x

Iklan

Acep Iwan Saidi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Emak-emak

Esei tentang kritik terhadap "the power of emak-emak".

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Emak-Emak kembali diperbincangkan. Mungkin juga akan kembali viral. Ini karena istilah The power of Emak-Emak, yang dipopulerkan Cawapres Sandiaga Uno dikritik dalam acara General Assembly International Council of Women ke-35 di Yogyakarta, Jumat (14/9/18). Adalah Giwo Rubianto, Ketua Umum Kowani (Kongres Wanita Indonesia) yang melontarkannya. Menurut Giwo, istilah tersebut tidak tepat. Masalahnya, Indonesia telah memiliki istilah lain yang lebih tepat, yakni ibu bangsa. Jadi, menurutnya, yang tepat adalah The Power of Ibu bangsa. Berikut kurang lebih yang disampaikan Giwo,

"Kami tidak mau kalau kita, perempuan Indonesia yang mempunyai konsep Ibu Bangsa sejak tahun 1935, sebelum kemerdekaan, kalau dibilang emak-emak," ujar Giwo, yang disambut gemuruh tepuk tangan para wanita. "Kami tidak setuju! Tidak ada The Power of Emak-emak. Yang ada The Power of Ibu Bangsa," lanjutnya (news.detik.com, 15/9/18)

Bukan hanya para wanita yang hadir dalam acara tersebut yang sepakat dengan Giwo, Presiden Jokowi juga mengamininya. “Jadilah ibu bangsa wahai perempuan Indonesia. Saya ulangi lagi, jadilah ibu bangsa wahai perempuan Indonesia…Jadi, saya setuju tadi Ibu Giwo menyampaikan istilah emak-emak, ibu bangsa” (Tribunnews.com, 14/09/18).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tentu saja, sebab istilah The power of Emak-Emak telah melekat pada Sandiaga Uno yang notabene sebagai lawan politik Capres Jokowi, kritik tersebut pun jadi bernuansa politis. Dengan kata lain, ia kembali bergulir menjadi soal politik. Di dalam wacana ini, publik sering tidak sempat berpikir. Apalagi jika urusannya terkait dukung-mendukung. Mari kita periksa.

Hemat saya, kritik tersebut tidak sebanding. Istilah emak-emak  tidak sepadan  dibandingkan dengan ibu bangsa, bahkan dengan Ibu saja tidak, dengan emak pun tidak pula. Bacalah, istilahnya emak-emak, bukan emak, bukan ibu. Jadi, kalau hendak dibandingkan, ya, harus dengan ibu-ibu. Jika mau ditempelkan kata bangsa, ya, dengan ibu-ibu bangsa. Tapi, istilah ibu-ibu bangsa tentu tidak lumrah, seperti juga emak bangsa atau emak-emak bangsa, tidak galib.

Lantas, jika emak-emak dibandingkan dengan ibu-ibu, apakah salah satunya memiliki derajat yang lebih tinggi atau lebih rendah. Tidak. Dua-duanya mengacu kepada sosok perempuan setengah tua yang sudah punya anak—kalau tua disebut nenek-nenek atau nini-nini (Sunda). Dua istilah tersebut hanya berbeda bahasa. Emak-emak merupakan dialek Betawi dan/atau Sunda (khususnya Sunda Bogor), sedangkan ibu-ibu merupakan bahasa Indonesia. Kedua istilah ini netral, bukan sebuah idiom dengan makna tertentu seperti Ibu Bangsa, Ibu Negara, Ibu Pertiwi, dan lain sejenisnya. Jadi, panggilan emak-emak tidak merendahkan martabat perempuan; seperti juga panggilan ibu-ibu tidak ada kaitannya dengan meninggikan derajat wanita.

Pemikir modernis memang akan menempatkan istilah emak-emak pada posisi di tepi margin (periphery) sebab modernisme anti tradisi, tapi para pemikir kontemporer yang lebih progresif tentu tidak akan. Emak-emak dan ibu-ibu, abah-abah dan bapak-bapak, atau secara umum tradisi dan modernitas  dapat duduk di tikar yang sama, berdiri pada podium sebanding  Istilah emak-emak malah mungkin lebih revolusioner sebab revolusi, bukankah selalu bermula dari pinggiran? Jadi, the power of emak-emak  lebih logis dan lebih mungkin daripada the power of ibu-ibu.

Tapi, soal ini, sekali lagi, menjadi seksi sebab berkelindan dalam dunia politik. Di sini, siapa yang mengucapkanlah sesungguhnya yang menjadi sasaran. Terkait hal ini, politisi PDIP, Eva Kusuma Sundari, mengklaim bahwa the power of emak-emak itu sebenarnya dibuat  oleh kelompok ibu-ibu pro Ahok. "Ingat ndak kalau setiap sidang Ahok itu kan pasti ada ibu-ibu yang mengawal? Nah, mereka itu yang mengatasnamakan diri 'the power of emak-emak'. Tapi kalau sekarang istilah ini dipakai sama Sandi ya silakan saja," ujar Eva (NewsDetiks.com, 16/09/18). Klaim ini menarik sebab dengannya hendak dikatakan bahwa sumber power itu sesungguhnya tidak berada di pihak lawan, tapi pada “kami”.

Sayangnya, pada zaman Ahok  emak-emak rupanya belum menjadi power. Faktanya, ia tidak bisa melindungi Ahok dari ancaman bui. Kekuatan justeru muncul dan membesar ketika Sandi mempopulerkannya. Buktinya, ia dibicarakan pada sebuah acara yang dihadiri presiden. Acara yang dihadiri kepala negara pasti bukan agenda sembarangan. Emak-emak, istilah lokal yang boleh jadi memang terpinggirkan dalam pikiran pengkritik, tiba-tiba duduk pada sebuah tempat di tengah (pusat). Dengan begitu, maksud semula mau membenamkan, malah justru jadi termunculkan.

Itulah kritik dalam wacana politik di zaman now. Jika tidak tidak dilandasi pemikiran yang matang, ia malah akan jadi bumerang. Sayangnya, hari ini dunia politik memang cenderung membuat pikiran kita tumpul. Hehe***

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Acep Iwan Saidi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler