x

Pemandangan sejumlah bangunan yang hancur diguncang gempa di Juchitan, Meksiko, 8 September 2017. Gempa yang memicu tsunami kecil ini membuat pemerintah negara itu mengumumkan keadaan darurat. REUTERS

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gempa di Tahun Politik

Peristiwa gempa janganlah dijadikan komoditas politik. Solidaritas sosial harus diperkuat melampaui kecondongan politik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Belum lama Lombok dan Nusa Tenggara Barat terguncang, kini Palu dan Donggala di Sulawesi Tengah juga terguncang. Gempa terjadi tidak terduga, begitu pula besarnya akibat yang ditimbulkan. Menghadapi peristiwa alam seperti ini, masyarakat luas selalu tergerak untuk segera mengulurkan bantuan. Solidaritas sosial biasanya memang relatif cepat menguat manakala terjadi peristiwa alam yang menimbulkan korban jiwa maupun material.

Di banyak tempat, bantuan digalang oleh berbagai pihak. Relawan bergerak menuju lokasi. Sekat-sekat sosial yang sebelumnya mungkin ada terkikis oleh situasi darurat. Ada kesadaran bersama bahwa sebagian saudara kita memerlukan bantuan segera. Di samping kebutuhan psikologis akan rasa aman, saudara kita membutuhkan tenda, pakaian, makanan, obat-obatan, dan sarana komunikasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di tengah spirit solidaritas yang mencuat, rasanya ada hal lain yang perlu diingatkan, lantaran ini tahun politik. Barangkali tidak luput dari perhatian bahwa menyusul penanganan gempa di Lombok, sebuah survei berusaha mencari tahu sejauh mana penanganan korban gempa ini memengaruhi persepsi publik terhadap Jokowi, figur presiden petahana yang terjun dalam kontestasi politik 2019. Hasil survei: positif.

Mengaitkan kedua hal itu memang bisa dilakukan, sebab penanganan korban gempa merupakan wujud tanggungjawab pemerintah terhadap warga. Ada kebijakan publik yang harus diambil dan ada tindakan yang harus ditempuh untuk warga masyarakat, di antaranya mengunjungi penduduk di lokasi bencana. Ini merupakan bagian dari tugas pemerintahan, , walaupun ini sebenarnya merupakan advantage yang dinikmati figur petahana.

Tapi rasanya kurang elok bila pengambilan kebijakan dan tindakan yang terkait penanganan gempa dihubungkan dengan persepsi masyarakat secara politis. Semakin kurang elok bila kemudian hasil survei semacam itu memengaruhi jalan berpikir siapapun yang ikut menangani peristiwa gempa di Nusa Tenggara Barat maupun sekarang di Sulawesi Tengah. Dalam arti, jangan sampai ada pikiran bahwa inilah saatnya membangun citra sebagai pihak yang sangat peduli dan bersimpati.

Kurang elok bila peristiwa alam ini maupun penanganan musibahnya dijadikan komoditas politik. Apakah itu kegiatan doa bersama, pengiriman bantuan, ataupun pengerahan relawan, tak usahlah hal itu dikaitkan dengan (pencitraan) politik. Tidaklah layak siapapun mengambil keuntungan politik dari peristiwa alam yang menimbulkan korban sangat banyak ini. Peristiwa gempa ini mestilah ditempatkan dalam konteks kemanusiaan, bahwa banyak saudara yang memerlukan bantuan tanpa memandang apa latar belakangnya dan tanpa niat politis.

Baik petahana maupun kompetitornya, beserta sekutu-sekutunya, perlu menahan diri dari upaya mencitrakan diri sebagai pihak yang sangat peduli kepada saudara kita yang tengah diuji dengan gempa dan tsunami. Akan lebih afdol apabila ‘niat’ melakukan aksi solidaritas, menyalurkan bantuan, maupun mengerahkan relawan bukan untuk mencari muka di hadapan rakyat yang sedang mengalami cobaan, melainkan betul-betul murni untuk meringankan beban saudara-saudara ini. Akan lebih bagus bila semua pihak berlomba-lomba berbuat kebaikan tanpa pramih apapun, termasuk pamrih politik untuk menaikkan citra atau agar hasil surveinya bagus. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler