x

Iklan

Lies Marcoes

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Merebut Tafsir: Rasa Batin dan Bunyi Toa Azan

Jika orang merasa terganggu oleh bebunyian meskipun jenis bebunyian itu dianggap memiliki nilai keyakinan atau agama bagi orang lain, tak perlu marah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam beberapa hari ini saya berada di Cirebon. Menginap di suatu hotel di pinggir jalan raya dekat stasion kereta api. Sebagaimana umumnya di wilayah lain yang berpenduduk mayorias Muslim, hotel juga dikelilingi mesjid. Bisa dibayangkan suara-suara yang terbawa angin masuk ke sela-sela kaca kamar tempat saya tinggal.

Seperti biasa, saya terbangun dini hari. Kali ini terbangun jam 3 dan memtuskan untuk bekerja, menyiapkan makalah untuk presentasi di Yogya lusa.

Dalam senyap tiba-tiba menyeruak suara toa dari mesjid yang tak jauh dari tempat saya bermalam. Terdengar suara lelaki berumur, dengan langgam Jawa Cirebonan membacakan tahrim, semacam doa-doa pepujian bagi Tuhan sebelum panggilan azan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengar pengetahuan sedikit bahasa Arab, dan ingatan atas pepujian yang kerap terdengar di masa kecil, dalam hati saya mengikuti Tahrim itu. "Ya Arhama rohimina irhamna, wahai yang Maha Pengasih kasihilah daku dengan sepenuh kasih" ..demikian antara lain bunyi dari toa itu. Meskipun suaranya begitu sumbang, sember, namun batin saya seperti bergetar. Ada kerinduan yang diantarakan oleh suara lelaki tua itu mengingatkan rasa batin saya pada ingatan masa kecil, pada kampung halaman, Bapak dan Ibu.

Hening dinihari ini pecah oleh bebunyian lain. Suara kereta melintas kota. Suara seruling kereta serta deru mesinnya yang mendekati stasiun kereta, di batin saya rasanya tak beda dengan suara Tahrim. Suara kereta itu membangkitkan sensasi kerinduan kepada kampung halaman, Bapak dan Ibuku. Kebetulan rumah saya di kampung halaman, terletak tak terlalu jauh dari stasiun kereta api. Meskipun saat ini sudah tidak ada lagi (jalun Banjar Pangandaran- Ciamis), tapi suara seruling kereta di Cirebon saat subuh ini telah mengubungkan ingatan dan rasa batin saya dengan masa lalu.

Rasa batin yang mendesir yang dibangkitkan oleh bebunyian, atau bisa juga penciuman, merupakan pengalaman yang sangat pribadi. Itu terkait dengan pengalaman, peristiwa dan memori.

Ketika saya belajar Medical Antrophology, saya sangat terpesona oleh penelitian tentang "memory of pain". Ingatan tentang rasa sakit. Panca indra kita memiliki kesanggupan menyimpan rasa sakit, sedih, nelangsa yang bisa terhubung atau bangkit kembali ketika panca indra itu menangkap mencium atau mendengar hal yang sama pada waktu yang berbeda. Ini bukan sejenis trauma, tapi rasa batin yang tertinggal yang terkait dengan pengalaman. Seorang teman bule saya yang masa kecilnya pernah tinggal di Yogya, dia selalu teringat masa kecilnya ketika mencium bau sampah yang terbakar. Bau asapnya, membangkitkan dan seperti mengantarkan ia kembali ke masa kecilnya itu, Meskipun mungkin terkait dengan kehidupannya yang memprihatinkan, namun ketika saat ini ia mencum bau sampah terbakar itu, rasa batinnya seperti tergetar.

Suara seruling kereta yang melintasi kota, dengan suara tahrim, tiba di hati saya dengan rasa yang sama; ingatan kepada masa kecil, pada bapak dan ibuku, serta kampung halaman.

Bebunyian lain yang membangkitkan ingatan dan rasa batin yang menggetarkan bagi saya adalah ketika saya tinggal di Aceh. Kebetulan saya tinggal di dekat Masjid Baitur Rahman yang letaknya tak jauh dengan gereja. Beberapa kali saya mendapati hati saya mendesir ketika mendengar dentang lonceng gereja jam 6 pagi. Saya mengenang masa-masa yang tak mudah ketika sekolah di Belanda. Suara dentang lonceng gereja di Aceh itu telah mengantarkan rasa batin saya pada masa-masa yang berat, merindu keluarga, belajar siang malam, udara dingin.

Ini tak beda dengan munculnya suara batin yang indah ketika mencium bau dupa di Kelenteng. Ingatan seperti kembali kepada masa-masa ketika saya bersama seorang teman sering berkeliling ke berbagai kota di Jawa dan selalu singgah di kelenteng-kelenteng tua dan membakar dupa. Ketika itu saya sedang kuliah di IAIN jurusan Perbandingan Agama. Bau dupa yang dihidu (tercium) saat ini sanggup membangkitkan ingatan dan rasa batin yang indah tentang masa lalu sebagai peneliti pemula yang asyik mengamati fenomena orang beragama.

Jadi, jika orang merasa terganggu oleh bebunyian meskipun jenis bebunyian itu dianggap memiliki nilai keyakinan atau agama bagi orang lain, tak perlu marah dan tersinggung. Sebab orang itu mungkin tak merasa punya hubungan batin dengan bebunyian itu. Sebaliknya yang tertinggal adalah kebisingan yang menjengkelkan. Ya seperti di sini subuh ini, ketika suara Tahrim yang mengharu digantikan tak hanya satu tapi tujuh suara panggilang yang sahut menyahut namun tak memiliki hubungan rasa batin dengan saya; saya pun bisa rasakan suara toa itu memang berisik, sama sekali tak menggetarkan!

 

Ikuti tulisan menarik Lies Marcoes lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu