x

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membela Indonesia ~ Nizwar Affandi

Tiba-tiba saja terlintas satu kata di fikiran saya, inlander. Sebuah sikap mental yg sejatinya bertolak belakang dgn nasionalisme.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

 

Nizwar Affandi

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pembaca dan Pemerhati Berita

 

Pagi tadi di sebuah WA Group saya melihat  potongan video komentar Kwik Kian Gie tentang kondisi nilai tukar rupiah. Teman saya yg memposting video itu kebetulan penggiat sebuah ormas yg identik dgn partai politik pendukung capres-cawapres Prabowo-Sandi, tampaknya ia kirimkan video itu untuk menyindir teman-teman di Group yg dianggapnya masih mendukung Jokowi. Dengan genit teman saya itu memberi komentar: "dengerin, ekonom mantan menterinya Megawati saja bilang begitu".

 

Dalam video itu Kwik mengutip John Perkins dari buku memoarnya: "Confessions of an Economic Hit Man", buku lama yg terbit tahun 2004 dan diupdate tahun 2016 dgn judul baru "The New Confessions of an Economic Hitman". Dalam buku itu Perkins menceritakan pengalaman dirinya sebagai agen CIA melakukan operasi di berbagai negara berkembang termasuk Indonesia. Misi Perkins adalah meyakinkan pemimpin politik dan finansial negara berkembang untuk berutang besar dengan institusi seperti Bank Dunia dan USAID atau negara lain untuk proyek yg sebetulnya tidak terlalu bermanfaat. Setelah tidak mampu membayar karena kondisi perekonomian yg memburuk, negara tersebut dipaksa tunduk terhadap tekanan politik dari US mengenai berbagai isu jika ingin dibantu keluar dari kesulitan. Perkins menyatakan bahwa negara-negara berkembang sengaja dinetralkan secara politik, lalu jurang antara orang kaya dengan miskin diperlebar, dan ekonomi negara-negara tersebut dirusak untuk jangka panjang.

 

Sepertinya teman saya itu tidak mencermati kutipan pernyataan Kwik dalam video yg ia bagikan, baginya yg penting mungkin hanya kalimat bahwa turunnya nilai tukar rupiah ini masih akan terus berlanjut dan semakin buruk. Baginya yg penting ada sesuatu yg bisa dijadikan lantaran untuk teriak pemerintah tidak becus dan Jokowi gagal. Teman saya tidak mau tahu bahwa sejatinya jika kita mengamini pernyataan Kwik dgn mengikuti logika testimoni Perkins, maka kita akan memahami kondisi buruk saat ini sebagai bentuk ancaman sekaligus hukuman dari rezim Trump untuk pemerintahan Jokowi yg telah berani mengganggu hajat mereka melalui Freeport dan Chevron di Indonesia. Dengan pemahaman ini tentu tersedia tiga pilihan sikap: membantu misi agen Langley (markas CIA di Virginia), melawan mereka, atau apatis saja.

 

Tidak lama setelah video itu, teman saya mengirimkan lagi screenshoot komunikasi sosmed Fadli Zon dan wawancara jurnalis dgn Steve Hanke, ekonom dari USA yg konon direkomendasikan Peter F. Gontha dan Fuad Bawazier ke Soeharto di ujung masa Orde Baru. Belakangan Gontha membantah bahwa ia tidak pernah mengenalkan apalagi merekomendasikan Hanke menjadi penasihat ekonomi Soeharto. Teman saya yg memposting komunikasi itu juga tetap tutup mata tidak peduli dgn track record konsep CBS (Currency Board System) Hanke yg tidak pernah sukses diterapkan. Bagi saya, posisi Hanke yg menjadi penasihat ekonomi Soeharto di ujung kejatuhannya itu wajar saja jika dicurigai juga sebagai bagian dari operasi "Economic Hitman" sebagaimana pengakuan Perkins dalam bukunya di atas. Tetapi bagi teman saya dan mereka yg memang sudah tidak suka dgn Jokowi, semua itu tidak penting. Bagi mereka pernyataan Hanke yg mengatakan penjelasan Pemerintah dan Jokowi soal depresiasi rupiah itu omong kosong sudah lebih dari cukup untuk menyalurkan hasrat amarah mereka.

 

Tiba-tiba saja terlintas satu kata di fikiran saya, inlander. Sebuah sikap mental yg sejatinya bertolak belakang dgn nasionalisme. Sikap mental inlander ini ternyata masih tetap hidup kendatipun kita sudah merayakan ulang tahun kemerdekaan 73 kali. Sikap ini bisa dgn cepat muncul tanpa sadar bahkan pada mereka yg mengaku dirinya paling nasionalis sekalipun. Dia menyelinap dalam darah kita, mendorong kita untuk terkagum-kagum ketika mendengar pernyataan atau membaca tulisan dari "londo". Seakan-akan mereka pasti lebih pandai dan lebih benar.

 

Kita tidak perlu melahap habis semua teori konspirasi, teori dependensi, teori elit dan teori-teori lainnya hanya untuk memahami bahwa Indonesia adalah pasar raksasa yg diisi oleh 265 juta jiwa dgn segala kebutuhannya, Indonesia adalah lahan raksasa seluas 1.905 juta kilometer persegi dgn segala kekayaannya. Tidak perlu menjadi guru besar dulu untuk sekedar mengerti apa yg diperebutkan oleh USA dan RRC dalam Perang Dagang mereka. Jika membangun pulau kecil nun jauh di Lautan Pasifik saja mereka lakukan, bagaimana mungkin 17 ribu pulau yg terhampar di depan mata akan mereka abaikan?

 

Kita cukup belajar dari saudara-saudara kita di Turki yg begitu cepat memahami perang yg sedang dihadapi pemimpinnya. Pelemahan Lira terhadap Dollar yg sempat menyentuh angka 43%, justru menjadi momentum merekatkan kembali Turki pasca kudeta tempo hari. Dengan cepat rakyat Turki mengerti bahwa yg sedang dihadapi oleh Erdogan bukanlah oposisi dalam negeri tetapi cowboy bernama Trump yg sedang mengamuk menembak kesemua yg dianggapnya mengganggu hajat USA. Tentu bukan kebetulan jika ia membidik China, Turki, Venezuela dan Argentina. Dekade terakhir neraca perdagangan USA dgn China dan Turki mengalami trend negatif, sikap Xi Jinping dan Erdogan terhadap USA dalam berbagai forum internasional makin membuat Trump naik pitam. Di Venezuela kesabaran mereka sudah habis karena ternyata walaupun Chavez telah lama wafat, minyak Venezuela belum juga bisa masuk kembali dalam saku mereka. Argentina mungkin memang tidak mencari masalah secara langsung dgn USA, tetapi mengganggu Inggris berarti menganggu saudara mudanya, USA. Apakah sikap Indonesia terhadap Freeport Mc Moran dan Chevron yg telah membuat Trump marah? Bisa jadi itu puncaknya, karena gugatan di WTO sudah diajukan Trump sejak 2017 lalu karena produk makanan, pertanian dan peternakan mereka dibatasi masuk ke Indonesia.

 

Tulisan ini bisa jadi terasa seperti cerita fiksi ala Hollywood, di mana Paman Sam disibukkan dgn urusan mengatur dan menguasai dunia. Tulisan ini hanya ingin menyampaikan pandangan yg lebih luas dgn menempatkan posisi Indonesia di peta dunia, agar kita bisa lebih kritis  dan bijaksana ketika membaca berita. Kita membaca bahwa selama ini Turki, Qatar dan Iran tidak cocok dgn Saudi Arabia karena Saudi dianggap terlalu dekat dengan USA, tetapi di saat yg sama anehnya kita merasa tidak perlu bertanya mengapa ada yg lebih memilih menetap sementara di Saudi daripada di Turki atau Qatar yg lebih jelas melawan USA misalnya. Saya ingin kita berani keluar dari jebakan biner, sebuah situasi yg membuat dunia ini seakan-akan hitam-putih, like-dislike, follow-unfollow akibat kontestasi elektoral antara Jokowi dan Prabowo saja.

 

Saya tidak bermaksud membela pendukung Jokowi atau menyindir simpatisan Prabowo melalui tulisan ini, saya hanya ingin kita bersama-sama membela Indonesia seperti yg sudah ditunjukkan Prabowo dan Jokowi di Asian Games kemarin.

 

Ada sebuah artikel di media asing yg cukup menarik bagi saya, dalam tulisan itu dikatakan bahwa siapapun yg terpilih dalam Pilpres besok akan menerima Indonesia yg sudah babak belur dipukuli USA, apalagi jika bertarungnya hanya dgn satu tangan dan sebelah kaki.

 

Untuk sementara lupakan dulu cerita Raden Wijaya yg memanfaatkan serbuan Mongol untuk merebut kembali tahta dan kuasa dari tangan Jayakatwang. Mari belajar dari Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram (Sultan Agung) yg bersedia melupakan perselisihannya dgn Cirebon, Banten dan Aceh untuk bersama melawan VOC di Batavia dan tetap teguh dgn sikapnya itu sekalipun ditentang begitu keras oleh sahabat dan kerabatnya.

 

Kalau toh kita belum berani membanting gadget dan berhenti mengkonsumsi produk USA lainnya seperti rakyat Turki, setidaknya kita bisa mulai dgn menahan diri dan tidak menambah keruh ruang publik dgn emosi dan provokasi atas nama kebebasan berekspresi dan demokrasi. Bukan untuk Prabowo atau Jokowi, tetapi untuk Ibu Pertiwi.

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

35 menit lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB