x

Iklan

Aditya Harlan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Belajar dari Kebohongan dan Pentingya Keteladanan

Belajar dan ambil pelajaran dari peristiwa keniscayaan yang sulit dipercaya publik, berikut pelajaran yang bisa diambil. (baca full tulisan ini)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Melalui akun Facebooknya, Swary Utami Dewi yang merupakan salah satu lulusan pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta  berhasil menggeparkan masyarakat Indonesia.  Postingan yang diunggahnya adalah foto salah satu tokoh aktivis nasional, Ratna Sarumpaet (RS) dengan wajah bengkak disertai perban di dahi dan mata yang tak sepenuhnya terbuka lebar. Dalam unggahan tersebut, Sambil menyelipkan narasi "Apakah karena berbeda maka seseorang berhak dipukuli? Simpatiku buat Ratna Sarumpaet. Katakan tidak untuk segala bentuk kekerasan. #2019tetapwaras." Namun hingga tulisan ini dibuat, konten tersebut sudah tidak dapat diakses dan dihapus oleh pemilik akun.

Dalam waktu sekejap, postingan tersebut langsung diteruskan oleh banyak orang dan menjadi viral. Tak hanya demikian, narasi yang ditulisnyapun  juga memicu berbagai spekulasi. Banyak yang mempertanyakan dari mana asal sumber pertamanya? Akan tetapi tersebarnya skenario ini meberikan keyakinan, bahwa apa yang dialami oleh RS disebabkan adanya penyerangan oleh orang tidak dikenal (OTK) seusai menghadiri acara konferensi internasional di sebuah hotel di Bandung pada 21 September 2018 lalu. Tuturan kronologi tentang ‘pengeroyokan’ yang telah tersusun rapi menjadi headline hampir di semua media online dan media massa nasional. Munculnya berbagai ‘ekspresi empati’ yang sangat bervariasi disampaikan oleh berbagai kalangan, khususnya dari orang-orang yang mengaku sebagai kawan. Tanggapan-tanggapan itu juga dipanasi dengan memberikan kutukan terhadap pelaku pengeroyokan, yang pada saat itu belum ditemukan dan dibuktikan keberadaan serta kebenarannya. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon, melalui akun twitternya mengatakan, “Jahat dan biadab sekali”.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kegegeran itu terus berlanjut dan semakin menegangkan, dimana kubu pengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tidak hanya terkesan kebakaran jenggot, namun telah terbakar emosi dari ujung kepala hingga ujung kaki. Melihat keadaan sang juru kampanye Badan Pemenangan Nasional (BPN) nya. Namun, tak tanggung-tanggung, Prabowo yang didampingi Sandiaga dan Amien Rais, beserta para tokoh pendukungnya, langsung menggelar konferensi pers untuk membela tim andalannya dengan mengatakan bahwa tindakan itu sebagai bentuk pelanggaran HAM.

Serang menyerang opini semakin riuh dan ramai. Pendapat masyarakat pun terpecah belah, ada yang mengafirmasi, ada pula yang memandang itu sebagai sebuah anomali. Perbedaan pendapat itu tidak dapat dipersalahkan ataupun dipersoalkan sebagai sebuah konsekuensi dari nilai demokrasi. Namun, yang menjadi masalah apabila penyampaian argumentasi itu tidak disertai dengan fakta, data, realita atau bukti yang akurat dan pasti. Tuntutan Prabowo dan kawan-kawan tentang kabar pengeroyokan, ternyata mendapatkan kepastian jawaban yang cepat dari pihak Kepolisian. Pada 3 Oktober 2018, Polisi berhasil membuktikan kebenaran melalui hasil penyelidikan mendalam bahwa berita yang selama ini beredar tentang pengeroyokan RS adalah kebohongan. Mulai dari asal usul penyebab dan kronologi kejadiannya dapat dipastikan sebagai buatan semata. Setiap karangan kronologi yang diceritakan berhasil dipatahkan dengan jelas dan gamblang oleh kerja cepat Polda Jawa Barat.

Tak lama setelah rilis pembuktian hasil penyelidikan oleh Kepolisian, RS juga memberikan pengakuan bahwa tidak ada penganiayaan apapun terhadap dirinya. Ia juga mengonfirmasi kabar yang beredar selama ini hanyalah sebuah cerita khayal belaka, yang entah diberikan dari setan mana kepadanya. Sebagian besar masyarakat yang tadinya menghujat siapapun pelaku di balik tuduhan tindak keji itu, langsung berubah 180 derajat, melaknat pencipta hoax, beserta ‘kroni-kroninya’ yang diklaim berdampak dahsyat. Sikap masyarakat ini datang bukan tanpa sebab. Pasalnya, kebohongan yang akhirnya terbongkar itu, mendapat dukungan oleh Prabowo-Sandi dan tim pemenangannya. Setelah kejadian ‘memalukan’ itu, banyak pengagum dan pendukung (di luar tim struktural)-nya menyayangkan sikap Prabowo dan timnya yang terlalu cepat menyimpulkan tanpa memastikan nilai kebenaran sebuah informasi.

Kondisi itu yang kemudian memunculkan berbagai tafsir terhadap ulah kebohongan RS, khususnya di tengah momentum Pilpres 2019 ini yang diperkuat dengan posisi jabatan strategisnya pada tim Prabowo-Sandi. Banyak yang menilai adanya kemungkinan unsur kesengajaan dalam memanfaat kebohongan sebagai strategi pemenangan. Biasanya dalam konteks peperangan atau perebutan kekuasaan, strategi itu dikenal dengan istilah “playing victim”. Meskipun Prabowo mengakui kesalahan kemarin murni berasal dari dirinya yang terjebak dalam kebodohan, tetapi apabila melihat sepak terjang dan catatan latar belakangnya, termasuk belajar dari pengalaman, masyarakat juga tak sepenuhnya menaruh kepercayaan agar tidak terbodohi untuk kedua kalinya. Tak sedikit yang menuduh Prabowo memang sengaja memanfaatkan ‘cerita khayalan seorang korban pengeroyokan’, yang pada saat itu masih aktif menjabat pada tim inti pemenangan sebagai senjata untuk menjatuhkan lawan. Penilaian mereka tentu berasal dari hasil refresh dan flashback, atau bentuk pencermatan ulang yang penuh perasaan terhadap pernyataan dan tanggapan Prabowo-Sandi dan timnya yang penuh nuansa kepentingan dan akhirnya berdampak pada kegaduhan. Hal itu kemudian mendorong tim lawan yang merasa dirugikan untuk langsung melaporkan 17 nama orang kepada pihak Kepolisian. Orang-orang tersebut diklaim menyebabkan adanya kerugian immaterial sebagai dampak dari pernyataan-pernyataan yang mereka lontarkan, baik secara langsung maupun melalui media sosial. Masih terkait kebohongan RS, Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf juga telah melapor kepada Bawaslu tentang adanya dugaan pelanggaran  terhadap kesepakatan kampanye damai dan anti­-hoax.

Terlepas dari bagaimana tafsir dan penilaian publik terhadap maraknya kasus kebohongan, khususnya yang berdampak pada kekacauan dan kegaduhan, merupakan pelajaran yang sangat berharga agar tidak terus terulang di masa mendatang. Segala peristiwa yang terjadi saat ini harus selalu bisa menjadi refleksi, terlebih lagi bagi siapapun yang akan mengawaki negeri ini. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pemimpin sudah seyogya patut menjadi pedoman dan teladan bagi rakyatnya untuk menjalani kehidupan. Cara bersikap, berucap, dan bertindak tentu akan selalu diperhatikan dan diberikan penilaian. Seorang pemimpin seharusnya tetap tenang, sabar dan tidak terburu-buru untuk memberikan suatu kesimpulan. Dari sebuah kesimpulan mungkin akan keluar sebagai kebijakan, oleh karenanya harus berdasarkan pertimbangan dan perhitungan yang berdasarkan fakta dan data valid di lapangan. Menjadi harapan dan doa bangsa Indonesia, agar kita selalu diberikan keberkahan untuk memiliki pemimpin yang bisa menjadi teladan bagi semua kalangan. Aamiin.

Ikuti tulisan menarik Aditya Harlan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler