x

Peserta melaksanakan tes melalui Computer Assisted Test (CAT) calon pegawai negeri sipil (CPNS) kementerian Hukum dan HAM di Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah, 11 September 2017. Sebanyak 3020 peserta CPNS Strata satu (S1) mengikuti tes ter

Iklan

Fajri Nursyamsi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Formasi Khusus Disabilitas CPNS 2018: Pisau Bermata Dua

Formasi khusus disabilitas di CPNS 2018 merupakan upaya pemenuhan ketentuan UU Penyandang Disabilitas, tetapi juga berpotensi melahirkan diskriminasi baru.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB) akan melaksanakan Seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) pada September 2018. Seperti halnya dua seleksi CPNS sebelumnya pada 2017, KemenPANRB kembali membuka formasi khusus penyandang disabilitas. Kebijakan itu merupakan upaya Pemerintah dalam memenuhi amanat dari Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Namun apakah kebijakan itu merupakan langkah yang tepat, atau malah menuju kepada praktik diskriminasi baru, menarik untuk dicermati.

Perbaikan Semu

Ada perbaikan yang dilakukan dalam CPNS 2018 dibandingkan dengan CPNS 2017, yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PermenPANRB) Nomor 36 Tahun 2018 tentang Kriteria Penetapan Kebutuhan Pegawai Negeri Sipil dan Pelaksanaan Seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil Tahun 2018. Adapun perbaikan yang dimaksud adalah terkait dengan jumlah quota formasi yang dibuka untuk penyandang disabilitas. Pada huruf F nomor 2 poin b Lampiran PermenPANRB 36/2018 menyebutkan bahwa jumlah formasi untuk penyandang disabilitas pada instansi pusat paling sedikit 2% dari total formasi, sedangkan pada huruf c menyebutkan bahwa formasi bagi penyandnag disabilitas di instansi daerah paling sedikit 1% dari total formasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penegasan minimal jumlah quota formasi bagi penyandang disabilitas adalah langkah yang perlu diapresiasi, karena sebelumnya pada CPNS 2017, khususnya pada pelaksanaan yang kedua, total formasi yang dibuka untuk penyandang disabilitas pada instansi pusat hanya 0,44% dari keseluruhan formasi yang ada. Apabila perintah dalam PermenPANRB itu dilaksanakan dengan baik, berarti akan ada kenaikan jumlah formasi untuk penyandang disabilitas di instansi pusat pada CPNS 2018 minimal sebanyak 1,56%.

Informasi terakhir menyebutkan akan ada 238.015 formasi yang dibuka pada CPNS 2018. Formasi itu terdiri dari 51.271 untuk instansi pusat, dan 186.744 untuk instansi daerah. Hal itu berarti akan ada 1.025 formasi untuk instansi pusat, dan 1.867 formasi untuk instansi daerah, atau total 2.892 formasi yang dibuka untuk penyandang disabilitas. Namun, jumlah itu ternyata hanya mencakup 0,013% dari total penduduk penyandang disabilitas di Indonesia, yaitu sebanyak 21.843.588 penduduk (SUPAS 2015). Bahkan apabila dikritisi lebih dalam, angka itu dilihat dari formasi CPNS 2018, bukan merupakan jumlah penyandang disabilitas yang lolos CPNS 2018 sampai kemudian diangkat menjadi PNS. Jumlah penyandang disabilitas yang kemudian lolos dalam CPNS 2018 berpotensi lebih sedikit dari itu.

Formasi Khusus: Potensi Diskriminasi Baru

Kebijakan mengenai formasi khusus dalam CPNS 2018 bagai pisau bermata dua karena disatu sisi merupakan solusi cepat yang menyejukan, tetapi disisi lain berpotensi membawa diskriminasi baru. Pengkhususan itu merupakan bentuk kebijakan afirmasi, yaitu menjadikan disabilitas sebagai prioritas untuk mengisi formasi-formasi tertentu, dengan tujuan mendorong secara cepat pemenuhan hak atas pekerjaan bagi penyandang disabilitas. Namun begitu, perlu kehati-hatian dan sosialisasi serta edukasi yang baik, khususnya kepada para pelaksana CPNS 2018 di lapangan, untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut. Hal itu dibutuhkan karena formasi khusus bagi penyandang disabilitas juga dapat menghadirkan diskriminasi baru.

Potensi diskriminasi yang dimaksud adalah keberadaan formasi khusus yang justru tidak menghasilkan kebijakan yang inklusif, karena membatasi seorang penyandang disabilitas untuk mendaftar pada kategori formasi lainnya. Adanya formasi khusus disabilitas berpotensi dipahami sebagai jalur satu-satunya bagi penyandang disabilitas untuk menjadi PNS dalam CPNS 2018. Selain itu, ada kekhawatiran juga akan berdampak kepada berbagai aksesibilitas yang seharusnya disediakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah, menjadi tidak tersedia karena penyandang disabilitas yang bersangkutan tidak memilih formasi khusus disabilitas.

Kekhawatiran tersebut muncul karena PermenPANRB 36/2018 masih menempatkan penyandang disabilitas sebagai entitas dengan ciri fisik tertentu, bukan fokus kepada hambatan seseorang untuk mengikut seleksi CPNS 2018 secara keseluruhan. Dengan kata lain, PermenPANRB 36/2018 masih melihat disabilitas sebagai isu karikatif bukan isu HAM sesuai dengan UU 8/2016 atau Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights for Persons with Disabilities – CRPD). Dengan cara ini, perhatian terhadap disabilitas tidak fokus kepada penghilangan hambatan dari siapa saja peserta CPNS 2018, tetapi sekadar pengelompokan dan akhirnya berdampak kembali kepada pengeksklusifan penyandang disabilitas.

Kebijakan yang ideal dalam memahami disabilitas adalah dengan tetap membuka kesempatan penyandang disabilitas melamar di formasi manapun sesuai dengan persyaratan yang sudah ditentukan. Selain itu, penyediaan akomodasi yang layak atau aksesibilitas tetap dijamin bagi setiap penyandang disabilitas dalam formasi manapun. Dengan begitu, ketentuan seperti tercantum dalam huruf F nomor 2 poin I Lampiran PermenPANRB yang menyebutkan bahwa “Panita instansi wajib melakukan verifikasi persyaratan pendaftaran dengan mengundang calon pelamar untuk memastikan kesesuaian formasi dengan tingkat/jenis disabilitas yang disandang”, sudah seharusnya dihapuskan. Ketentuan itu berpandangan bahwa kondisi penyandang disabilitas harus sesuai dengan pekerjaan yang ada. Seharusnya apabila memang ingin berbasis HAM dan mewujudkan kondisi inklusif, maka pekerjaan atau fasilitas pendukungnya harus sesuai dengan kondisi apapun dari pekerjanya. Dengan kata lain kondisi lingkungan yang harus menyesuaikan dengan manusianya, tidak sebaliknya.

Solusi Berjenjang

Berdasarkan data diatas dapat terlihat bahwa kebijakan membuka formasi bagi penyandang disabilitas sebanyak 2% dan 1% tidak signifikan memenuhi kewajiban Pemerintah dan pemerintah daerah di Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yaitu mempekerjakan paling sedikit 2% penyandang disabilitas dari jumlah pegawainya. Selain itu, kebijakan formasi khusus justru berpotensi menghasilkan diskriminasi baru karena belum melihat disabilitas sebagai isu HAM. Kedua penjelasan itu sudah cukup seharusnya untuk mulai melihat upaya pemenuhan Pasal 53 UU Penyandang Disabilitas ini lebih holistik.

Kebijakan untuk penyandang disabilitas pada CPNS 2018 harus dimaknai sebagai langkah awal, yang menunjukan adanya komitmen kuat Pemerintah dan pemerintah daerah untuk memenuhi ketentuan Pasal 53 UU Penyandang Disabilitas. Kebijakan yang seharusnya dilanjutkan dengan penyusunan dan pengesahan suatu grand design pemenuhan hak atas pekerjaan bagi penyandang disabilitas yang jenjang dan sasarannya jelas serta terukur. Kebijakan yang dibentuk secara terbuka dan partisipatif melibatkan kelompok penyandang disabilitas.

Solusi berjenjang yang dimaksud dalam hal ini adalah mengenai perencanaan atau langkah-langkah menuju tercapainya 2% PNS di instansi pusat dan instansi daerah pada suatu waktu tertentu. Perencanaan yang mampu menjawab kapan quota 2% itu akan tercapai; bagaimana cara mencapai dan melakukan pengawasannya; dan siapa saja yang bertanggungjawab melaksanakan serta menanggung beban anggarannya. Solusi berjenjang itu memerlukan data yang akurat mengenai jumlah PNS penyandang disabilitas saat ini. Dari data itu baru bergerak menentukan target waktu memenuhi sisanya, serta menentukan strategi pemenuhannya tahun demi tahun.

Dengan adanya grand design tersebut maka setiap pihak, termasuk masyarakat penyandang disabilitas, dapat mengetahui kemana arah kebijakan Pemerintah dan pemerintah daerah untuk melaksanakan Pasal 53 ayat (1) UU Penyandang Disabilitas. Keberadaan solusi berjenjang itu juga memungkinkan dilaksanakannya pemantauan dan evaluasi, dalam menilai apakah terget tercapai atau tidak, dan bagaimana apabila tercapai atau apabila tidak tercapai.

Ikuti tulisan menarik Fajri Nursyamsi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler