x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dua Bersaudara

Tragedi kemanusiaan akibat kebijakan politik yang dikemas dalam narasi penuh humor.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

versi pendek artikel ini telah tayang di Harian Suara Merdeka dengan judul "Tragedi Berbalut Komedi" tanggal 22 September 2018

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Judul: Dua Bersaudara

Judul Asli: Brothers

Penulis: Yu Hua

Penterjemah: Agustinus Wibowo

Tahun Terbit: 2018

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tebal: xl + 328

ISBN: 978-602-203-7708-7

 

Ini adalah buku kedua karya Yu Hua yang aku baca. Buku pertama karya pengarang asal Tiongkok yang mendapatkan penghargaan dari James Joyce Foundation yang saya baca berjudul “Hidup.” Yu Hua masih memiliki beberapa novel lagi yang belum aku baca. Karya Yu Hua telah diterjemahkan ke banyak Bahasa, termasuk Bahasa Indonesia. Saya menyukai dua novel Yu Hua yang sudah saya baca ini. Sebab keduanya bicara tentang kemanusiaan. Keduanya berbicara tentang pentingnya hidup. Ia membicarakan hidup yang lebih penting dari ideologi, norma dan nilai. Semoga suatu hari nanti aku bisa menemukan novel-novelnya yang lain tersebut.

Buku “Dua Bersaudara” ini berkisah tentang Li Gundul dan Song Gang. Sesungguhnya mereka bukanlah saudara kandung. Namun karena kedua orangtuanya, yaitu Li Lan (ibu Li Gundul) dan Song Fanming (bapak Song Gang) menikah, maka mereka dipersatukan menjadi saudara. Kisah kedua bersaudara ini digunakan oleh Yu Hua untuk menggambarkan keadaan kehidupan disebuah kota kecil di dekat Shanghai di awal era Revolusi Kebudayaan dan kemudian di era Deng Xiaoping yang menjalankan politik pasar terbuka.

Li Lan hidup murung karena dirundung malu. Suaminya, ayah Li Gundul meninggal karena kecemplung jamban saat mengintip bokong para perempuan di wc umum. Li Lan menjadi seorang perempuan yang percaya diri kembali setelah menikah dengan Song Fanming. Song Fanming adalah guru sebuah sekolah yang ditinggal mati oleh istrinya (ibu Song Gang). Kebahagiaan mereka tak bertahan lama karena Song Fanming akhirnya mati dibunuh oleh pemuda-pemuda dengan lengan berikat kain merah (pendukung Revolusi Kebudayaan). Song Fanming dijuluki sebagai musuh rakyat hanya karena ia adalah keturunan seorang tuan tanah. Song Fanming yang gagah dan berbadan tinggi besar itu harus memakai kalung papan bertuliskan “musuh rakyat.” Padahal pada awal Revolusi Kebudayaan melanda Kota Liu, Song Fanming adalah seorang pemimpin pendukung Mao. Ia mati karena dihajar oleh para pemuda di terminal bus karena menyelinap dari penjara untuk menjemput Li Lan yang sedang berobat di Shanghai.

Sepeninggal Song Fanming, Li Lan hidup dengan tegar dan tetap bangga sebagai bekas istri Song Fanming. Ia bahkan mendaftarkan Li Gundul ke sekolah sebagai anak Song Fanming. Namun peristiwa tertangkapnya Li Gundul yang mengintip bokong para perempuan di wc umum membuat ketergaran Li Lan runtuh seketika. Kesedihannya ini membawanya kepada kematian. Menjelang kematiannya, Li Lan berpesan kepada Song Gang dan Li Gudul untuk terus saling menolong. Sejak itulah Song Gang dan Li Gundul hidup bersama di rumah peninggalan Li Lan.

Li Gundul bekerja di perusahan pembuat karton “Makmur Sejahtera.” Perusahan ini didirikan oleh Tao Qing seorang tokoh Kota Liu untuk memberi pekerjaan kepada para orang berkebutuhan khusus. Selain Li Gundul, ada dua orang picang, lima orang buta dan tiga orang idiot yang bekerja di perusahaan tersebut. Perusahaan ini menjadi sangat maju karena dipimpin oleh Li Gundul. Ia mendapatkan banyak order dari Kota Shanghai yang sedang tumbuh sebagai kota pasar terbuka.

Keberhasilannya sebagai Kepala Pabrik membuat ia mendekati Lin Hong, perempuan yang dulu diintip bokongnya. Berbagai upaya dilakukan untuk mendapatkan Lin Hong. Ia meminta Song Gang untuk membantunya. Namun pada akhirnya Lin Hong justru jatuh cinta kepada Song Gang. Mereka berdua akhirnya menikah. Pernikahan Lin Hong dengan Song Gang ini membuat hubungan Song Gang dan Li Gudul menjadi renggang. Bahkan setelah Li Gundul bangkrut, Song Gang dan Li Gundul memutuskan untuk tidak bersaudara lagi. Putus hubungan.

Dari pengalamannya mengelola perusahaan “Makmur Sejahtera” membuat Li Gundul beralih profesi menjadi seorang pedagang. Mula-mula ia memulai mendirikan pabrik pakaian. Namun usahanya ini bangkrut sebelum mulai. Ia gagal total karena tak mendapatkan order sedikitpun dari para pengusaha garmen di Shanghai. Padahal ia telah membawa modal dari beberapa warga Kota Liu untuk memulai usaha barunya tersebut. Saat kembali itulah ia dimusuhi dan bahkan dihajar oleh para pemegang saham yang uangnya hilang. Hidupnya merana. Seringkali ia tak makan apa-apa sepanjang hari. Song Gang yang sudah berjanji kepada ibunya untuk membantu Li Gundul secara diam-diam memberikan makanan dan uang kepadanya. Namun upaya ini akhirnya diketahui oleh Lin Hong. Lin Hong tidak rela Song Gang membantu Li Gundul.

Kegagalannya dalam bisnis membuat Li Gundul ingin kembali ke Pabrik Makmur Sejahtera. Namun upayanya ini tidak berhasil karena namanya telah dicoret dari daftar pegawai pemerintah. Saat berbulan-bulan protes di pintu gerbang kabupaten itulah ia mendapatkan jalan hidupnya yang baru. Mula-mula orang-orang memintanya untuk memunguti rongsokan yang akan dibuang dari rumah. Ternyata rongsokan yang dikumpulkan itu menjadi bisnis besar yang mengubah hidupnya. Usaha Li Gundul menjadi semakin besar saat ia mengimpor jas bekas dari Jepang.

Yu Hua memakai kisah jas bekas dari Jepang ini untuk menggambarkan bagaimana orang-orang di Kota Liu kemaruk kepada apa-apa yang serba Jepang.

Dengan penghasilan yang luar biasa dari bisnis pakaian bekas ini, Li Gundul mulai membangun bisnis lain, yaitu mengubah Kota Liu menjadi kota modern. Semua bisnis di Kota Liu dikuasainya.

Yu Hua menggunakan bagian ini untuk menggambarkan bagaimana sistem kapitalisme membuat rakyat tak berdaya. Kota diubah oleh pengusaha yang berkolusi dengan pemerintah. Sementara anggota masyarakat harus menerima perubahan yang tak dipahaminya tersebut.

Saat Li Gundul berhasil, justru Song Gang mengalami nasib yang sebaliknya. Ia diberhentikan dari pekerjaannya karena pabriknya bangkrut. (Pabrik pemerintah mulai tidak bisa bersaing dengan pabrik yang dikelola oleh swasta.) Pekerjaan kasar yang dilakukannya selepas ia kena PHK menyebabkan kesehatannya rusak. Pinggangnya terkilir dan ia berpenyakit paru-paru. Song Gang berkeputusan untuk merantau keluar dari Kota Liu. Namun upayanya ini tidaklah terlalu berhasil.

Setahun ditinggal oleh Song Gang, Lin Hong akhirnya masuk dalam dekapan Li Gundul. Mereka berpacaran. Saat mereka sedang berdua di Shanghai, Song Gang pulang ke Kota Liu. Karena tidak menemukan Lin Hong, dan mendapatkan berita tentang perselingkuhan Lin Hong dengan Li Gundul, Song Gang memutuskan untuk bunuh diri dengan cara melindaskan diri ke kereta api.

Kematian Song Gang ini membuat hubungan antara Li Gundul dengan Lin Hong menjadi dingin. Li Gundul menjadi kehilangan gairah hidup. Li Gundul malah ikut tur ke angkasa luar dengan pesawat ruang angkasa milih Rusia.

Sementara Lin Hong, setelah ditinggal mati oleh Song Gang, mengurung diri di rumah baru yang dibelinya. Tak dinyana Lin Hong kahirnya berubah menjadi seorang pengusaha salon sekaligus mucikari.

Yu Hua dengan sangat detail menggambarkan kehidupan masyarakat sebuah kota kecamatan (Kota Liu) melalui tokoh-tokohnya. Ia menggambarkan bagaimana kehidupan antarpenduduk di kota kecil itu. Pekerjaan-pekerjaan apa yang menghidupi kota kecamatan kecil tersebut sebelum Revolusi Kebudayaan dan saat Revolusi Kebudayaan berjalan. Ia juga menggambarkan bagaimana kekacauan kehidupan sosial di kota kecil itu ketika doktrin Revolusi Kebudayaan mulai dijalankan. Orang-orang di Kota Liu sebenarnya tidak paham benar apa itu Revolusi Kebudayaan. Namun mereka ikut terbawa. Akibatnya kehidupan guyup menjadi rusak.

Yu Hua juga sangat piawai menggambarkan perubahan Kota Liu akibat dari berubahnya Kota Shanghai yang menjadi salah satu pusat ekonomi kebijakan Pintu Terbuka. Bagaimana konsumerisme melanda kota kecil ini. Betapa orang-orang yang dulu hidup dengan kondisi ekonomi yang berimbang, tiba-tiba terbelah menjadi orang-orang yang sangat kaya dan orang-orang yang sangat miskin karena nasip.

Seperti di novel pendeknya “Hidup,” Yu Hua membungkus tragedi kehidupan orang-orang di Kota Liu akibat dari kebijakan negara dengan komedi. Ia mengekploitasi cara hidup orang China di kota kecil pada umumnya sebagai sebuah cerita penuh kelucuan padahal tragis.

Dalam dua novelnya, Yu Hua tidak berfokus kepada persoalan ideologi atau politik. Ia menceritakan tentang kemanusiaan. Kehidupan masusia yang tragis tapi penuh kelucuan. Hidup manusia bisa berubah sama sekali. Li Gundul yang masa kecilnya berantakan bisa menjadi seorang pengusaha sukses. Lin Hong seorang gadis pemalu dan istri yang setia bisa menjadi seorang mucikari. Perubahan sosial yang radikal memang akan membawa pemenang-pemenang dan para pecundang. Dan nasiplah yang memilih siapa yang akan menjadi pemenang dan siapa yang akan menjadi pecundang.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler