x

Iklan

Arif Rudi Setiyawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Musyawarah sebagai Basis Prosedur Resolusi Konflik

Musyawarah menjadi elemen utama dalam prosedur resolusi konflik, ia dapat menjadi penangkal utama radikalisme dan terorisme.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Musyawarah sebagai Basis Prosedur Resolusi Konflik
Oleh: Arif Rudi Setiyawan
 
     Aksi-aksi terorisme di Indonesia telah terjadi sejak lama, bahkan sejak awal kemerdekaan. Hal itu tidak mungkin terjadi tanpa ada problematika yang melatarbelakanginya. Teori Kebutuhan Manusia (John Burton) merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk membantu memahami penyebab terorisme. Menurut Burton, manusia memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi agar stabilitas masyarakat tetap terjaga. Manusia memiliki dorongan dari dalam dirinya untuk berjuang di setiap lingkungan dan kelembagaan pada semua tataran sosial untuk memenuhi kebutuhan primordial-universalnya. Kebutuhan primordial-universal manusia itu adalah keamanan, identitas, pengakuan dan pembangunan. Burton meyakini bahwa untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan itu manusia akan berusaha menguasai lingkungannya terus-menerus dan perjuangan semacam itu tidak dapat dikekang. 
     Mengutip Panjaitan (2013), primordialisme adalah adanya ikatan seseorang dalam kehidupan sosial dengan hal-hal yang dibawa sejak awal kelahiran seperti suku bangsa, daerah kelahiran, ikatan klan, dan agama. Jadi, perjuangan primordial berarti usaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan penting manusia yang dipengaruhi unsur-unsur mendasar dalam kehidupan seseorang yang dibawa sejak lahir yang harus dipenuhi dan tidak dapat dinegosiasikan.
     Terorisme adalah perwujudan konflik yang dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk agresi. Menurut Teori Frustrasi-Agresi dari Dollard (1939) dan Miller (1941), agresi timbul akibat rasa frustrasi. Frustrasi terjadi karena adanya hambatan dalam meraih tujuan. Jadi, aksi terorisme merupakan salah satu wujud dari pelampiasan rasa frustrasi. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai adalah kebutuhan fundamental, yaitu empat kebutuhan primordial-universal seperti yang disebutkan oleh John Burton. 
    Permasalahan pokoknya kemudian adalah kemungkinan bahwa kelompok seperti Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) dan para pendukungnya menjadi pihak yang kebutuhan primordial universalnya tidak terpenuhi atau terhambat. Dengan tidak terpenuhinya kebutuhan itu, serta terhambatnya seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuannya, maka akan memicu frustrasi dan meledakkan agresi, antara lain dengan ancaman atau aksi terorisme yang melawan hukum, mengganggu stabilitas dan kedamaian negara.
     JAT dipersepsi sebagai salah satu representasi utama gerakan organisasi Islam radikal di Indonesia saat ini. Gagasan kelompok JAT menentang ideologi Pancasila dan sistem demokrasi dinilai memicu konflik dan berpotensi menyebabkan perpecahan. Ustadz Abu Bakar Baasyir sebagai tokoh nomor satu JAT sendiri memiliki rangkaian catatan terkait isu seputar pertentangannya dengan pemerintah Orde Baru. JAT beberapa kali dikaitkan dengan aksi dan rencana terorisme. Oleh pemerintah, eksistensi JAT sangat diwaspadai. Pada beberapa kasus yang terjadi misalnya, pelatihan militer (i’dad) di Aceh, peristiwa bom bunuh diri di masjid adz-Dzikra di Mapolres Cirebon dan GBIS Kepunton Solo serta beberapa peristiwa lain, sorotan tajam tertuju kepada kelompok itu, meskipun mereka seringkali menyangkal dikaitkan dengan kasus-kasus terorisme. Kelompok itu berulang-kali menyatakan tidak pernah merestui aksi kekerasan dilakukan di negeri damai seperti di Indonesia. 
     Terhadap berbagai peristiwa yang dilakukan atau dikaitkan dengan anggota (mantan anggota) JAT, pendekatan keras dengan sistem peradilan pidana (criminal-justice system) telah diterapkan dengan baik, mulai dari penyelidikan hingga pemidanaan. Akan tetapi strategi pemerintah yang diharapkan mampu memberi kepastian hukum dan keadilan di tengah masyarakat itu, ternyata belum cukup efektif untuk mengubur ideologi, menghentikan cita-cita seseorang atau suatu kelompok dan menghilangkan faktor-faktor konflik. Dipenjarakannya ketua dan jajaran penting JAT tidak membuat kelompok itu bubar atau menghentikan impiannya menjadikan NKRI berhukum pada syariat Islam, serta memupuskan harapan mereka pada pembentukan khilafah. 
     Kenyataan tersebut membuat pemerintah berupaya mengembangkan strategi berbeda untuk menyempurnakan konsep penanggulangan terorisme. Pemerintah ingin menerapkan penanggulangan terorisme secara integratif dan komprehensif, tidak hanya terfokus pada aspek penindakan semata tetapi dipadukan dengan pencegahan. Pendekatan tersebut ialah dengan mengimplementasikan program deradikalisasi. Deradikalisasi adalah upaya mentransformasi ideologi radikal menjadi tidak radikal dengan pendekatan multidisiplin. Namun, ketika baru saja dimulai, langkah itu telah mendapat tentangan dan kritik dari berbagai kalangan ormas Islam. Ada beberapa alasan di balik penolakan tersebut, yaitu: deradikalisasi dicurigai sebagai gerakan pendangkalan akidah, dapat memecah-belah umat, dan bertujuan untuk melemahkan Islam. Dalam upayanya, BNPT pernah mempertemukan ulama-ulama internasional, dalam negeri dan mantan petinggi kelompok radikal untuk berdialog dengan terpidana terorisme, salah satunya Ustadz Baasyir di Nusakambangan, akan tetapi belum diperoleh hasil yang memuaskan. 
     Terkait program itu, tahun 2007 Fakhri Usmita pernah mengatakan bahwa “program deradikalisasi belum memberikan perubahan signifikan dalam penanggulangan terorisme, menurutnya harus dilakukan pendekatan yang lebih segar dalam upaya penanggulangan terorisme.” Kira-kira sepuluh tahun kemudian Ihsan Ali-Fauzi dari Yayasan Paramadina juga mengatakan: “Setelah serangan terorisme terjadi lagi di Jakarta pada pertengahan Januari (2016) lalu, pemerintah, parlemen, dan publik kembali ramai membicarakan deradikalisasi. Tapi, kita tak melangkah cukup jauh. Seperti gasing, kita hanya berputar-putar sambil bergeser sedikit.” 
     Dalam rangka memberikan sumbangsih ide untuk menanggulangi terorisme, penulis ingin menyajikan empat prosedur resolusi konflik yang diperkenalkan oleh John Burton. Keseluruhan prosedur apabila dicermati ternyata sangat erat dengan budaya dan kearifan bangsa yang diabadikan dalam Pancasila yaitu musyawarah mufakat. Musyawarah menjadi elemen utama dalam prosedur resolusi konflik, ia dapat menjadi penangkal utama radikalisme dan terorisme.
     Empat jenis prosedur resolusi konflik yang diusulkan yaitu: Pencegahan Konflik, Manajemen Konflik, Resolusi Konflik dan Provensi Konflik. Di mana setiap prosedur ditempuh dengan cara mengembangkan upaya fasilitasi, merancang keterlibatan pihak ketiga, dan melakukan perubahan struktural untuk menghilangkan sebab-sebab fundamental konflik. Perubahan struktural dilakukan dengan melakukan identifikasi terhadap potensi terjadinya kekerasan struktural yang ada di dalam sistem. Kekerasan struktural merupakan kekerasan oleh individu atau kelompok dengan menggunakan sistem, hukum, ekonomi, atau tata kebiasaan yang ada di masyarakat. Kekerasan ini sulit dilihat, tetapi berpengaruh besar terhadap munculnya masalah sosial seperti ketimpangan sumber daya, keadilan, kewenangan dan lain-lain. Berikut adalah catatan penulis terkait empat prosedur resolusi konflik, dikomparasikan dengan upaya pemerintah dalam menanggulangi terorisme selama ini khususnya terhadap gerakan JAT:
     1. Pencegahan Konflik
    Upaya pencegahan merupakan strategi utama BNPT dalam merespons fenomena terorisme. BNPT mengembangkannya dengan empat cakupan yaitu, bidang pengawasan, kontra propaganda, penangkalan (deideologisasi) dan kewaspadaan. Program pencegahan BNPT dilakukan dengan mengoordinasi lembaga-lembaga pemerintah untuk ikut bergabung menangkal paham radikal terorisme. Masyarakat sipil termasuk media daring diajak untuk membendung paham radikal di dunia maya. Target utama yang disasar adalah narapidana dan mantan narapidana terorisme, mantan kelompok teroris, keluarga narapidana teroris, individu serta kelompok yang berpotensi terpapar paham radikal.
  Pada prosedur ini terdapat beberapa temuan, yaitu: dalam programnya, BNPT masih menggunakan model seperti penyuluhan ketika berhadapan dengan kelompok binaan, cara itu menganggap kelompok sasaran masih sebagai orang yang belum tercerahkan atau belum sadar. Daripada melakukan indoktrinasi seperti itu, lebih baik pemerintah berupaya mengembangkan rasa saling memahami dengan warga binaannya. Pemerintah jangan semata-mata mencekoki pengetahuan terhadap warga binaan, sebab upaya membangkitkan pengetahuan mereka lebih diperlukan. Proses deradikalisasi sebaiknya berlangsung dalam kondisi setara antara pemerintah dengan sasaran, dengan menggunakan metode diskusi yang dialogis daripada ceramah yang monologis. Para ulama, mantan teroris dan pihak lain yang menjalankan fungsi deradikalisasi juga harus menjadi bagian dari pihak yang melakukan usaha untuk membantu terselesaikannya konflik. Selain itu pemerintah harus lebih peka terhadap masalah-masalah pokok yang dihadapi binaan. Pemerintah perlu meletakkan fokus membantu sasaran untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi seperti ekonomi keluarga binaan. Dengan diterapkannya gaya baru tersebut, hambatan-hambatan yang dihadapi seperti penolakan dan resistensi diharapkan tidak terjadi lagi.
     2. Manajemen Konflik
    Kelemahan strategi kombinasi disinyalir karena pilihan yang cenderung menggunakan Manajemen Konflik bertipe kompetisi (competing). Tipe kompetisi membiarkan para pihak yang berkonflik bersaing untuk memenangkan konflik sehingga ada pihak yang kalah dan dikorbankan kepentingannya demi tercapainya kepentingan pihak lain yang lebih kuat, lebih besar atau yang lebih berkuasa (zero sum). Manajemen Konflik lebih cenderung memilih menggunakan tipe kolaborasi (collaborating). Di mana pihak-pihak yang saling bertentangan akan sama-sama memperoleh hasil yang memuaskan, karena bekerja-sama secara sinergis dalam menyelesaikan persoalan dengan tetap menghargai kepentingan pihak lain. Singkatnya, kepentingan kedua pihak tercapai dan menghasilkan win-win solution.
     3. Resolusi Konflik
     Cara yang ditempuh oleh pemerintah dalam menanggulangi terorisme terhadap kelompok radikal cenderung dilakukan menggunakan model dominasi atau supresi. Model dominasi biasanya memiliki dua macam persamaan yaitu, berusaha menekan konflik dan menyelesaikannya dengan memaksa konflik ditenggelamkan dan menimbulkan situasi menang-kalah, di mana salah satu pihak terpaksa mengalah karena otoritas yang lebih tinggi, atau pihak yang lebih besar kekuasaannya, dan mereka biasanya menjadi tidak puas, karena itu sikap bermusuhan akan muncul atau tetap ada. Tindakan supresi dan dominasi yang biasa dilakukan adalah dengan melakukan pemaksaan pihak yang kuat terhadap yang lemah. Penggunaan strategi penyelesaian konflik dengan mengedepankan model yang bisa memecahkan permasalahan lebih dianjurkan. Dengan metode ini konflik antar kelompok dialihkan kepada situasi pemecahan masalah bersama, yang dapat dilakukan dengan bantuan teknik-teknik pemecahan masalah. Negara dan kelompok radikal sebagai pihak yang berkonflik bersama-sama mencoba menyelesaikan masalah yang timbul antara mereka. Semua pihak tidak berusaha menekan konflik ataupun mencoba mencari kompromi, tetapi secara terbuka bersama-sama mencari alternatif yang dapat diterima oleh semua. 
     4. Provensi Konflik 
    Prosedur Provensi Konflik menghendaki kondisi-kondisi yang ada dibalik terjadinya fenomena terorisme baik faktor dari dalam maupun luar negeri harus dihilangkan. Misalnya dari pihak JAT adalah dengan menghilangkan kecemasan dan memberi keyakinan bahwa hidup berbangsa dan bernegara dalam naungan NKRI dapat mendukung keselamatan dunia-akhirat apabila mereka menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya sebaik-baiknya. Mengakomodasi pemenuhan kebutuhan identitas yang menghendaki umat Islam di negara mayoritas berpenduduk Islam cukup berperan dalam menentukan kebijakan negara. Memberi tempat yang lebih luas pada penyerapan hukum Islam dalam undang-undang negara (misalnya dalam hukum pidana) dan memperbaiki sistem demokrasi. 
     Seluruh prosedur dan prinsip resolusi konflik di atas, dalam setiap tahapannya harus selalu ditempuh dengan musyawarah, kearifan lokal bangsa kita yang sangat berharga.

 

 

Ikuti tulisan menarik Arif Rudi Setiyawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB