK MENARIK POLITIK EKSTRA PARLEMEN KAMPUS BELAKANGAN INI (7)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Momentum Kembali pada Politik Akal Sehat

Kita semua berani mengklaim bahwa, jika alat pencoblosan berbasis IT ini benar-benar secara masif dan sadar akan urgensinya untuk kita gunakan, politik akal sehat menjadi masa depan percaturan politik dunia mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya. Dunia yang entah sudah berapa tahun lamanya kita tinggalkan, tanpa tedeng aling-aling atau tanpa landasan berfikir untuk tak lagi menggunakan, politik akal sehat akan dipastikan pula turut menjadi faktor perubahan kualitas mentalitas dan grand narative kognitif mahasiswa dalam menempatkan definisi tentang dirinya sebagai manusia yang berkuliah di perguruan tinggi.

Atau jangan-jangan kita sebenarnya tak sedang berupaya kembali lagi menuju politik akal sehat gaya mahasiswa dulu, karena kita ini sedang berupaya memulai untuk yang pertama kali menerapkan politik akal sehat gaya mahasiswa, yang artinya, senior-senior kita atau mahasiswa-mahasiswa terdahulu tidak pernah sama-sekali untuk menggunakannya. Berarti dapat kita garis bawahi politik akal sehat, dalam kadar kesadaran berfikir tertentu, bukanlah sesuatu hal yang benar-benar berguna di dunia mahasiswa miniatur negara kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya di masa silam. Entah apapun itu yang melatarbelakangi, dimensi sosiologis, historis, demografi di masa itu menjadi garis pembatas kita untuk mencecar habis-habisan senior kita dengan maksud mencari penjelasan dengan bertanya. “Mengapa jenengan kok gak pakai politik akal sehat dulu ketika masih jadi mahasiswa, Cak?” Tak perlu sungkan bertanya seperti itu, namun tetap dengan nada bicara krama inggil yang halus, mengunakan kosakata pilihan yang artinya lembut, dengan sikap yang merendah menunjukkan pengetahuan diri yang memahami unggah-ungguh, adalah prasyarat tawadu’ kita yang wajib ditunjukkan seorang kader kepada senior. Karena kita tidak pernah tahu kalau senior-senior kita itu sebenarnya selama ini mendoakan kesuksesan kita, selama ini membagi ilmu pengetahuannya barang secuil kepada kita, selama ini berusaha memberikan yang terbaik dari apa yang bisa ia beri kepada kita, dan yang jelas kita selama ini sebenarnya tak pernah tahu asam-garam kehidupan berorganisasi yang dulu beliau pernah alami dimasa masih menjadi mahasiswa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Diatas telah saya tandaskan jika alat pencoblosan berbasis IT ciptaan Aziz ini, menjadi gerbang utama dimana masa pencerahan dunia politik mahasiswa akan tiba dimana esensi politic educated menjadi simbolik piala kemenangan terpenting atas mahasiswa. Dan diatas pula sudah saya tandaskan, saya mampu mengidentifikasi diri saya dalam memilih sudut pandang untuk menentukan pandangan politik mahasiswa ketika menjadi seorang yang berada dalam kelompok mayoritas, kelompok minoritas, atau mereka yang memutuskan tak berkelompok sama sekali (oposisi). Karena pergumulan saya secara tak sengaja, tak disangka-sangka dan tak diinginkan ternyata memberikan beberapa imbas positif yang benar-benar diluar perkiraan saya. Pergumulan dengan dunia mahasiswa yang tak pernah saya pikirkan dari semester satu hingga menginjak proses penentuan judul skripsi di semester delapan memberikan suatu pemandangan bahwa mahasiswa itu sama kompleksnya dengan tatanan dan konstruk masyarakat di dunia sungguhan, kita sebut demikian, karena dunia mahasiswa, kata salah seorang dosen berparadigma positivistik modern sebagai, “dunia-dunia’an” katanya disalah satu forum diskui kelas. Sebuah dunia yang tempatnya hanya 6 hektar luas tanah berdirinya kampus UIN Sunan Ampel Surabaya, yang menjadi tempat dimana simulasi negara, kehidupan sosial, keagamaan, budaya, intektual dan entitas makro-mikro kosmos melebur menjadi satu tapi dengan konsepsi simbolik belaka. Namun bukan berarti karena sebatas simbolik, dan dianggap tak berdampak pada kehidupan nyata nantinya. Tunggu dulu, justru terbailk logikanya. Dunia simbolik tak ubahnya sebagai indikator dari apa yang akan terjadi nanti dalam diri kita saat mulai bergumul secara utuh, mesra primordial, holistik dan fundamental dengan kehidupan nyata, paska di wisuda.

Artinya apa? Melanjutkan diskusi dengan dosen perempuan saya itu, dunia mahasiswa dengan segala silang sengkarutnya, mulai dari masalah organisasi, kelompok sosial, konformitas, sikap, perilaku, keteguhan prinsipil, pertarungan ide, perbenturan pemikiran, duel panas egoistik antar pribadi, jika kita tak mampu menyelesaikan dan mengambil sisi positif hikmah beserta ilmu pengetahuannya, akan menjadi pertanda dimana kita juga diprediksi bernasib sama ketika sudah terjun kedunia nyata di tengah masyarakat. Yakni dunia mahasiswa dimana kita berlatih dalam menghadapi hidup yang luasnya enam hektar tersebut sebagai persiapan kita menghadapi apa yang tak kita ketahui di kehidupan nyata nantinya. Dunia mahasiswa begitu rumit, pelik dan menyusahkan, jika kita mengartikan hanya sebatas beban yang mengganggu kuliah, selingan mengisi kekosongan kuliah atau sekedar hobi untuk mencari kesengan belaka. Akan dipastikan mahasiswa yang bercorak pemikiran semacam itu, tidak sedang benar-benar berlatih mempersiapkan diri menghadapi masa depan nanti. Karena apa? Karena ia memaknai sebegitu kecil, sempit dangkal dan tak mendasar aktivitas dunia mahasiswa hanya simbolis belaka.

Selama pergumulan yang mesra, hangat sesekali menjemukkan itu, saya menemukan apa yang sebenarnya akan mustahil untuk ditemukan oleh orang yang sekalipun sengaja ingin menemukannya. Tapi pada kenyataan lain, ternyata saya terlalu naif untuk mengklaim bahwa saya menemukan ini sendirian dan menganggap orang lain tak pernah menemukan kebenaran ini. Ternyata saya salah, beberapa senior-senior saya merawat cara berifkir saya sedari semester satu hingga hampir lulus seperti saat ini, juga telah lama bahkan menemukan suatu bentuk kesadaran atas politik mahasiswa yang seringkali miring akalnya seperti yang saya temukan sekarang. Bahkan kesadaran dari senior saya itu lebih mendasar, dalam sistematis hingga berpangkal pada inti masalah. Namun satu pertanyaan saya. “Jikalau jenengan atau akan jadi begini akhirnya politik mahasiswa yang ternyata omong kosong belaka. Mengapa jenengan tak berusaha memberikan arahan, masukan kritik dan solusi atas apa yang mereka lakukan.” Tak lama sebuah tamparan keras menghujam benak saya, tamparan itu bukan bentuk serangan fisik, tapi tamparan ide, perspektif dan sudut pandang yang tak pernah saya ketahui sama sekali dan sekaligus pula menunjukkan betapa kurangajarnya saya bertanya demikian.

Dengan bernada tinggi, tanpa menggebrak meja, seringai senyum manis dibibirnya menandakan kegetiran yang mendalam. “Kamu kira yang saya omongkan tentang politik kampus baru kali ini saja saya utarakan? Mohon maaf, mas? Dari tahun 2006 sampai sekarang saya selalu mengulang-ulang kritik, solusi, ide dan pemikiran ini pada setiap generasi mahasiswa yang datang silih berganti dari generasi ke generasi yang sowan ke rumah saya.  Sepurane, mas? Tidak. Bertahun-tahun cangkem iki ngomong ke setiap mahasiswa, yo akhirnya cuma sekedar omongan belaka toh pada akhirnya.” Ada suatu tanda tanya besar sesaat setelah senior saya itu mengutarakan apa yang saya tidak ketahui dan bagi saya pribadi begitu penting. Apakah keadaan semacam ini menjadi mustahil untuk kita ubah? Ya, minimal cara berfikir kita tentang politik mahasiswa. Kegetiran yang dialami oleh senior saya menandakan dalam segi politik mahasiswa saja, sebagai mainan sehari-hari selama mereka kuliah 4 hingga 8 tahun lamanya, menunjukkan adanya problem mentalitas semakin hari semakin kronik pada diri mahasiswa. Politic educated yang kita anggap sebagai akal dasar, dan postulat fundamental dari politik mahasiswa seakan-akan hanyalah sebuah ide atau gagasan yang utopis. Apakah ini benar. Untuk mengujinya, semoga kita diberi ketabahan dan kesabaran untuk senantiasa mencarinya. Syukur-syukur bukannya menguji sebagai suatu bentuk klarifikasi benar salah dari apaka fungsi edukasi politik diminatur negara kampus adalah utopis atau tidak, atau malah profan dan mengada-ada. Tapi kita menemukan kebenaran yang benar-benar memberikan kebaikan dan kualitas pemaknaan yang semakin matang.

Kita menyadari betapa besar dan beratnya problem organisasi mahassiwa di UIN Sunan Ampel Surabaya belakangan ini, bukannya dimensi politik dimensi kebudayaan, tradisi belajar, pola sikap dan perilaku menunjukkan kearah derajat degradasi. Kita melihat sedikit secercah cahaya berpendar, kendati cahaya itu masih kecil diharap mampu membesarkan objek pandangan kita yang semula terselimuti kegelapan. Alat pencoblosan berbasis IT memberikan kita solusi, jalan keluar dan pencerah. Tapi tunggu dulu, hal itu tentu dipengaruhi oleh bagaimana cara kita memaknai dan berfikir atas itu. Dalam cara berfikir kelompok mayoritas, tentu kehadiran alat ini akan disortir kembali dengan cara berfikir super kritis dan reflektif, bahwa ada sebuah rezim yang tengah ia kuasai, dan untuk waktu yang tak dapat diketahui, rezim tersebut berupaya untuk tetap dipertahankan bagaimanapun caranya. Karena kita sudah tahu disitu melalui rezim, kelompok mayoritas mendapatkan kekuasaan, uang dan eksistensi. Adanya alat IT ini, dalam konteks tertentu, mereka pikir merupakan sebuah entitas yang berpontensi mengancam keutuhan rezim yang hendak dipelihara, bagaimana mereka bisa begitu taktis untuk mengatisipasi ini? Bukan apa-apa, lumrah saja karena alat IT ini merupakan alat yang akan mempengaruhi sistem dan gerak mekanisme politik kampus yakni pada saat penyelenggaraan pemilihan umum berlangsung. Yang mana, dapat diprediksi cara-cara manual akan mulai ditinggalkan dan berganti cara baru yang lebih modern dan cepat. Tapi bukan modern dan cepatnya itu yang menjadi persoalan, melainkan cara-cara manipulasi yang biasa mereka lakukan pakai cara manual diprediksi akan sulit mereka lakukan.

Tentunya kita harus berfikir ulang bukan lagi sebatas bagaimana caranya menang, tapi bagaimana caranya bisa menampilkan pembelajaran yang bermanfaat, tentang politik khususnya.  

 

 

 

Gresik, 7 Maret 2017

Esai ini saya dedikasikan untuk seorang sahabat yang sekaligus saya anggap sebagai guru untuk bertukartambah pikiran tentang kehidupan kampus dan segala silang-sengkarutnya, namanya Aziz, mahasiswa Sistem Informasi, angkatan 2014 Fakultas Sains dan Teknologi (FST) UIN Sunan Ampel Surabaya.

Sekaligus esai ini saya anggap sebagai ucapan terima kasih dan apresiasi tertinggi dari saya untuk sebuah alat pencoblosan berbasis IT yang lahir dari cara berfikir visioner untuk merawat politik gagasan mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Hanya selembar dua lembar tulisan ini yang bsia saya haturkan sebagai tanda terima kasih dan ucapan maaf dari saya, yang mewakili entitas gerakan mahasiswa yang bergerak dalam bidang politik gagasan dan politik praksis di dunia miniatur negara kampus, yang tak memahami arah dan maksud gagasan visionermu untuk mengubah politik akal miring mahasiswa menjadi politk akal sehat.

Harap maklum, kami adalah orang-orang yang tidak tahu tentang ketidaktahuan kami sendiri. Saya ulangi sekali lagi; terima kasih banyak, telah banyak berbuat untuk menyadarkan kami. Namun mohon maaf sebesar-besarnya, untuk kesekiankali, mohon maaf mungkin bukan diwaktu dekat ini kami akan berterimakasih secara bersama-sama. Mungkin nanti adik-adik kita yang lebih sadar akan mengantarkan ucapan terima kasih kami

Ikuti tulisan menarik Luhur Pambudi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu