x

Iklan

HMI Soshum Saintek UIN SUKA

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Rakyat Bertanya, Tuan dan Puan Mewakili Siapa?

Tulisan in berawal dari kegelisahan penulis mengenai para wakil rakyat yang hanya memikirkan kelompoknya dan dirinya sendiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

     “Untukmu yang duduk sambil diskusi untukmu yang biasa bersafari disana di gedung DPR, di hati dan lidahmu kami berharap suara kami tolong dengar lalu sampaikan jangan ragu jangan takut karang menghadang bicaralah yang lantang jangan hanya diam” demikian bentuk kekecewaan seorang Iwan Fals dalam sepenggal lirik lagu yang berjudul surat buat wakil rakyat. Kritikan terhadap para wakil rakyat yang dituangkan dalam lagunya merupakan sebuah ungkapan keprihatinan dari seorang musisi senior terhadap kelakuan para wakil rakyat bangsa ini yang hanya terdiam saat rakyat butuh aspirasinya disuarakan. Keprihatinan Iwan Fals bukan tanpa alasan, para politikus yang katanya wakil rakyat hanya mementingkan kepentingan individu dan saat ini mereka terjebak dalam hegemoni partai politik sehingga suara rakyat hanya sekedar angin berlalu. Ketika berbicara mengenai membangun kepercayaan, di masyarakat saat ini terjadi sebuah ironi, ketika berbicara wakil rakyat, rakyat seolah bertanya siapa yang mewakili siapa?

       Jika diperhatikan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga parlemen khusunya DPR, dari tahun ke tahun seolah mengalami kemunduran, hal itu berbanding lurus dengan kasus-kasus yang menyeret nama para politikus yang duduk di kursi Senayan, mulai dari kasus korupsi, kasus suap, papa minta saham, hak angket DPR terhadap KPK, penambahan uang tunjangan anggota dewan dan yang paling kontroversial yaitu terjeratnya ketua DPR dalam kasus mega proyek E-KTP yang lain tak bukan ialah Setya Novanto. Berdasarkan survei tingkat kepercayaan yang dilakukan oleh lembaga Poltracking pada bulan November lalu, DPR sebagai salah satu lembaga elit menempati posisi paling buncit terkait tingkat kepuasan rakyat dari 13 institusi demokrasi dan penegak hukum yang di survei. Dari survei tersebut hanya sebesar 34% yang merasa puas akan kinerja anggota DPR. Lembaga survei lainnya, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) juga menempatkan DPR dengan tingkat kepercayaan yang masih sangat rendah. Hal itu mungkin disebabkan lantaran masyarakat menganggap DPR saat ini pro terhadap para koruptor, anggapan itu dapat dilihat dari upaya-upaya DPR untuk menjatuhkan KPK sebagai lembaga antirasuah salah satunya dengan pansus hak angket. Upaya hak angket tersebut dipandang masyarakat sebagai upaya melemahkan KPK, agar para politikus bebas memakan uang rakyat, jadi tidak mengherangkan jika saat ini tingkat kepercayaan rakyat terhadap DPR masih sangat rendah.

       Dalam keadaan seperti ini para wakil rakyat harusnya sadar bahwa masyarakat hanya ingin adanya penguatan dan pemberantasan korupsi secara maksimal bukan malah sebaliknya. Karena reputasi DPR saat ini yang tengah dalam kondisi yang memprihatingkan sudah sepatutnya DPR fokus untuk kembali membangun citra positif agar masyarakat kembali percaya terhadap kinerjanya bukan malah asyik mementingkan kepentingan masing-masing. Hal lain yang juga  menurunkan reputasi DPR yaitu isu mengenai pembangunan gedung baru DPR, permintaan tersebut dalam situasi saat ini, menurut para pengamat politik merupakan sebuah blunder besar, dikatakan seperti itu, karena posisi DPR di mata masyarakat saat ini dianggap sebagai musuh rakyat bukan sebagai penyambung aspirasi rakyat. Isu mengenai pembangunan gedung baru DPR memunculkan banyak reaksi dari berbagai kalangan, sebagian beranggapan bahwa kinerja DPR belum maksimal seharusnya para wakil rakyat fokus bekerja demi kepentingan masyarakat bukan malah memikirkan tentang gedung baru. Dengan wacana itu, sindiran dari berbagai kalangan bermunculan salah satunya sebuah anekdot yang berbunyi Apakah kurang nyenyak tidur di gedung yang sekarang? Sindiran tersebut sebenarnya ada benarnya jika dilihat kelakuan para politikus yang kerjaanya tidur saat rapat membahas kesejahteraan rakyat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

       Kelakuan para politikus memunculkan keprihatinan etika politik di Indonesia saat ini jika dibandingkan dengan beberapa negara lainnya seperti Jepang, Cina maupun Singapura. Kelakuan politikus yang duduk di kursi kekuasan telah mencoreng etika politik bangsa Indonesia terlebih kelakuan Setya Novanto sebagai terdakwa kasus korupsi E-KTP. Alasan-alasan serta manuver yang sempat dilakukan Setya Novanto bisa dikatakan tidak masuk akal salah satunya peristiwa sakitnya Papa Setnov yang penuh dengan kejanggalan serta diamnya Setnov saat di sidang di pengadilan beberapa waktu yang lalu. Isu-isu seperti inilah yang membuat rakyat tidak peduli lagi dengan lembaga-lembaga parlemen saat ini, masyarakat hanya perlu hasil yang berpihak untuk mensejahterahkan rakyat bukan soal siapa yang berkuasa.

       Ketidakpercayaannya rakyat saat ini terhadap para wakil rakyat  akan berdampak pada tingkat partisipasi politik masyarakat Indonesia, jika rakyat tak berpartisipasi maka suara siapa yang akan disuarakan lagi. Memilih wakil rakyat jika dianalogikan ibarat membeli kucing dalam karung, kita tidak mengenalnya, tidak tahu apa hasil karyanya sehingga cocok sebagai wakil kita, dan yang paling parah adalah kita tidak tahu apakah dia punya mental yang baik atau tidak. Garbage in garbage out, itulah yang terjadi selama ini. Setiap kali Pemilu di republik ini, rakyat diberikan pilihan yang dia sendiri tidak tau kualitas yang dipilih, hal itu dikarenakan para kandidat ini hanya muncul lima tahun sekali, itupun jika waktu Pemilu sudah dekat. Kampanye yang dilakukan hanya sebuah pencitraan belaka agar mendulang suara sebanyak-banyaknya agar tetap bisa mempertahankan kursi ataupun merebut kursi kekuasaan di Senayan. Dan yang menjadi kemirisan tersendiri, masyarakat saat ini ketika memilih wakilnya sudah tidak melihat lagi visi dan misi kandidat yang maju tetapi melihat seberapa besar uang yang bisa ditawarkan, tapi perlu diingat masyarakat Indonesia tidak semua berpatokan soal siapa yang punya uang, kita punya pemilih yang rasional, siapa dia? Dialah para pemuda, para mahasiswa yang katanya punya idealisme. Sudah waktunya pemuda mengambil bagian dalam kancah percaturan politik bangsa Indonesia, pemuda wajib paham tentang politik agar wakil rakyat yang gila tidak terpilih lagi di pemilihan berikutnya. Bangsa ini butuh wakil rakyat yang bermental pembantu bukan bermental raja. Ingat yang “katanya” wakil rakyat, kampanye bukan unjuk harta, rakyat jangan di kerdilkan hanya sebatas suara, jika kalian sibuk memburu kemenangan, maka demokrasi kita tak lebih dari sekedar barang dagangan.

            Tidak percayanya rakyat terhadap DPR merupakan sebuah tantangan dan pekerjaan rumah yang cukup berat dan karena itu DPR RI diharapkan untuk selalu mengambil keputusan yang sesuai dengan aspirasi rakyat. Tantangan tersebut harus menjadi fokus utama Bambang Soesatyo sebagai ketua DPR yang baru menggantikan Setya Novanto agar marwah DPR kembali dapat dipercaya oleh masyarakat luas. Dan yang tak kalah penting juga bagaimana DPR dapat mengerem anggaran melalui efisiensi sehingga menjadikan DPR dapat bekerja lebih produktif dengan baik. Selain itu, mengenai Pansus hak angket, sebaiknya dapat diselesaikan dengan segera karena pembahasannya sudah cukup lama berlangsung. “DPR juga harus terus melanjutkan reformasi internalnya dan menjadi lembaga representasi rakyat yang makin modern dan dipercaya”, kata Jokowi dalam pidato kenegaraan di Sidang Tahunan MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2017). Lembaga Parlemen di INdonesia jika ingin mendapatkan kepercayaan rakyat maka lembaga parlemen harus ‎benar-benar tepat dalam mengambil benang merah antara kehendak publik dengan kebijakan yang ditetapkan. Tak dapat dipungkiri tantangan DPR adalah memang menjembatani kemauan publik. Untuk itu, wakil rakyat harus tau rakyat maunya apa, dan lalu memperjuangkannya. Sudah saatnya DPR melakukan reformasi total, baik dari aspek supporting staff maupun sistem di internalnya.

            Dengan kinerja yang semakin membaik, maka akan muncul kesadaran pada masyarakat bahwa mereka punya wakil yang bisa mensejahterakan dan otomatis partisipasi politik juga meningkat. Masyarakat tidak boleh bersikap apatis terhadap politik Indonesia, jika bersikap apatis maka siapa lagi yang akan mengkritiki para politikus, mereka malah akan bertindak sewenang-wenangnya jika kita tidak peduli dengan kebijakan-kebijakan mereka. Tahun pemilu sudah dihadapan kita, pastikan kita memilih wakil yang mengerti suara kita bukan memilih wakil rakyat yang berwajah dua. Liat visi dan misinya bukan ketebalan dompetnya, sudah saatnya kita memilih wakil yang rasional bukan wakil yang reaktif yang membuat kita gigit jari sendiri melihat kelakuaanya. Biarkan mereka gila dengan kekuasaan tapi jangan biarkan kekuasaannya membuat kita gila. Wakil rakyat yang duduk di kursi Senayan saat ini merupakan representasi dari rakyat, maka dari itu mereka wajib melayani kita, jika tidak mau, angkat saja mereka jadi rakyat.

Ikuti tulisan menarik HMI Soshum Saintek UIN SUKA lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler