x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pantai Barat Aceh di Panggung Sejarah

Peran Pantai Barat Aceh dari jaman pra kedatangan orang Eropa sampai dengan masa kemerdekaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Pantai Barat Aceh di Panggung Sejarah

Penulis: H. M. Thamrin Z dan Edy Mulyana

Tahun Terbit: 2016

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Penerbit PeNA

Tebal: x + 241

ISBN: 978-602-1620-39-7
Buku “Pantai Barat Aceh di Panggung Sejarah” tak dimaksudkan untuk mendukung gerakan pemisahan Pantai Barat dan Selatan dari Provinsi Aceh. Seperti diketahui sejak tahun 2008, sebagian masyarakat menginginkan wilayah Pantai Barat, yakni Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Baratdaya, Aceh Selatan, dan Simeulu menjadi provinsi terpisah dari Provinsi Aceh. Bahkan pada tanggal 20 April 2013, keberadaan provinsi ini sempat dideklarasikan, meski secara sah belum terealisasi sampai kini. (http://www.tribunnews.com/regional/2013/04/22/provinsi-aceh-barat-selatan-dideklarasikan).

Karya Thamrin dan Edy Mulaya ini membahas sejarah Pantai Barat Aceh dari sejak abad XV sampai dengan saat ini. Pantai barat Sumatra telah menjadi jalur pelayaran alternatif, selain melalui Selat Malaka. Jalur ini kadang-kadang dipakai karena Selat Malaka sering menjadi jalur yang kurang aman akibat konfrontasi antar pihak (hal. 49). Pantai Barat perannya dalam perdagangan menjadi semakin penting sejak Portugis menguasai Malaka pada tahun 1511. Sejak itu jalur Selat Malaka menjadi kurang dilayari oleh para pedagang Muslim. Pantai Barat menjadi alternatif jalur pelayaran ke wilayah Jawa. Alih-alih menjadikan “tertutupnya” Selat Malaka sebagai jalur perdagangan ke Jawa dari Eropa dan Timur Tengah, Thamrin dan Edy Mulaya lebih memilih potensi lada di wilayah barat sebagai titik bahasan.

Thamrin dan Edy Mulaya memulai pembahasannya dengan menampilan kerajaan-kerajaan abad XV-18 di Pantai Barat. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah Kerajaan Daya, Keluang dan Lamno (abad XV), Kerajaan di Wilayah Singkil (abad XVII-XIX). Kerajaan ini banyak berdagang dengan Belanda dan Inggris (hal 37). Kerajaan Trumon (abad XIX dan masih ada pada jaman Jepang), Nanggroe Meulaboh (abad XVI) Nanggroe Tripa, Nanggrose Susoh, Naggroe Blangpidie dan Naggroe Manggeng. Kerajaan-kerajaan di Pantai Barat ini pada umumnya hidup dari perdagangan lada dengan pedagang-pedagang Eropa.

Selain membahas perkebunana dan perdagangan lada secara sekilas di berbagai bab, Thamrin dan Edy Mulyana membahas secara tuntas perkebunan dan perdagangan lada di Bab III (hal. 47-58). Akibat perdagangan lada ini, beberapa negara asing telah membuat konsulat di Pantai Barat Aceh, diantaranya adalah Amerika Serikat (1864), Perancis (1866), Denmark (1868), Inggris (1873), Belgia (1874), Swedia dan Norwegia (1874), dan Jerman serta Italia. Banyaknya konsulat asing ini menunjukkan bahwa perdagangan lada di wilayah ini sangatlah ramai. Di bagian akhir dari Bab III Thamrin dan Edy Mulyana menjelaskan tentang serangan Amerika ke Pantai Barat akibat dari ketidak-puasan Amerika terhadap perdagangan lada.

Setelah menjelaskan sekilas sejarah Pantai Barat dan menunjukkan bahwa wilayah Pantai Barat Aceh memiliki potensi ekonomi yang besar, yaitu lada, Thamrin dan Edy Mulyana menunjukkan bahwa Pantai Barat tidak menyerah begitu saja dengan Belanda. Perdagangan yang dulunya saling menguntungkan, lama-lama dimonopoli oleh Belanda. Karena penduduk Pantai Barat merasakan ketidak-adilan, maka mereka mulai memberontak kepada Belanda. Pantai Barat Aceh berperang melawan Belanda dengan gigih. Meski perlawanan masyarakat pantai Barat Aceh begitu gigih, Belanda baru meninggalkan Pantai Barat saat Jepang datang ke wilayah ini (hal. 108).

Bukan hanya Teuku Umar dan Tjut Nyak Dhien yang sudah kita kenal, Thamrin dan Edy Mulyana menyertakan juga beberapa pahlawan lain dalam bahasannya. Buku ini memuat informasi bahwa hampir semua kerajaan yang ada di Pantai Barat Aceh melakukan perlawanan kepada Belanda. Ada Teuku Muda Teumon yang terlibat dalam peristiwa kandasnya kapal Inggris Nisero (hal 64), Pocut Baren ulebalang di Tungkop (hal. 87), Teuku Ben Mahmud dari Blang Pidie (hal. 92), Teuku Raja Angkasah dari Bakonang (hal. 95), Teuku Cut Ali di daerah selatan (hal 98), Tengku Peukan dari Manggeng (hal. 101), dan Teuku Raja Tampok dari wilayah Seunagan dan Seuneuam (hal 103). Thamrin dan Edy Mulyana juga menjelaskan tentang Hikayat Perang Sabil yang digunakan oleh masyarakat di Pantai Barat Aceh untuk mendidik anak-anak supaya berperang melawan penjajah Belanda yang kafe (kafir).

Pada saat jaman Jepang, pemuda-pemuda wilayah pantai barat banyak yang bergabung untuk membentuk tantara dalam rangka melawan sekutu. Para pemuda yang bergabung dengan Jepang inilah yang mengambil inisiatif untuk membentuk Angkatan Pemuda Indonesia yang kemudian pada bulan Desember 1945 menjadi Tentara Republik Indonesia (hal. 112). Selanjutnya Aceh menjadi bagian dari Provinsi Sumatra Utara saat awal kemerdekaan. Thamrin dan Edy Mulyana menjelaskan perjuangan orang-orang Aceh untuk menjadikan Kutaraja (Banda Aeh) menjadi ibukota Provinsi Sumatra Utara.

Thamrin dan Edy Mulyana melengkapi bukunya dengan tokoh-tokoh dari Pantai Barat Aceh yang berperan di era kemerdekaan Indonesia. Tokoh-tokoh yang berpedan di era kemerdekaan dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok tokoh-tokoh militer dan kelompok tokoh-tokoh sipil.

Buku ini juga dilengkapi dengan perkembangan pendidikan (agama dan pendidikan umum) serta tokoh-tokoh dari pantai barat yang menjadi intelektual kelas dunia.

Meski penulisnya sudah menyampaikan bahwa buku ini tidak berhubungan sama sekali dengan upaya pembentukan Provinsi Aceh Barat Selatan (ABAS), namun buku ini jelas menunjukkan bahwa Pantai Barat dan Selatan Aceh memiliki keunikan sejarah tersendiri. Penulis buku ini menunjukkan bahwa penduduk dan penguasa wilayah ini terdiri dari berbagai suku. Dalam setiap pembahasan kerajaan-kerajaan di Pantai Barat, penulis buku ini menunjukkan bahwa penduduk dan penguasa berasal dari luar (Minangkabau, Batak dan sebagainya), atau setidaknya penduduknya bercampur dengan pendatang dari luar wilayah ini.

Buku ini (bab V dan bab VII) secara jelas menunjukkan dukungan masyarakat Aceh Barat dan Selatan untuk kemerdekaan Republik Indonesia sejak dari tahun 1945. Bahkan putra-putri wilayah ini berperan aktif dalam mendirikan TRI dan perjuangan awal era NKRI.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler