x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Inggris di Jawa 1811 -1816

Babad yang ditulis oleh Pangeran Aryo Panular tentang penyerangan Inggris ke Keraton Jogjakarta dan peran Inggris setelahnya terhadap kehidupan Keraton.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Inggris di Jawa 1811-1816

Judul Asli: British in Java 18-11-1816, Javanese Account

Penulis: Peter Carey

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penterjemah: Nin Bakdisumanto

Tahun Terbit: 2017

Penerbit: Penerbit Buku Kompas

Tebal: xl + 328

ISBN: 978-602-412-245-4

Saya membaca buku ini kira-kira sebulan setelah membaca “Raffles dan Invasi Inggris di Jawa,” karya Tim Hanigan. Dalam bukunya Hanigan, saya disuguhi sosok Raffles yang pecundang. Hanigan menjelaskan bahwa Raffles tak memiliki kontribusi yang memadai dalam kolonisasi Inggris di Jawa. Justru Raffles menimbulkan banyak pertumbahan darah dan korupsi. Sementara itu buku karya Peter Carey ini membahas pandangan orang Jawa (Pangeran Aryo Panular) terhadap masa pendudukan Inggris di Keraton Jogjakarta. Apakah pandangan Panular terhadap Inggris seperti yang digambarkan oleh Hanigan? Ataukah Panular mempunyai pendapat yang berbeda?

Peper Carey, penulis buku ini adalah seorang sejarahwan Inggris yang mengabdikan dirinya setidaknya 30 tahun untuk meneliti Perang Jawa, khususnya tokoh Diponegoro. Ia adalah seorang yang mempercayai babad sebagai sumber sejarah. Di bukunya yang berjudul “Sisi Lain Diponegoro” Carey membahas dengan mendalam peran babad sebagai sumber sejarah. Itulah sebabnya Carey tidak segan-segan menggunakan babad dalam penulisan sejarah Jawa yang ditekuninya. Termasuk dalam buku berjudul “Inggris di Jawa 1811-1816” ini. Sumber utama buku ini adalah manuskrip karya Pangeran Aryo Panular, seorang kerabat dekat para Sultan Jogjakarta. Manuskrip ini mula-mula adalah koleksi dari Residen Jogjakarta John Crawfurd.

Pangeran Aryo Panular adalah pakdhenya Pangeran Diponegoro dan saudara tiri dari Pangeran Notokusumo yang kemudian bergelar Pakualam. Beliau adalah anak dari pangeran Mangkubumi atau HB I. Ia dilahirkan oleh putri asal Blambangan bernama Mas Ayu Tandhosari (hal 7). Ia diasuh oleh salah satu istri HB I, yaitu Bendoro Raden Ayu Srengoro. Anak perempuan Pangeran Aryo Panular, yaitu Raden Ayu Retno Adiningdyah adalah istri dari HB III (hal. 10). Artinya Pangeran Aryo Panular memiliki akses yang sangat dalam di Keraton Jogjakarta saat Inggris menyerang keraton. Selain sebagai seorang pejabat di dalam keraton – meski jabatannya tidak terlalu tinggi, Panular adalah seorang Islam yang taat, paham Quran dan suka dengan budaya, khususnya wayang. Dengan posisinya yang berada di lingkar dalam kekuasaan Keraton Jogja ini, dan kegemarannya akan sastra, Pangeran Aryo Panular mempunyai legitimasi yang kuat untuk menuturkan apa yang sesungguhnya terjadi di Keraton Jogja saat Inggris menyerang dan kemudian menguasainya. Pangeran Aryo Panular sendiri akhirnya terbunuh di Lengkong saat berperang dengan laskar Diponegoro yang dipimpin oleh Sentot Alibasah pada tanggal 30 Juni 1826.

Dalam babad ini pandangan Panular terhadap Inggris mendua. Ia memuji Inggris sebagai pihak yang sangat kuat karena didukung oleh militer yang canggih (hal. 24), sekaligus sebagai pihak yang kejam, kasar dan suka menjarah.

Panular menggunakan setidaknya Sembilan pupuh untuk menjelaskan secara detail serangan Inggris ke Keraton Jogjakarta. Apa yang diungkapkannya melalui tembang macapat adalah laporan pandangan mata dari lokasi (dalam Keraton). Ia menggambarkan betapa pertolongan dari HB I kepada putra mahkota tak kunjung datang, sementara para prajurit telah kehilangan moralnya untuk terus berperang. Ia menggambarkan pasukan Inggris (Sepoy) yang melakukan penjarahan kepada para perempuan di dalam Keraton.

Selain menjelaskan secara detail, detik per detik serangan Inggris ke Keraton Jogja, buku ini juga membahas tentang berbagai perubahan setelah Inggris menguasai Keraton Jogja. Hal-hal yang dijelaskan dalam buku catatan harian Panular ini diantaranya adalah perubahan Bahasa yang dipakai sehari-hari di keraton dari Bahasa Jawa ke Bahasa Melayu (hal. 28), penggunaan pakaian Eropa oleh beberapa pangeran (hal. 33) sebagai alat perjuangan para pangeran junior untuk mendapat perhatian dari Inggris, hubungan Keraton dengan pedesaan Jawa (hal. 36) dan peran orang China khususnya Tan Jin Sing pada periode kekuasaan Inggris di Jawa (hal. 30).

Buku harian Panular ini juga menjelaskan intrik politik di dalam Keraton dan peran Inggris dalam menentukan suksesi. Panular juga menjelaskan tentang peran Pangeran Notokusumo yang kemudian dihadiahi oleh Inggris untuk mengelola Kadipaten Pakualaman sebagai seorang pangeran Miji yang bertanggungjawab langsung kepada Inggris.

Tentang Raffles, Panular tidak banyak menyinggungnya. Apakah Raffles adalah orang yang berbudi luhur, suka ilmu pengetahuan dan sastra serta berbelas kasihan kepada orang-orang Jawa, sayangnya tidak terlalu menjadi pokok perhatian Panular dalam buku ini.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler