x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: Berkongsi Melawan Ilusi

Perilaku kepemimpinan yang tidak efektif seperti itu, melihat realitas hanya sesuai maunya sendiri dan gemar cari kambing hitam, merugikan semua pihak.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Leadership Growth: Embrace the Brutal Facts for Better Results

 

Mohamad Cholid

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Practicing Certified Business and Executive Coach

 

A leader’s behavior impacts follower’s performance.” – Paul Hersey 

 

Sungai berbatu yang membelah dua desa di dekat kaki Gunung Merapi dan Merbabu airnya pasang surut, tergantung cuaca di lereng dan puncak gunung. Saat air surut, sungai mudah diseberangi dengan meniti bebatuan yang kehitaman seperti deretan punggung kerbau yang tengah berendam. Ketika hujan lebat terjadi di atas lereng, biasanya menjelang sore, batu-batu itu tertutup air. Orang yang sudah terbiasa pun banyak yang gagap dan cemas menyeberanginya.

Seperti sore hari itu. Ada seorang ibu muda yang gemetar ketakutan saat mau menyeberang, sementara dia harus balik segera ke rumahnya setelah beli obat untuk ayahnya yang encoknya kumat. Dengan menyingkapkan kain, dia mencoba meraba batu-batu pijakan yang tadi pagi, saat berangkat, dia jadikan pijakan. Tapi tubuhnya tetap tidak berani bergerak. Ia melihat ke arah dua orang muda di tepian sungai, berharap dapat bantuan.

Dua pemuda itu rupanya tengah berdebat. Satu ingin menolong menyeberangkan si ibu muda, yang satu mencegah sambil mengatakan, “Haram menggandeng wanita bukan istri atau anak, kainnya tersingkap pula.”

Khawatir air tambah meninggi dan makin deras, yang bisa menyebabkan si ibu muda terjebak atau mungkin juga hanyut, pemuda yang berniat menolong tanpa ragu melompat ke sungai dan memapah si ibu ke seberang dengan selamat.

Kemudian kedua pemuda itu langsung pulang ke padepokan tempat mereka mendalami agama. Setelah lima tahun tinggal di sana, mereka rupanya sudah sangat terlatih menyeberangi sungai dalam kondisi air pasang sekali pun.

Menjelang tengah malam, si pemuda yang melarang memberikan pertolongan belum bisa tidur, lalu membangunkan si pemuda penolong yang tidur nyenyak, “Kamu gimana sih, apa perbuatan kamu di sungai tadi itu tidak melanggar aturan guru kita, si ibu itu pahanya kelihatan pula.”

Si pemuda penolong bangun sambil bingung, “Ibu yang mana?” Kemudian ia ingat, “Oh, itu. Aku sekedar membantu menyeberangkannya dengan selamat, setelah itu lupa. Tapi kamu malah membawanya sampai ke tempat tidur.”

Kejadian semacam itu bisa kita dapati dimana saja, termasuk di lingkungan dekat pusat edukasi ajaran Budha di Shaolin Temple di Dengfeng, Henan, China.

Ada dua pembelajaran dari cerita itu. Pertama, manusia pada umumnya melihat dunia/kejadian dan memberikan interpretasi sesuai dengan apa yang sudah terpola dalam pikiran masing-masing. Bukan melihat apa adanya, as it is.

Kedua, banyak di antara kita, termasuk para eksekutif dan pimpinan di organisasi, masih ada yang membiarkan pikirannya dibajak oleh peristiwa yang sudah lewat, lantas membahasnya dengan gusto. Seolah-olah mengaduk-aduk masa lalu dan mencari kambing hitam menjadi satu-satunya cara mereka agar tetap exist.

Perilaku kepemimpinan yang tidak efektif seperti itu – melihat realitas hanya sesuai maunya sendiri dan gemar mengunyah masa lalu, lantas memuntahkannya sembarangan –  cenderung menyebabkan organisasi jadi korban.

Laporan tim yang membeberkan realitas as it is berikut tantangan yang dihadapi untuk berkembang, kalau tidak cocok dengan gambaran dalam pikirannya, akan dianggapnya tidak relevan. Bos maunya menyimak apa-apa yang ingin didengarnya, bukan apa yang seharusnya didengar dan dibutuhkan organisasi.

Indikasi lainnya dari perilaku kepemimpinan semacam itu: rapat-rapat dewan eksekutif lebih dari 50% waktunya habis membahas lag measure (yang sudah terjadi). Dari mereka sering muncul kalimat semacam ini: “Mestinya waktu itu begini…..” atau “Seharusnya jangan begitu….” – intinya “expecting better past,” yang tentu saja mustahil. Anda berpengalaman menghadapinya?

Situasi macam itu dalam setahun saja dapat mengakibatkan tim mengalami disorientasi. Laporan-laporan cenderung disusun sebagai validasi kehendak bos, sehingga kepentingan utama pengembangan ke depan jadi terhambat.

Evaluasi hasil memang perlu, untuk tahu di mana posisi saat ini. Namun lebih penting dari itu adalah menginvestasikan waktu untuk menentukan tindakan ke depan secara lebih baik dan terukur (lead measure) atau mengubah perilaku kepemimpinan dalam upaya meraih hasil lebih cemerlang.

Menurut guru manajemen modern Peter Drucker, eksekutif yang efektif akan lebih mengutamakan peningkatan kompetensi diri dan kontribusinya bagi organisasi, ketimbang menghamburkan energi menghakimi atau menyalahkan pihak lain. Ajaran tersebut tetap relevan sampai saat ini.

Supaya masa depan yang belum jelas wujudnya -- karena masih berupa ilusi -- dapat kita antisipasi kehadirannya, barangkali kita perlu “berkongsi melawan ilusi”, yaitu bersama tim berani melihat dan menghayati realitas as it is.

Realitas apa adanya itu, yang kadang mungkin saja terasa getir, disebut the brutal facts oleh Jim Collins, penulis Good to Great dan pengajar company sustainability and growth di Stanford University Graduate School of Business. Istilah itu kemudian populer di kalangan bisnis, utamanya di AS.

Untuk menang melawan ilusi dan lebih well prepared menghadapi the brutal facts, sampai saat ini salah satu pilihan terbaik bagi organisasi adalah menerapkan pengembangan eksekutif sesuai prinsip Leadership is a Contact Sport, The Follow Up Factor in Management Development. Ini disusun oleh Marshall Goldsmith dan Howard Morgan berdasarkan hasil survei melibatkan 86.000 partisipan untuk menilai efektivitas 11.480 manajer peserta leadership development – mereka para eksekutif di pelbagai industri, dari sektor keuangan, media, farmasi/health care, sampai telekomunikasi.

Proven model pengembangan leadership Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC) yang sudah dimanfaatkan oleh ribuan organisasi  – sebagian di antaranya GE, Microsoft, 3M, Citibank, Johnson&Johnson, Agilent Technology, Bayer, GSK, Coca Cola, Hyatt, Ford – berupa penerapan tujuh langkah yang mesti dikerjakan secara konsisten oleh para leaders.

Tujuh jurus Leadership is a Contact Sport untuk menjadi eksekutif dan leader yang lebih efektif adalah: Bertanya kepada para stakeholders apa yang mesti Anda lakukan agar memimpin lebih baik; Mendengarkan (active listening); Think (renungkan pendapat mereka); Berterima kasih (tanpa komentar apa pun); Respond; Melakukan perubahan perilaku kepemimpinan; dan Follow up.

Dua yang terakhir, Change and Follow Up adalah mengubah perilaku kepemimpinan dan persepsi, lalu memastikan apakah perubahan yang Anda lakukan sesuai dengan yang dipersepsikan para stakeholders. Dalam praktik MGSCC, ini diukur melalui Leadership Growth Progress Review (LGPR).

Sebagaimana terbukti melalui survei yang hasilnya disusun oleh Marshall Goldsmith dan Howard Morgan tersebut, “Leaders who discussed their own improvement priorities with their co-workers, and then regularly followed up with these co-workers, showed striking improvement.”

Tampak sederhana dan praktis. Kenyataannya sangat sulit dikerjakan dengan genah (properly) oleh para eksekutif dan leaders. Untuk bertanya kepada stakeholders, apa dari perilaku kepemimpinan masing-masing yang mesti diubah agar menjadi pribadi yang lebih efektif, di antara mereka mayoritas masih kikuk.

Kenapa? Paling sering terjadi adalah karena di dalam diri mereka masih ada tarik-menarik, antara pribadi yang bersemangat just do it demi kemuliaan, seperti spirit si pemuda penolong dalam awal cerita ini, versus sisi lain dalam dirinya yang suka berdalih, mengandalkan excuses, bersikap defensif, atau gamang menghadapi realitas as it is sesuai persepsi stakeholders.

Ugh, tidak nyaman memang. Tapi dengan melewati fase itu kita tumbuh.

 

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

n  Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

n  Certified Marshall Goldsmith Global Leader Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(http://sccoaching.com/coach/mcholid1).  

 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler