x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Takziyah: Shaleh Al-Habsyi, IAPIM 1985

Keabadian azali hanya milik Allah semata, dan kita semua pasti akan menyusulmu ke sana (wa inna bikumullahiqun).

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sungguh, keabadian azali hanya milik Allah semata. Dan hari ini, Selasa, 18 September 2018, bertepatan 08 Muharram 1440H, kami alumni Pesantren IMMIM angkatan ke-5 (1979-1985) kembali berduka yang dalam dan merasa amat kehilangan seorang sahabat yang kami muliakan: Shaleh Abu Bakar Al-Habsyi.

Sebagai catatan awal, selama tahun 2018, artikel ini merupakan takziyah ketiga yang saya tulis khusus untuk alumni IMMIM angkatan kelima, yang dengan bangga dan manja, kami biasa menyebutnya DELIMA (The Fifth): pada 06 Agustus 2018 untuk almarhum Mukhlis Chalid di Palopo dan belum genap dua pekan lalu, pada 7 Sept 2018, untuk almarhum Alim Bahri di Gowa.

Saya bersyukur dan sungguh beruntung. Sebab sejak tamat dari pondok tahun 1985, saya tidak pernah bertemu almarhum Shaleh Al-Habsyi selama sekitar 33 tahun. Sampai kemudian takdir mempertemukan kami (bersama alumni Delima lainnya) pada Sabtu, 01 September 2018, ketika menghadiri acara pernikahan anak putri dari seorang alumni Delima juga: sdri Fatma, di Hotel Horison, Makassar. Sebelumnya, komunikasi saya dengan almarhum hanya via telepon, dan saling menyapa di Medsos.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam obrolan santai ketika bertemu di acara nikahan itu, almarhum sempat bercerita tentang dinamika dan lika-liku perjalanan kehidupan pribadinya panjang lebar dan relatif detail, termasuk soal penyakit diabet akut yang dideritanya dan sudah berlangsung tahunan.

Dan tentu saja, sejuta cerita dan kenangan suka dan duka terpatri di benak saya bersama almarhum selama 6 tahun menjalani dan mengecap pendidikan di Pesantren IMMIM Putra, KM 10, Tamalanrea, Makassar, Sulsel.

Dibanding angkatan Delima lainnya, seingat saya, Shaleh Al-Habsyi tergolong santri yang paling gemuk badannya. Almarhum termasuk santri yang berdisiplin di atas rata-rata. Bahkan dalam pertemuan terakhir, sambil bercanda, almarhum sempat bilang ke saya dengan logat Makassar yang kental: “Nah, kau mi Syarif yang ajari saya lari dari pondok, untuk menonton film di Bioskop Jaya (catatan: pada awal 1980-an, bioskop Jaya di Makassar adalah bioskop paling murah karcisnya). Dan posisinya sangat pas, karena terletak di jalan Bulusaraung, dekat masjid Raya, yang dilewati pete-pete (sebutan orang Makassar untuk angkutan kota/Angkot) yang melayani rute Pasar Sentral - Daya, dan juga melintas di depan kampus Pesantren IMMIM. Jadi, kalau giliran lari dari kampus, sekali naik, sekali turun, berbagai tujuan tercapai.

Karena aslinya adalah keturunan sayyid (marga Al-Habsyi), almarhum Shaleh Al-Habsyi memiliki semacam patron yang khas. Penampilan dan tutur katanya punya aksen dan aura yang khas dan juga menyentuh.

Dan ada kelakuan yang saya suka, dan Shaleh tidak suka: saya sering membuatnya kaget. Saya suka, karena kalau sudah kaget, dia akan bernapas terengah, wajah memutih pucat, kadang sampai menyapu dadanya berkali-kali (ketika itu saya belum punya pengetahuan tentang jantungan). Sampai suatu saat, ketika kami masih duduk di kelas dua atau tiga (setara SMP), saya lagi-lagi mengagetkan almarhum di kantin dekat dapur, samping kiri asrama Hasanuddin. Mungkin karena saking kagetnya (saya malah sempat khawatir jangan-jangan Shaleh Al-Habsyi jatuh pingsan), dia akhirnya dengan nada dan wajah serius mewanti-wanti saya untuk tidak mengagetkannya lagi. Dan sejak itu, saya menghentikan kelakuan saya itu, yang sangat tidak nyaman bagi dia.

Seperti umumnya keturunan sayyid lainnya (yang di Indonesia biasa disebut Hadhramy, di kalangan warga Sulawesi dipanggil Puang Sayyid), Shaleh Al-Habsyi boleh dibilang sudah tamat pendidikan dasar keagamaan di rumah, khususnya di bidang aqidah, melalui pendidikan di lingkungan keluarganya, sebelum masuk pondok. Karena itu, dia sering “memprotes” bila ada ustadz yang menyampaikan materi keagamaan yang tidak lazim.

Saya ingat persis, kalau menjenguk Shaleh di pondok, bapaknya mengenakan sandal, sarungan, berbaju koko, dan bersongkok haji warna putih. Dan saya suka, karena kue yang dibawa abanya pasti kue-kue bernuansa Arab.

Dengan almarhum, saya tidak pernah terlibat semcam “konflik personal” kecil-kecilan yang lazim terjadi di pondok. Dan melalui artikel takziyah ini, saya bersaksi bahwa almarhum Shaleh Al-Habsyi adalah orang baik; karena tak sempat melayat langsung, saya menunaikan shalat ghaib untuk almarhum sambil berdoa tulus semoga Allah swt melimpahkan karunia rahmat-Nya untuk almarhum; dan keluarga yang ditinggalkan, dikarunia kesabaran dan ketulusan melepas kepergian almarhum.

Sebab sekali lagi, keabadian azali hanya milik Allah semata, dan kita semua pasti akan menyusulmu ke sana (wa inna bikumullahiqun).

Syarifuddin Abdullah | 18 September 2018/ 08 Muharram 1440H

Sumber foto: arsip pribadi

IAPIM: Ikatan Alumni Pesantren IMMIM

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler