x

Ilustrasi larangan merokok. Ulrich Baumgarten/Getty Images

Iklan

Tulus Abadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pentingnya APACT Meeting Bagi Indonesia

Melalui APACT Meeting ini, seharusnya Pemerintah Indonesia tidak tutup mata untuk membuat terobosan regulasi dan kebijakan untuk pengendalian tembakau.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI

Setelah menjadi tuan rumah Asian Games, Indonesia kembali dipercaya menjadi tuan rumah sebuah pertemuan internasional, yakni APACT Meeting (Asia Pasific Tobacco and Health), diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, 12-15 September 2018. APACT Meeting dihadiri oleh lebih dari 20 negara di Asia Pasific, dengan sekitar 1.000 peserta, dan dengan menghadirkan puluhan nara sumber internasional, baik dari WHO, akademisi dan atau LSM internasional. Opening Ceremony akan dilakukan pada Kamis, 13 September 2018, oleh Menteri Kesehatan RI, Prof. Dr. Nila Moeloek. Selain Menkes, juga akan hadir Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Kepala Bappenas RI. APACT Meeting diselenggarakan setiap 3 (tiga) tahun sekali, dibawah koordinasi Badan Kesehatan Dunia (WHO). Pelaksana nasional (host) acara ini adalah Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), dan YLKI menjadi salah satu co host-nya.

APACT Meeting adalah pertemuan internasional di bidang pengendalian tembakau (tobacco control), yang berfungsi sebagai wadah berbagi pengalaman dan best practice dalam upaya pengendalian tembakau di negara-negara Asia Pacifik dan dunia. APACT Meeting juga untuk menyatukan kekuatan serta semangat bersama melawan invasi industri rokok raksasa, baik industri nasional dan atau industri multinasional.

Lalu apa pesan stategis APACT Meeting bagi masyarakat dan Pemerintah Indonesia? Ada beberapa pesan strategis dari APACT Meeting ini, yakni: 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertama, bahwa hal ini memperlihatkan adanya kekuatan, keinginan, dan upaya yang kuat yang selama ini dilakukan masyarakat Indonesia dalam upaya pengendalian tembakau, sekalipun Pemerintah Indonesia belum mengaksesi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). FCTC adalah kerangka konvensi pengendalian tembakau dalam skala global, yang sekarang telah menjadi hukum internasional, dan telah diratifikasi/diaksesi oleh lebih dari 190 negara di dunia. 

Kedua, APACT Meeting merupakan bentuk dorongan pada Pemerintah Indonesia untuk melihat bagaimana kebijakan dan regulasi negara lain dalam melakukan pengendalian tembakau, untuk melindungi masyarakatnya dari dampak negatif konsumsi tembakau/konsumsi rokok. Sebagai contoh, semua negara di dunia telah melarang iklan dan promosi rokok di semua media. Bahkan, di Australia bungkus rokok tidak lagi menggunakan merek rokok, tetapi berupa bungkus putih (plain packaging). Upaya pemerintah Indonesia menggugat hal ini ke Oraganisasi Perdagangan Dunia (WTO), pun ditolak. Implementasi kebijakan dan regulasi yang dibuat Pemerintah Indonesia masih sangat minimalis, karena begitu dominannya intervensi industri rokok dalam mempengaruhi pembuat kebijakan.

Dan ketiga, momen APACT Meeting juga merupakan kesempatan bagi Pemerintah Indonesia untuk mendapat dukungan global di bidang pengendalian tembakau. Sebab salah satu dimensi pengendalian tembakau adalah upaya untuk menghadapi perusahaan rokok multinasional yang harus dihadapi secara bersama dan simultan. Salah satu invasi industri rokok multinasional adalah melakukan pembelian kepemilikan atas industri rokok nasional. Seperti PT HM Sampoerna yang telah dicaplok PT Philip Morris Internasional dan atau anak perusahaan PT Gudang Garam yang juga telah diakusisi oleh Japan Tobacco Company. 

Melalui APACT Meeting ini, seharusnya Pemerintah Indonesia tidak tutup mata untuk lebih membuat terobosan regulasi dan kebijakan untuk pengendalian tembakau, untuk melindungi masyarakat dari dampak multi dimensi konsumsi tembakau. Saat ini perilaku konsumsi rokok di Indonesia sudah sangat membahayakan, karena 35 persen masyarakat Indonesia adalah perokok aktif. Dengan pertumbuhan jumlah perokok pada anak-anak dan remaja tercepat di dunia. Dengan konfigurasi seperti itu, tidak heran jika wabah konsumsi rokok telah mengakibatkan rantai kemiskinan yang makin akut. Sebab berdasar data BPS dan Riset Kesehatan Dasar, pola konsumsi masyarakat di rumah tangga miskin adalah sangat dominan. Yakni, nomor dua setelah konsumsi beras. Oleh karena itu, sangat mendesak bagi Pemerintah Indonesia untuk memotong rantai kemiskinan dengan memisahkan konsumsi rokok pada rumah tangga miskin. Mustahil bagi pemerintah akan bisa menekan jumlah masyarakat miskin, yang jumlahnya masih 30 jutaan,  jika wabah konsumsi rokok masih dibiarkan seperti sekarang ini.

Juga tanggungjawab pemerintah untuk melindungi konsumen perokok, bahkan unguk para calon perokok yakni anak anak dan remaja, yang menjadi target mangsa industri rokok. Pesan dalam bungkus rokok dsn iklan rokok yang sangat menyesatkan dan “ngapusi” konsumennya. Pesan bahaya rokok yang tidak informatif dan manipulatif. Belum lagi pesan peringatan kesehatan betgambar yang tertutup pita cukai. Sebuah kesengajaan yang didesain sejak lama.

Dalam konteks pengendalian tebkaau, kebijakan konkrit untuk melindungi rumah tangga miskin dan anak-anak plus remaja dari wabah konsumsi rokok adalah: naikkan cukai rokok sampai maksimal (52 persen). Hal ini sangat mendesak, karena cukai rokok di Indonesia adalah cukai terendah di dunia. Negara lain sudah menerapkan cukai rokok hingga 80 persen dari hargai retail. Berikutnya adalan larang iklan dan promosi rokok. Dalam hal ini pemerintah Indonesia termasuk kategori primitif, karena masih melegalkan iklan/promosi rokok. Di seluruh dunia iklan rokok telah dilarang total. Di Eropa, iklan rokok telah dilarang sejak era 1960-an, dan di Amerika Serikat telah dilarang sejak 1970-an. Demikian juga larangan penjualan rokok secara eceran/ketengan. Hanya si Indonesia rokok bisa dijual secara bebas, bak kacang goreng, bahkan bisa diecer. Padahal rokok adalah barang bercukai, yang seharusnya dijual secara tertutup, dan berizin. Bukan dijual bebas bersandingan dengan sembako, bahkan obat-obatan. Dan ketinggalan, tegakkan kawasan tanpa rokok. Saat ini sudah lebih dari 31 persen pemerintah daerah telah menerapkan regulasi tentang kawasan tanpa rokok. Namun, penerapan di  lapangan masih terlihat sempoyongan, alias memble.

Itulah beberapa pesan penting APACT Meeting bagi Indonesia. Kita harapkan pemerintah Indonesia, DPR, politisi di partai politik, mengakhiri praktik “kongkalikong” dengan industri rokok. Tanpa itu, sampai kapanpun masyarakat Indonesia akan menjadi gedibal industri rokok. ***

 

Ikuti tulisan menarik Tulus Abadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler