x

Iklan

Luhur Pambudi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Reauma Lombok, Rasa Takut Palu dan Kehilangan Donggala Bagian Dua

TRAUMA LOMBOK, RASA TAKUT PALU & KEHILANGAN DONGGALA, BERSUSULAN ENTAH SAMPAI KAPAN? (2)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Pemandu Sorak Keji, Mengumpat Bencana Sebagai Hukuman Bagi Si Korban

Sangat disayangkan, munculnya bencana maha dahsyat yang membuat muram seisi dunia, harus disambut dengan cara pandang kritis dalam benak kita yang menganggap itu sebagai hukuman. Beberapa milis atau pesan yang berkelebatan di jagad maya media sosial kita, tak sedikit anasir-anasir dari pikiran orang lain atau ormas di negeri ini menganggap bencana yang terjadi di Palu, Sigi dan Donggala sebagai hukuman dari Tuhan atas kemaksiatan, kekafiran, kekufuran, kemusrikan yang dilakukan para warganya.

Yang menarik untuk ditanyakan; apa yang membuat pikiran dalam psikologis kita menjadi begitu sadis, menyebut bencana yang menimpa saudara-saudara kita di Sulawesi Tengah sebagai hukuman atas perilaku buruk manusia yang tinggal disana. Pernahkah kita sadari bahwa persepsi yang berbuah menjadi prasangka, setelah dikenai hasrat untuk menyalahkan dan menganggap buruk suatu objek tanpa didahului pengetahuan, informasi dan data yang lengkap mengenainya, bisa menjadi sebuah kesadisan terhadap orang lain.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mungkin bisa mulai kita lacak dari mana jejak logika kemunculan sadisme kita dalam memaknai bencana yang melukai saudara kita di sana.

Apa yang membuat bencana, atau suatu fenomena alam semesta yang kebetulan bercorak merusak dan mematikan, kerap diasosiasikan sebagai suatu jenis kategori konsep punishment, pembalasan dan kemurkaan, atas perilaku yang dianggap buruk. Biasanya dibungkus oleh argumen, “Tuhan sedang marah, benci dan geram atas perilaku manusia”, maka bencana adalah satu-satunya instrumen penghukuman Tuhan untuk manusia.

Bagaimana manusia bisa mengasosiasikan hukuman Tuhan atas dosa-dosa manusia? Penjelasan psikologinya sebagai berikut. Pikiranamanusia dibentuk oleh pengalaman, yang bersumber dari konstruksi lingkungan dimana manusia tinggal dan menemukan makna kehidupan. Selama ini dapat diduga lingkungan membentuk pengetahuan dalam pikiran manusia bahwa sesuatu hal yang berkarakteristik mematikan, menyeramkan, dan menakutkan; Pertama cenderung disebabkan oleh suatu hal buruk atau negatif. Kedua, cenderung ditolak, dihindari, dan patut disingkirkan. Penjelasan itu bertumpu pada prinsip dasar sifat manusia Freudian yang menjelaskan pembentukan perilaku manusia cenderung pada pemenuhan kepuasan dan rasa senang dalam kehidupan. Cukup jelas, bilamana sebuah kejadian atau fenomena menimpa manusia dengan karakteristik mematikan, menyeramkan atau menakutkan seperti bencana, dengan dinamika psikologi yang telah dipaparkan sebelumnya, manusia akan mengasosiasikan bencana tersebut adalah “akibat dari” perilaku yang dianggap buruk.

Belum lagi kita bertanya dengan pertanyaan eksistensial;  bagaimana kita bisa tahu manusia si A, si B, si C tengah berdosa dan patut untuk mendapat balasannya?

Makna hukuman menjadi asosiasi paling lazim dan lumrah saat membaca teks tentang bencana. Disadari atau tidak, hal ini menjadi salah satu bentuk logosentrisme kita dalam memaknai realitas kehidupan sehari-hari. Yang artinya; setiap ada bencana, selalu mengandalkan satu tafsir semata yakni menganggap itu sebagai hukuman atas perbuatan buruk mereka yang menjadi korban. Pertanyaannya adalah pernahkah ada suatu cara berfikir alternatif yang lebih positif, agar tidak sampai melukai hati mereka yang kita duga sebagai “orang berdosa yang dihukum Tuhan”.  Dari sini, pernahkah kita sadari, dugaan-dugaan semacam itu berpotensi menyayat sekaligus menambah perih dihati mereka? Bila memang isi pikiran kita memang sejak awal berwatak busuk; intoleran, sadis, rasis, antipati, pamrih, keji, suudzon, keras (entah akibat dari cara belajar keliru, lingkungan yang tak sehat atau gagal paham saat membaca teks-teks kitab, lantas membuat tanpa sadar menjadi ringan tangan memukul & begitu lamis mulut menghardik, memfitnah, menuduh kafir, sesat, musyrik) bahkan pada saudara kita yang terluka, terlunta-lunta dan lapar di Palu, Sigi, Donggala.

Paling tidak, ada semacam kesadaran untuk meraba batas cara berfikir, sikap dan perilaku kita untuk membedakan; mana yang seharusnya “harus” disampaikan karena blablablabla, mana yang “jangan” diungkapkan karena blablablabla, mana yang “boleh” dilakukan karena blablablabla, dan mana yang “terserah” bila mau melakukan asalkan blablablabla. Sepertinya akan menjadi sulit melakukannya bila sekedar mengandalkan nalar akal semata, kita butuh bantuan kelembutan batin.

Atas pertimbangan yang pelik melibatkan pertimbangan hati untuk menguji logika berfikir yang gak logis, semoga muncul suatu pemaknaan baru yang menganggap bencana tidak lebih dari salah satu rahman-rahim atau cara Tuhan memberikan edukasi secara langsung untuk memfasilitasi tercapainya kualitas hidup manusia yang lebih positif, murni dan bersih sebagai hamba-Nya. Dengan suatu konsep, bahwa bencana, bisa diartikan sebagai ujian bagi mereka manusia-manusia yang keimannya ingin naik kelas, menuju kelas pendidikan tertinggi, agar manusia  tak lagi berjarak dengan Tuhannya.

Dari situ, coba bandingkan, cara berfikir mana yang lebih menggugah; antara bencana ditafsirkan sebagai ujian kenaikan kelas keimanan manusia, atau bencana dianggap sebagai hukuman karena manusia selalu lalai, lalai dan lalai. Sepertinya kita butuh dekonstruksi makna yang cukup keras, bila perlu habis -habisan dalam berfikir. Agar tak semata-mata mengandalkan satu jenis pemaknaan saja dalam menafsirkan realitas yang begitu beragam. Bukan cuma sekedar untuk memahami bencana hari ini. Kita tak yakin, apakah kita bisa menemukan moderatisme dan pluralistik pemikiran dalam membaca kompleksitas kehidupan lainnya.

Sudah seharusnya kita berhenti memaknai bencana yang terjadi di bumi nusantara ini sebagai “akibat”. Entah akibat perlaku buruk, maksiat, atau rentetan patologi sosial dan psikologi abnormal yang menjangkit diri kita. Jika pada akhirnya,pemaknaan jenis ini hanya berbuah prasangka tak berdasar, fitnah-fitnah keji dan anggapan-anggapan sadis pada sesama saudara kita yang menjadi korban bencana. Kini kita mulai mengangap dan memaknai bencana adalah “sebab”. Sebab yang membuat kita makin mawas diri, makin peduli sesama, makin mampu menahan emosi, makin sadar tidak mencuri hak orang lain, semakin sadar pentingnya perdamaian, semakin erat hubungan dengan tetangga, semakin mendekat kepadaNya bukan sekedar ingat semata-mata.

Penjelasan lain tentang mengapa muncul sifat sadis pada diri kita? Dalam konsteks bencana di Palu, Sigi dan Dongkala, tidak terlalu mengherankan mengapa kita cenderung memaknai  bencana gempa dana tsunami tersebut dengan begitu sadis, sebagai hukuman, yang dibalut argumen bahwa bencana itu adalah akibat dari perilaku buruk negatif atau dosa-dosa yang patut mendapat balasan setimpal dari Tuhan. Karena cara pandang sadis itu sebenarnya cerminan mekanisme pertahanan diri manusia yang cenderung menolak hal yang dianggap mengancam mematikan dan tak mengenakkan yang sedang menimpa dirinya. Mengingat kita bukanlah korban yang merasakan dampak langsung dari bencana, kita cenderung mencari sebuah kosakata yang agak reaksioner (sebagai cerminan emosi diri kita terhadap besarnya bencana, betapa mirisnya, betapa mengagetkan kita, dan betapa banyaknya jumlah korban jiwa), yakni memilih kosakata hukuman. Bahwa bencana adalah hukuman Tuhan atas hal buruk yang korban pernah lakukan.

Kendati pertanyaan diawal masih menyita rasa geram kita, bagi mereka yang masih menganggap “bencana adalah hukuman bagi si korban”. Sepertinya kita butuh alternatif berfikir baru yang lebih positif dan membangun. Tak sekedar menyalahkan saja.

Dari sini kita tiba pada garis tengah meridian, dimana kedua kutub saling berseberangan. Membuat tak lantas kita menghujat si tersangka, atau terlalu getol membela si korban. Toh, tak sedikit pula manifestasi rasa empati dan simpati yang mereka ekspresikan pada para korban, entah sebagai formalitas abang-abang lambe belaka; karena tak enak rasanya, tak ikut berbelasungkawa atas bencana skala internasional ini. Atau karena murni iba. Jika memang demikian, kita patut curiga, sepertinya ada yang ganjil dari sikap simpati dan empati yang mereka tampakan.

Ikuti tulisan menarik Luhur Pambudi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu