x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hikajat Tanah Hindia

Paparan sejarahwan Belanda tentang sejarah Hindia (Belanda) sampai dengan tahun 1840-an.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Hikajat Tanah Hidnia

Penulis: G. J. F. Biegman

Penterjemah: Koesalah Soebagyo Toer

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun Terbit: 1894

Penerbit: Pertjitakan Geobernemen                                                                        

Tebal: 123

ISBN:

Narasi sejarah sering mengikuti rezim yang berkuasa. Itulah sebabnya sangat penting untuk mencari “kebenaran sejarah” kita perlu membandingkan karya-karya dari rezim yang berbeda. Demikian pun sejarah sering ditulis berdasarkan persepsi golongan penulisnya. Itulah sebabnya Kartono Kartodirjo berkeluh kesah tentang sejarah Indonesia yang ditulis dengan cara pikir barat.

Buku “Hikajat Hindia Belanda” ini ditulis pada jaman Belanda berkuasa di Hindia Belanda. Penulisnya adalah seorang cendekiawan berkebangsanaan Belanda. Itulah sebabnya karya ini sangat diwarnai oleh perspektif Belanda sebagai penguasa pada saat itu.

Menelusuri kisah-kisah yang dibabar dalam buku ini kita bisa tahu bagaimana persepsi Belanda tentang peristiwa-peristiwa sejarah di Hindia Belanda. Kita juga bisa faham pengetahuan sejarah yang ada pada saat buku tersebut ditulis. Tentu saja banyak intepretasi yang sudah out-of-date karena temuan-temuan fakta baru.

Di pasal 1 diceritakan tentang penduduk Hindia yang disebut sebagai orang Melayu yang mendapatkan kepandaian dari orang Hindu. Pandangan ini sekarang sudah banyak berubah, karena banyaknya temuan-temuan baru.

Di bab II banyak sejarah yang disusun berdasarkan hikayat atau cerita rakyat. Seperti Majapahit yang didirikan oleh Raden Tanduran dari Pajajaran (hal. 9). Penulis buku ini menyampaikan cerita rakyat atau hikayat sebagai bagian dari sejarah masa lalu Hindia Belanda. Ia mengutip cerita Aji Saka, kisah Kerajaan Medang sampai Daha-Kediri, cerita Panji dan akhirnya Majapahit. Biegman juga menyinggung secara singkat bentuk tata pemerintahan Majapahit dan sistem imbalan kepada raja dan bupati yang menjadi bagian dari kemaharajaan Majapahit. Para raja, bupati dan pegawai kerajaan Majapahit tidak digaji, tetapi dianugerahi tanah garapan oleh Maharaja. Buku ini juga menjelaskan wilayah-wilayah yang menjadi taklukan Majapahit.

Penjelasan tentang era Islam sudah lumayan akurat. Bab III berkisah tentang kerajaan-kerajaan Islam, khususnya Aceh. Mulamula kerajaan Islam muncul di wilayah ujung utara Sumatra dan daerah Malaka. Di Pulau Perca sudah ada raja yang adalah keturunan Arab pada tahun 1354. Aceh, Deli, Minangkabau dan lain-lain sudah menjadi kerajaan Islam pada abad 16. Biegman juga menyampaikan bahwa Islam sudah ada di era Majapahit. Hal itu dibuktikan dengan adanya makan Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang wafat pada tanggal 8 April 1419 (hal 13).

Sedangkan kerajaan Islam di Jawa dimulai dari era Demak yang mengalahkan Majapahit. Diceritakan juga Raden Rahmad yang bergelar Sunan Ampel dan Raden Paku yang bertahta di Gresik yang bergelar Sunan Giri sampai munculnya Demak melalui Raden Patah. Raden Patah adalah keturunan dari Brawijaya. Yang menarik dari buku ini, para penguasa yang sudah masuk Islam banyak yang ingin melepaskan kekuasaan dari Majapahit. Tetapi para penguasa di daerah ini berhasil dikalahkan oleh Majapahit. Cerita seperti ini tidak pernah saya temukan dalam buku-buku sejarah modern. Barulah saat Raden Patah yang didukung oleh para Wali memberontak kepada Majapahit, Majapahit bisa dikalahkan. Informasi lainnya yang menarik adalah baru di era Sultan Tranggono Islam dijadikan agama negara (hal. 16). Tranggono juga mulai memusuhi orang-orang Hindu di Jawa untuk menyebarkan agama Islam. Itulah sebabnya banyak orang Hindu yang meninggalkan Jawa dan menuju ke Bali.

Biegman mengatakan bahwa tanah Mataram dikaruniakan oleh Sultan Pajang kepada Ki Ageng Pemanahan. Jadi Ki Ageng Pemanahanlah yang menjadi penguasa Mataram pertama. Sedangkan Sutawijaya atau kemudian lebih dikenal dengan Panembahan Senopati adalah pengganti dari Ki Ageng Pemanahan ayahnya. Sutowijoyo kemudian menjadi lebih kuat daripada Sultan Pajang. Sutowijoyo menahan dan meracun Sultan Pajang sampai menemui ajalnya (hal. 18). Selanjutnya Panembahan Senopati berhasil menguasai Jawa kecuali Banten dan Blambangan.

Selain berkisah tentang Kerajaan Mataram, Biegman juga menjelaskan tentang tokoh-tokoh Islam lain yang mengembangkan agama Islam dan membangun kerajaan-kerajaan. Diantaranya adalah Sjech Noerroe’ddin Ibrahim bin Maulana Israel. Sjech Noeroe'ddin Ibrahim bin Maulana Israel atau Soenan Djati sapandjang nama tempat kadoedoekannja, jaitoe boekit Djati dekat Tjerebon (hal. 13).

Kedatangan Portugis ke Nusantara ditandai dengan ditaklukkannya Malaka. Karena Kerajaan Demak sudah lebih dahulu berniaga di Malaka, maka Adipati Unus mengirimkan tentaranya untuk berperang dengan Portugis di Malaka (hal. 20). Selanjutnya mereka berdagang dengan orang-orang Maluku. Portugis berhasil membangun benteng di Ternate atas permintaan Sultan Ternate. Baru kemudian menjadikan Makassar sebagai pusat perniagaannya. Demikian pun dengan Banten yang menghasilkan banyak lada. Namun Portugis gagal menguasai Aceh.

Setelah Portugis, Spanyol juga datang ke tanah Hindia. Spanyol diterima oleh Sultan Tidore. Portugis marah kepada orang Spanyol. Pada saat yang sama, raja-raja Maluku dan rakyatnya mulai membenci orang Portugis yang bengis. Mereka membunuhi orang-orang Portugis.

Di Bab V, Biegman membahas tentang kejayaan Banten. Paparan tentang Kota Banten dan istananya serta kondisi sungainya yang jorok digambarkan dengan cukup detail dalam buku ini (hal. 26). Digambarkannya betapa kontrasnya orang-orang Banten yang miskin dengan orang orang yang kaya. Orang miskin berbaju compang-camping sementara yang kaya ikat pinggangnya bertatah emas dan permata (hal. 27). Digambarkannya pula cara hidup sehari-hari orang-orang Banten.

Biegman juga menjelaskan perdagangan di pelabuhan Banten yang ramai dan memperdagangkan berbagai komoditas. Barang dagangan bukan hanya dari lokal tetapi juga dari China dan India (Hindustan), Jepang, Arab, Persia dan orang Portugis. Biegman bahkan menggambarkan bagaimana para perempuan penjual lada yang menjualnya kepada para pedagang China dengan sangat hidup.

Selain berdagang, orang-orang China menyewa tanah untuk bertaman lada. Karena banyak lahan yang ditanami lada, maka orang Banten sangat tergantung dari Jawa untuk beras. Jika kapal yang mengangkut beras dirampok di laut, maka orang Banten akan kelaparan. Biegman juga bercerita tentang adanya para jawara di wilayah Banten.

Sistem berdagang para kapal yang berlabuh di Banten dijelaskan dengan rinci dalam buku ini. Mula-mula kapal yang berlabuh harus menawarkan barang-barang dagangannya kepada Raja. Raja memiliki hak monopoli terhadap barang-barang yang dibawa oleh kapal tersebut. Selanjutnya barang yang tidak dibeli oleh Raja boleh diperdagangkan kepada pihak lain. Pajak yang dikenakan kepada kapal yang berlabuh dan barang dagangan menjadi hak Raja dan Syahbandar.

Raja memiliki angkatan perang di laut. Raja juga menjalankan hukum yang berlaku bagi kasus kriminalitas maupun perdata.

Dalam Bab VI, dibahas mengapa Belanda akhirnya berupaya untuk melakukan pelayaran sendiri ke pulau-pulau penghasil rempah-rempah. Pada mulanya Belanda adalah pedagang yang mramaikan Pelabuhan Lisabon. Namun setelah Lisabon menjadi wilayah Spanyol, maka Belanda berupaya mencari jalan sendiri ke pulau-pulau rempah. Sebab Spanyol memusuhi para pedagang Belanda yang berdagang di Lisabon. Akhirnya kapal yang dinahkodai oleh Cornelis de Houtman merapat di Banten.

Pada awalnya de Houtman diterima dengan baik untuk berdagang. Tetapi karena diadudomba oleh Portugis maka orang Banten menawan de Houtman. Setelah melakukan penebusan, maka de Houtman dan kawan-kawan dibebaskan. Karena merasa dirugikan maka kapal Belanda ini merampas dua kapal bermuatan lada dan melarikan diri menuju Jakarta. Setelah melayari pantai utara Jawa sampai ke Bali, kapal de Houtman tersebut kembali ke Belanda melalui pantai selatan Jawa. Meski pelayaran ini merugi, tetapi orang Belanda mengetahui jalur pelayaran ke tempat rempah-rempah. Dalam kisah ini sama sekali tidak dijelaskan bawa de Houtman terbunuh di Aceh oleh seorang perempuan bernama Keumalahayati.

Pelayaran inilah yang menginspirasi beberapa pengusaha mendidikan kongsi dagang bernama VOC pada tahun1602. Kongsi dagang ini mendapatkan support dari pemerintah Belanda, yaitu monopoli pelayaran ke tanh Hindia. Karena buku ini ditulis oleh orang Belanda di di masa Belanda, maka pandangan mereka terhadap VOC sangatlah positif. Tentang mengapa VOC melakukan peperangan dengan penguasa setempat, buku ini menyampaikan:

“Maka maksoed Kompani boekan menaaloekkan negeri, melainkan hendak berniaga sadja; akan tetapi Kompani atjap kali maoe ta maoe mentjampocri perkara negeri di tanah Hindia, sebab radja negeri itoe ada, jang bermoesoeh dengan Kompani, ada jang melanggar perdjandjian, ada jang merompak, ada jang menoeloeng moesoehnja.” (hal. 26)

 

Jelas sekali dalam kalimat di atas bahwa VOC masih dipandang sebagai sebuah perusahaan yang positif di mata pemerintah Hindia Belanda. Selain itu alasan yang disampaikan mengapa mereka melibatkan diri dengan penguasa-penguasa lokal adalah untuk memerangi Portugis.

Peperangan yang sporadis di berbagai tempat ini membuat VOC menempatkan seorang penguasa di Hindia Belanda dengan pangkat Gubernur Jenderal.

Di Bab VII Biegman memaparkan Gubernur Jenderal yang berperan sangat penting bagi tegaknya kolonisasi Belanda di Indonesia. Gubernur Jenderal tersebut adalah Jan Pieterszoon Koen (JPK). JPK awalnya bertugas di Maluku, kemudian dipindahkan ke Jakarta. JPK adalah seorang yang paham perniagaan dan teguh dalam pendirian. Ketika Belanda tidak terlalu diterima di Banten, ia mengirim utusan kepada Sultan Agung supaya bisa mendirikan loji di Jepara. Namun hubungan Belanda dengan Mataram tidaklah berlangsung lama. Saat Belanda sedang menghadapi Banten, Raja Jakarta dan Inggris, loji yang ada di Jepara justru diserang oleh Sultan Agung dan hartanya dirampasi.

Peperangan dengan Inggris semakin menghebat. JPK kekurangan armada dan persenjataan. Akhirnya dia berlayar ke Ambon untuk mencari bantuan. Dengan bantuan kapal dan tantara dari Ambon, JPK mampu mengalahkan Jakarta dan Banten. Kemudian JPK mendirikan kota di wilayah Jakarta dan menamainya Batavia. Kekejaman JPK terhadap orang Banda yang sering mengingkari kerjasama dengan Belanda memuat dirinya pulang ke Belanda.

Belanda bersahabat dengan Sultan Agung Mataram. Namun Belanda tidak mau tunduk kepada aturan hukum Mataram. Itulah sebabnya Sultan Agung ingin sekali mengalahkan Belanda. Sultan Agung sukses mengalahkan banyak penguasa di Jawa Tengah dan jawa Timur, termasuk Surabaya dan Gresik pada tahun 1625. Kekalahan Susuhunan Gresik membuat Sultan Agung diberi gelar Susuhunan (hal. 44).

Pada tahun 1627 Sultan Agung mengirim dua kelompok tantara untuk mnyerang Batavia. Tentara pertama di bawah pimpinan Tumenggung Bau Rekso. Kelompok ini bisa dikalahkan oleh Belanda. Sedangkan kelompok kedua menyusul. Sebanyak 10.000 tentara di bawah pimpinan Tumenggung Sura ing Alaga juga dengan mudah dikalahkan, karena kebanyak tantara ini sampai di Batavia dalam kondisi sakit. Untuk menghindari tentaranya desersi, Tumenggung Sura ing Alaga memerintahkan membunuh 700 anak buahnya.

Tentang Hasanuddin, Biegman mengatakan bahwa Raja Goa ini tidak mau tunduk kepada Belanda. Hasanuddin bahkan membantu orang-orang Maluku yang durhaka kepada Belanda. Hasanuddin juga memerangi Sultan Buton yang bersahabat dengan Belanda. Penyerangan Belanda terhadap Sultan Goa juga disebabkan Hasanuddin berupaya menjalin persekutuan dengan Sultan Agung di Jawa (hal. 47). Hasanuddin akhirnya takluk kepada Belanda (Speelman) pada tahun 1667. Kisah ini tentu berbeda dengan sejarah yang kita kenal, dimana Hasanuddin berseteru dengan Arung Palakka Raja Bone. Arung Palakka kemudian meminta bantuan Belanda untuk melawan Hasanuddin. Dalam buku ini Arung Palakka justru membantu Belanda, bukan meminta bantuan Belanda.

Sedangkan perdamaian Mataram dengan Belanda diawali dengan permintaan Amangkurat I untuk menumpas pemberontakan Truno Joyo yang bekerja sama dengan Kraeng Galesong dan Bonto Burane. Pemberontakan Truno Joyo ini berakibat pada kematian Amangkurat I karena melarikan diri dari Keraton saat umurnya sudah tua. Pangeran Alit, putra Amangkurat I meminta bantuan Belanda untuk memerangi Truno Joyo yang didukung oleh mertuanya Pangeran Kajoran. Akhirnya Pangeran Alit bisa kembali menjadi raja Mataram dan bergelar Amangkurat II. Mataram harus membayar biaya perang kepada Belanda dengan menyerahkan bandar-bandar laut dan beberapa wilayah di pantai utara Jawa. Sejak itulah Mataram pindah ke Kartasura.

Di saat Belanda sendag sibuk berperang dengan Truno Joyo, Sultan Ageng Tirtayasa – gelar Tirtayasa disandangnya karena beliau mengupayakan sodetan/terowongan antara Ciujung ke Cidurian, melakukan konsolidasi untuk memerangi Belanda, khususnya di Jakarta. Sultan Ageng Tirtayasa berhasil mengkonsolidasikan beberapa kesultanan yang membenci Belanda dan juga beberapa perwakilan Eropa, seperti Inggris, Perancis, Portugis dan Denmark (hal 59). Namun upayanya ini kurang memberi hasil karena konfliknya dengan Sultan Haji, yang adalah anaknya. Sultan Haji meminta bantuan Belanda untuk memerangi ayahnya sendiri. Sultan Haji kemudian menjadi Sultan Banten dengan menyerahkan Cirebon dan monopoli perdagangan lada di pelabuhan Banten kepada Belanda.

Di Bab XI diceritakan pemberontakan Untung Surapati dan gejolak suksesi di Keraton Kartasura, sampai akhirnya Paku Buwono dirajakan oleh Belanda pada tahun 1704.

Tentang pemberontakan orang Cina, Biegman menyampaikan bahwa Belanda curiga orang-orang Cina akan memberontak. Padahal yang ssesungguhnya adalah banyak orang Cina miskin yang melakukan kriminalitas di luar Jakarta. Belanda melakukan pemeriksaan rumah-rumah orang Cina di Jakarta. Valckenier memerintahkan untuk mengusir orang-orang Cina dari dalam kota. Kebakaran dan penjarahan rumah-rumah orang Cina terjadi dan meluas. Terjadilah pembantaian orang Cina. Dalam buku ini disampaikan lebih dari 10.000 orang Cina terbunuh. Biegman juga menyatakan bahwa Valckenier adalah orang jahat (hal. 72). Orang-orang Cina ini kemudian bergerak ke arah timur, bersekutu dengan tantara Mataram dan menyerang pantai utara Jawa. Dengan dukungan Sunan Paku Buwono, laskar Cina ini bisa menguasai banyak wilayah di pantai utara Jawa. Namun karena kekalahan laskar Cina di Semarang oleh Kumpeni, maka Paku Buwono berbalik arah memerangi Laskar Cina. Akibatnya Laskar Cina membakar Keraton Kartasura dan mendudukkan Mas Garendi menjadi raja Mataram dengan gelas Sunan Kuning. Terbakarnya Keraton Kartasura ini membuat keraton pindah ke Surakarta pada tahun 1744. Kembalinya Paku Buwono menjadi Sunan harus dibayar dengan hak Belanda untuk ikut serta dalam proses pengangkatan bupati, Madura, Surabaya, Rembang, Jepara dan Pasuruhan menjadi milik Belanda.

Buku ini memuat sebuah hal yang menarik. Pada saat Paku Buwono II sakit-sakitan, beliau menyerahkan tahta Matarm kepada Belanda. Sebab ia menganggap anaknya telah durhaka kepadanya (hal. 75). Kejadian ini bersamaan dengan pemberontakan Mangkubumi dan raden Mas Said. Akhirnya Mataram harus dipecah menjadi dua kerajaan setelah Mangkubumi berdamai dengan Belanda. Mangkubumi mendapatkan wilayah selatan Kerajaan Mataram. Perdamaian Paku Buwono III dengan Mangubumi ini membuat Raden Mas Said juga menyerah. Raden Mas Said diberikan wilayah yang sekarang disebut sebagai Mangkunegaran.

Kebangkrutan Kompeni disebabkan oleh praktik korupsi oleh para pejabatnya dan biaya bunga yang sangat tinggi. Para pejabat kompeni yang di Hindia Belanda mengumpulkan kekayaan dengan cara yang tiada patut (hal. 78), sedangkan bunga untuk membayar saham untuk mencegah penarikan saham tidak realistis (hal. 79). Situasi ini diperparah dengan perang Eropa (Napoleon). Perang ini mengakibatkan banyak kapal kompeni yang dirampas oleh musuh. Akibatnya Kompeni (VOC) dinyatakan bangkrut pada tahun 1800, dan perannya diambil alih oleh negara (Belanda).

Pada tahun 1808, Belanda saat itu menjadi provinsi Perancis, dikirimlah seorang Gubernur Jenderal Deandels. Tujuan kedatangan Deandels adalah untuk memperbaiki keadaan Hindia Belanda. Ia melakukan konsolidasi dengan membangun infrastruktur, diantaranya pelabuhan Banten dan Jalan Raya Pos. Ia menaklukkan Kesultanan Banten, mengkonsolidasi kekuasaan di Jogja dan Surakarta. Ia juga menerapkan sistem tanam paksa. Deandels melakukan pencegahan korupsi dengan menaikkan gaji para amtenar (pegawai) dan menegakkan hukum (hal. 84). Deandels hanya 3 tahun berada di Jawa. Ia digantikan oleh Janssens.

Janssens tidak bisa bertahan dari Inggris, maka Hindia Belanda jatuh ke tangan Inggris. Raffles yang diberi kuasa oleh Inggris untuk memerintah Hindia Belanda segera melakukan konsolidasi kekuasaan. Ia menurunkan Sultan Sepuh (HB II) dan mengembalikan posisi HB III sebagai raja di Jogja. Ia membagi keraton Jogja menjadi dua. Ia mengangkat Pangeran Noto Kusumo menjadi Paku Alam. Ia menguasai Surakarta, Banten dan Cirebon. Raffles juga melakukan penaklukan melalui peperangan kepada Palembang, Bone dan Sambas.

Salah satu kebijakan Raffles yang membantu rakyat kecil adalah kebijakan tentang pajak tanah. Jika sebelumnya pajak tanah dibayar oleh desa, dimana kepala desa bisa memeras rakyatnya, maka di era Raffles pajak tanah dibuat sesuai ukuran lahan yang dikerjakan oleh masing-masing keluarga (hal. 89). Raffles juga melarang perdagangan budak antarpulau.

Seiring dengan selesainya Perang Eropa, Hindia Belanda kembali ke tangan Belanda. Raffles masih bercokol di Bengkulu dan akhirnya mendapatkan Singapura yang dibangunnya menjadi sebuah kota yang ramai.

Kehadiran Belanda di Sumatra Barat diawali dengan bantuan militer yang diberikan kepada Kerajaan Minagkabau yang berperang melawan Aceh. Mereka berebut pantai barat.

Perang Paderi diawali dengan kepulangan 3 orang Minagkabau yang berhaji dan belajar paham yang diajarkan oleh Abdul Wahab (paham Wahabi). Haji Miskin berupaya untuk membawa ajaran ini ke Tanah Minang. Bersama dengan Tuanku Nan Renceh dan Harimau nan Salapan (delapan orang) mulai menyebarkan paham baru ini. Mereka mengkafirkan siapa saja yang tidak sepaham (hal. 93). Kelompok ini melakukan penyebaran paham dengan sangat bengis (hal. 94). Maka Belanda diminta untuk membantu Kerajaan Pagarruyung melawan Belanda.

Buku ini juga mengisahkan Perang Palembang dan Perang Jawa (Diponegoro). Informasi yang disampaikan tentang Perang Palembang, Perang Bali, Perang Banjarmasin, Perang Aceh dan Perang Diponegoro tidak berbeda yang sudah dibahas di buku lain yang terbit lebih kemudian. Hanya yang sekarang kita sebut sebagai pahlawan, oleh Biegman disebut sebagai pengacau.

Informasi yang tidak banyak dibahas dalam sejarah kita adalah tentang pemberontakan orang Cina di Montredo, Kalimantan Barat. Buku ini secara khusus membahas peristiwa ini (hal. 104-105).

Setelah pemberontakan mereda, Belanda mulai membangun persekolahan, pemberantasan penyakit cacar dan pengembangan pertanian. Program pembangunan ini diklaim oleh Biegman telah mampu menyejahterakan rakyat Hindia Belanda.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler