x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pelayaran dan Perniagaan Kopra

Sejarah kopra dan pelayaran di wilayah Manado tahun 1910-1940

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Pelayaran dan perniagaan Kopra di Wilayah Karesidenan Manado, Afdeling Manado (1910-1940)

Penulis: Alex John Ulaen

Tahun Terbit: 2018

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Amara Books

Tebal: xiv + 96

ISBN:  978-602-6525-79-6

 

Membaca sejarah Nusantara berarti membaca sejarah perdagangan hasil bumi. Nusantara terkenal sejak abad 1 sebagai penyuplai hasil bumi yang handal. Colin Brown (2000) dalam bukunya berjudul “A Short Hystory of Indonesia” menjelaskan bahwa di abad 1 perahu-perahu Jawa sudah berdagang sampai jasirah Arab untuk menjual beras, gaharu dan cendana. Demikian pun di era selanjutnya, kepulauan yang sekarang menjelma menjadi Indonesia ini telah terkenal sebagai Gudang rempah-rempah. Kekayaan rempah inilah yang mendorong bangsa Eropa berkeliling dunia melalui laut. Karena rempahlah kolonisasi Afrika, Amerika dan Asia terjadi.

Selain dari rempah, Kepulauan Nusantara juga menghasilkan produk lain, misalnya kopra. Wilayah Sulawesi bagian utara sangat terkenal dengan produksi kopra. Produk kopra dan minyak kelapa ini bahkan sudah diperdagangkan antarpulau sebelum orang Eropa turut campur. Orang-orang Talaud sudah berdagang minyak kelapa ke Ternate, yang saat itu menjadi pusat kebudayaan di timur laut kepulauan Nusantara (hal. 49). Setelah kapal-kapal modern melayari wilayah utara Sulawesi, perdagangan kopra menjadi lebih meluas, bahkan sampai ke Eropa.

Menarik untuk memahami bisnis kopra di wilayah utara Pulau Sulawesi ini. Buku pendek berjudul “Pelayaran dan Perniagaan Kopra di Wilayah Karesidenan Manado, Afdeling Manado (1910-1940) ini membahas sejarah pertanian di Manado dan pelayaran di wilayah Manado. Buku ini juga menyampaikan referensi yang sangat kaya terhadap kajian kopra dan pelayaran di wilayah karesidenan Manado. Pemilihan periode 1910-1940 didasarkan bahwa pada tahun 1910 terjadi ekspansi penanaman kelapa untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pembuatan sabun dan mentega. Sedangkan tahun 1940 dipilih karena pada tahun tersebut terjadi kemerosotan luar biasa perdagangan kopra akibat dari Perang Dunia Kedua .

Karesidenan Manado (yang sekarang adalah wilayah Provinsi Sulawesi Utara) adalah wilayah yang subur. Wilayah ini adalah penghasil beras, jagung dan kelapa. Sejak sebelum orang Spanyol, Portugis dan Belanda melayari wilayah ini, Manado sudah menjadi pemasok beras dan kelapa kepada wilayah sekitarnya. Beras menjadi upeti masyarakat Manado kepada orang Spanyol. Beras juga menjadi komoditas yang dibarter dengan barang-barang lain dengan Belanda.

Sebenarnya tanaman kopi lebih dulu dikenal luas para petani di Manado. Kopi ditanam di tanah-tanah yang dulunya dipakai untuk perladangan. Tanaman kopi mengubah lanskape pertanian Manado. Jika dulunya pertanian didominasi dengan tanaman padi dan tanaman perladangan, maka sejak kopi masuk, khususnya di sekitar Danau Tondano, tanah-tanah banyak ditanami kopi. Namun demikian ketika kopi menjadi bagian dari komoditas Tanam Paksa, maka rakyat menebangi kopinya dan beralih kepada kelapa.

Kelapa mulai dibudidayakan dengan pesat pada tahun 1910 di wilayah Manado saat kebutuhan bahan baku sabun dan mentega meningkat. Penanaman besar-besaran kelapa ini juga dipengaruhi oleh program Tanam Paksa dimana tanaman kopi dikuasai oleh Belanda.

Perkebunan kepala tidak berlangsung lama. Sebab saat Perang Dunia Kedua terjadi, perdagangan kopra menjadi menurun. Akibatnya banyak penduduk yang tidak memelihara kelapanya dengan baik. Di awal kemerdekaan kelapa juga ditinggalkan karena banyak petani yang mengungsi akibat dari pemberontakan PERMESTA (hal. 49). Penduduk mulai menanam cengkeh di gunung.

Masa kejayaan kopra yang singkat, sekitar 30 tahun ini telah mengubah pola pelayaran di Manado. Kapal-kapal besar mulai datang ke Teluk Manado yang berada di muara Sungai Tondano. Pelabuhan di Teluk Manado ini merupakan pelabuhan pengumpul hasil bumi, termasuk kopra. Kapal-kapal dari Belanda, Denmark, China, Arab dan Jepang (hal. 62). Selain dari kapal-kapal besar, Manado juga dilayari oleh kapal-kapal kecil yang jumlahnya lebih dari seribu.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

6 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB