x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Donggala-Palu Berduka di Bulan Muharram

Bumi bergoyang; pohon kelapa yang tingginya rata-rata 20 meter bahkan merebah sekitar 45 derajat, tsunami setinggi 3 meter menggulung pesisir.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada pukul 17.02 WIB atau 18.02 WITA, Jumat, 28 September 2018, gempa dahsyat bermagnitude 7,7 Skala Reachter (SR) menggoyang dan menggetarkan tanah Donggala, Palu dan sekitarnya. Getarannya terasa sampai ke bagian tengah dan pesisir timur Pulau Sulawesi (Poso, Luwu, Malili, Bone bahkan Kendari). Beberapa teman di Makassar mengabarkan juga merasakan getarannya.

Sebagian warga di Mamuju yang merasakan getaran kerasnya akhirnya memilih mengamankan diri ke dataran tinggi. “Semua ruang di gunung Kelapa Tujuh sudah habis terisi oleh pengungsi”, tulis status seorang teman di Mamuju. Gunung Kelapa Tujuh, yang merupakan daerah wisata, berjarak sekitar 5 km dari jantung kota Mamuju, Sulawesi Barat.

Padahal jalur jalan trans-Sulawesi pesisir timur yang menghubungkan Mamuju-Donggal berjarak sekitar 400 km. Namun jika ditarik garis lurus, berjarak kurang lebih sekitar 250 km dari Donggala.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tentu, jika dibandingkan dengan tsunami Aceh pada Desember 2004, tsunami Donggala kali ini memang tergolong kecil. Tapi ibarat banjir di Jakarta, kemasukan air di rumah setinggi lutut, rasa dan risikonya sama jika kemasukan air sepaha atau sepinggang.

Artinya tsunami sekecil apapun tetaplah tsunami. Ombak besar datang dari arah laut, tinggi gelombang melebihi tinggi daratan pantai untuk menahannya. Akibatnya, pemukiman di pesisir akan tergenang bahkan tergerus dan tersapu oleh air laut.

Sebagai orang yang pernah hidup di bagian tengah pesisir barat pulau Sulawesi, tepatnya di wilayah Mandar (mulai dari Polman, Majene sampai Mamuju), seingat saya, gempa bermagnitude 7,7 ini adalah gempa terbesar.

Ketika masih kecil, sebelum berusia 10 tahunan, saya masih samar-samar mengingat, wilayah pesisir barat Sulawesi pernah dilanda gempa besar: bumi bergoyang; pohon-pohon kelapa terlihat berayun-ayun, sebagian pohon kelapa yang tingginya rata-rata 20 meter bahkan merebah sekitar 45 derajat; banyak rumah-rumah panggung kayu oleng. Beberapa bagian inti rumah kayu terlepas dari posisinya, sebagian tiang penyangganya bergeser. Setelah itu, berhari-hari lamanya semua warga tidur di tenta-tenda di depan rumah masing-masing, karena gempa susulan terus terjadi. Orang Mandar menyebutnya linor kaeyyang (gempa besar).

Ketika itu, sebagian warga yang bermukim di pesisir di wilayah Majene, Tinambung, Pambusuang dan sekitarnya akhirnya memilih mengungsi ke arah timur (Mapilli, Wonomulyo yang relatif jauh dari pantai).

Menurut cerita para tetua, salah satu pemicu pengungsian ketika itu, karena pada hari terjadinya gempa besar itu, tiba-tiba di ufuk arah barat, muncul gumpalan awan yang membentuk menyerupai garis lurus mendatar dan memanjang, sehingga dari jauh terlihat seperti gulungan ombak tinggi (kemudian terbukti memang awan).

Setiap kali saya menyusuri jalan dan memperhatikan kontur dan karakter tanah di semua wilayah pesisir barat pulau Sulawesi, mulai dari Campalagian, Tinambung, Majene, Pamboang, Somba, Malunda bahkan sampai Tappalang, saya sering membatin mungkin wilayah ini memang pernah dilanda tsunami besar entah kapan. Tanahnya berkapur, tidak subur, sehingga memberi kesan pernah tergenang oleh air laut.

Kembali ke gempa Donggala-Palu, ketika artikel ini sedang ditulis, karena jaringan komunikasi relatif terputus; landasan pacu bandara Sis Al-Jufri (dulu Bandara Mutiara) Palu mengalami retak dan sistem navigasinya tak berfungsi maksimal, maka wilayah Palu-Donggala dalam posisi terisolasi dengan dunia luar. Kita  belum tahu, berapa jumlah korban dan sejauh apa dampak gempa yang berkekuatan 7,7 SR tersebut.

Namun mengacu pada foto-foto dan rekaman video amatiran yang di-share oleh warga melalui jaringan media sosial, gempa Donggala-Palu telah mengakibatkan banyak bangunan ambruk, genangan air tsunami setinggi tiga meter menggulung beberapa bagian pantai di Teluk Palu, dan puluhan gempa susulan lainnya terus terjadi dengan kekuatan di atas 5 SR. Kita berharap dan berdoa jumlah korban jiwa tidak banyak.

Donggala-Palu berduka, dan pasti warganya bukan hanya membutuhkan doa simpatik, tetapi juga bantuan riil berupa makanan dan pakaian. Karena banyak jalan rusak dan beberapa jembatan ambruk atau retak, pasokan logistik pasti mengalami gangguan yang serius.

Syarifuddin Abdullah | 29 September 2018/ 19 Muharram 1440H

Sumber foto: akun Twitter american earthquakes.

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler