x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Raffles dan Invasi Inggris di Jawa

Sosok Raffles yang bukan pahlawan bahkan pecundang

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa

Judul Asli: Raffles and the British Invasion of Java

Penulis: Tim Hannigan

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penterjemah: Bimo Sudiarto

Tahun Terbit: 2015

Penerbit: Kepustakan Populer Gramedia

Tebal: xv + 419

ISBN: 978-979-9109-56-9

Saya mendapatkan buku ini ketika sedang sangat sibuk. Urusan pekerjaan begitu banyak dan rumit. Sementara buku-buku yang saya bawa telah tandas terbaca. Jadi, saat berkesempatan melihat-lihat buku di Gramedia Tarakan, saya menyambarnya begitu saja. Buku tentang Raflles, seorang tokoh yang selama ini aku kagumi, tetapi belum pernah aku membaca riwayat hidupnya. (Biasanya saya melampiaskan kekesalan dan rasa capai melalui lembar-lembar halaman buku.)

Tak dinyana tak disangka, buku ini bukannya membahas kebaikan Raffles, tetapi malah mengungkapkan keburukannya. Thomas Stamford Raffles yang aku kenal melalui The History of Java (saya belum membacanya), bunga unik asal Bengkulu “Rafflesia arnoldi,” reformasi agraria di Jawa, pembangunan ulang Keraton Ngayogjokarto Hadiningrat dan pembangunan Singapura, tiba-tiba muncul sebagai sosok yang lain sama sekali. Raffles di tangan Tim Hannigan muncul sebagai sosok muda ambisius, licik dan tidak kompeten. Hannigan bahkan sudah melumat Raffles sejak kepindahannya ke Asia melalui sebuah skandal pernikahannya dengan Olivia Mariamne.

Di sepanjang buku ini Hannigan memunculkan tokoh-tokoh di sekitar Raffles yang menurutnya “lebih berjasa” daripada Raffles. Di antara orang-orang yang dimunculkan oleh Hannigan adalah Robert Rollo Gillespie sang militer sejati, William Robison sang tentara sekaligus negarawan, dan John Leyden, Colin Mackenzie, William Marsden, Hermanus Christian Cornelius dan John Crawfurd yang keranjingan akan budaya dan benda-benda kuno.

Raffles yang saya kenal adalah seorang pemberani, tegas dan penuh wibawa. Ia memimpin pasukan Inggris mengalahkan Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Janssens dan kemudian menjadi Letnan Jenderal Inggris yang menguasai Jawa. Ternyata dalam narasi Hannigan, Raffles bukanlah orang yang cukup penting dalam penaklukan Jawa. Ada John Leyden, Robinson dan Gillespie yang lebih heroik dalam mengalahkan Belanda. Alih-alih menggambarkan Raffles sebagai seorang pemimpin yang tegas, Hannigan malah menunjukkan kelicikannya saat memprovokasi Sultan Palembang Baharuddin untuk mengusir Belanda.

Raffles digambarkan sebagai seorang sombong yang tidak tahu adat ketika menghadap Sultan Jogja. Ia memprotes tempat duduknya yang lebih rendah dari posisi duduk Sultan Jogja (hal. 144). Peristiwa tersebut merusak hubungan saling percaya antara Kesultanan Jogja dengan Inggris yang telah dijalin oleh Robinson. Ketidak-mengertian Raffles akan budaya Jawa inilah yang kemudian membuat Jogja harus ditaklukkan melalui senjata. Bahkan karena arogansi Raffles, ia memaksa berdirinya Kabupaten Paku Alaman di dalam wilayah Keraton Jogja.

Dalam hal pengelolaan koloni, Raffles yang selama ini dipuji sebagai pemimpin yang menyejahterakan Jawa, setelah penindasan tiada tara oleh Deandeles, ternyata tidaklah demikian. Reformasi agraria yang digagas dan coba diimplementasikan oleh Raffles dianggap gagal total oleh Hannigan. Bahkan ia diadili karena dianggap telah melakukan manipulasi penjualan tanah negara.

Kegagalan Raffles sebagai administrator digambarkan oleh Hannigan di halaman 365 sebagai berikut: “Pulau yang diambil kembali oleh Belanda pada tahun 1816 bukanlah tempat yang sama seperti yang mereka tinggalkan pada tahun 1811. Dalam lima tahun, Inggris telah melakukan banyak hal aneh, dan sekilas tampaknya sebagian besar pulau tersebut terlihat buruk.” Pulau Jawa jauh lebih parah kondisinya saat ditinggalkan Inggris daripada saat Inggris mengambil alihnya.

Raffles sebagai seorang ahli budaya dan ahli botani pun tak luput dari kritik Hannigan. Buku master piece karya Raffles, yaitu The History of Java dianggap sebagai karya plagiat (hal. 249). Raffles bukanlah orang yang sesungguhnya mengerjakan naskah tersebut. Ia hanya menyalin begitu saja naskah-naskah hasil jarahan dan terjemahan yang dilakukan oleh orang Madura yang dipekerjakannya. Raffles juga memanfaatkan naskah-naskah yang ada di perpustakaan Buitenzorg. Paparan tentang Candi Prambanan dianggap sebagai kerja Mackenzie. Sedangkan paparan tentang Borobudur dan daftar candi-candi dianggap diambil dari hasil kerja Hermanus Christian Cornelius.

Tentang jasa Raffles dalam membangun Singapura, Hannigan memunculkan sosok lain. Hannigan menyampaikan bahwa sesungguhnya William Farquharlah yang berjasa membangun Singapura. Raffles datang ke Singapura setelah disainnya matang.

Jadi, benarkah Raffles adalah orang jahat yang kebetulan mendapatkan posisi yang baik?

Seorang besar selalu dilihat dari dua sisi. Jika selama ini acuan tentang Raffles kebanyakan berasal dari buku yang ditulis oleh istri keduanya yang berjudul: “Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles” (saya juga belum pernah membacanya), kini ada buku Hannigan yang menguak sisi lain dari Raffles.

Buku Hannigan ini bukanlah buku sejarah akademis. Sebab Hannigan telah memilih posisi tentang Raffles yang bukan pahlawan. Saya merasakan bahwa fakta-fakta dan intepretasi atas fakta dipilih dan dipakai olehnya untuk mendukung posisinya. Meski demikian, Hannigan menyampaikan sumber-sumber yang dipakainya dalam menulis buku ini. Tentu saja fakta-fakta yang disampaikan oleh Hannigan ini berguna untuk diselidiki lebih lanjut dan disandingkan dengan fakta-fakta lain yang digunakan oleh penulis lain, khususnya pada pendukung Raffles.

Bagaimanapun Hannigan mengakui bahwa Raffles adalah seorang yang tekun, suka belajar dan bekerja keras. Ia adalah sosok yang penuh ambisi dan berupaya mewujudkan ambisinya dengan segala cara. Raffles bekerja keras untuk membuat kolonisasi Jawa sebagai sebuah tindakan yang menguntungkan Inggris. Ia berupaya keras untuk menyejahterakan rakya Jawa dengan membatasi peran para elite, meski upaya ini dianggap tidak berhasil.

Dan saya pun dikuatkan oleh narasi kerja keras Raffles untuk membenahi salah perkiraan tentang aneksasi Jawa. Sebab saat itu saya sedang menghadapi situasi yang rumit dalam pengelolaan program. Kerja keras adalah yang dilakukan Raffles, yang juga harus saya lakukan jika ingin keluar dari kerumitan. Mengeluh tak ada guna.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler