x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: Cara Menjemput Takdir Kita

Bagi para eksekutif dan leader yang berani bertransformasi menjadi warrior dan the storm, takdir harus dijemput

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

#Leadership Growth: “I am the Storm.” Are you?

 

Mohamad Cholid

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Practicing Certified Executive and Leadership Coach

 

Fate whispers to the warrior, “'You cannot withstand the storm.”

The warrior whispers back, “I am the storm.

 

Itu komunikasi antara pengantar pesan dengan Ethan Hunt, yang meneguhkan identitasnya sebagai the storm untuk layak menjalankan misi mengamankan dunia dari ancaman bom plutonium -- Fallout, film terbaru serial Mission Impossible.

Dialog tersebut menggambarkan tarik menarik antara apa itu takdir dan free will.

Dalam lakon Macbeth, William Shakespeare, bisikan “takdir” ternyata muslihat para penyihir, menjerumuskan Macbeth menjadi penguasa bersimbah darah.

Untuk menghadapi tantangan pekerjaan dan profesi sekarang, kita tentu tidak perlu jadi the storm seperti Ethan Hunt (diperankan Tom Cruise). Namun, bukankah semangat sebagai the storm versi kita agar dapat menghadapi segala bentuk challenges and opportunity hari ini perlu terus kita hidupkan?

Bukankah yang sering disebut sebagai “takdir” dalam wacana antar manusia masih bisa berupa ilusi, bahkan dijadikan kambing hitam pula untuk menutupi kemalasan? Takdir itu ibarat sebongkah tanah liat basah, dengan doa dan upaya sungguh-sungguh, mengoptimalkan diri, kita diberi peluang oleh Tuhan ikut membentuknya, memperbaikinya – sampai entah kapan, sesuai kehendak-Nya.

Setiap tahap dari hidup yang kita jalani selalu ada peluang membentuk momentum agar diri kita menjadi the storm. Siap menghadapi tantangan apa pun, mampu melihat takdir sebagai proses, sesuai keteguhan sikap dan keimanan.

Hanya saja tahapan membangun momentum sering berupa hal-hal yang kurang kita sukai – bahkan tidak nenyenangkan untuk dikerjakan bagi sebagian orang yang lebih suka entertainment ketimbang edukasi. Karena counterintuitive.

Membangun momentum perbaikan atau “perubahan takdir” memerlukan disiplin berpikir, bersikap, dan action, keteraturan, struktur, serta keterbukaan pikiran.

Kita diberi kebebasan memilih. Dalam dunia nyata, sejarah perkembangan bangsa-bangsa adalah hasil interpretasi atas realitas zaman menurut perspektif para the storm, yang kemudian diwujudkan dalam tindakan, action, dan fokus.

Para founding father Indonesia, Bung Karno, Bung Hatta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Panglima Soedirman, Sjahrir, dan sederet tokoh hebat lainnya, masing-masing adalah para the storm. Mereka, dengan energi batin yang membadai (the storm) terbukti sukses menaklukkan kekuatan kolonialis yang didukung persenjataan lengkap, artileri darat, pesawat tempur, dan kapal perang.

Presiden John F. Kennedy adalah the storm. Di tengah tekanan politik dalam negeri dan luar negeri yang demikian keras, antara lain akibat kegagalan yang memalukan di Bay of Pig, JFK tetap memiliki clarity untuk mengajak bangsanya membangun prestasi, mengubah sejarah.

Di hadapan joint session Congress 25 Mei 1961, JFK mencanangkan “land a man on the moon and return him safely to the earth before this decade is out.” Lebih dari memenangi kompetisi melawan Soviet di angkasa luar, proyek yang membuat NASA lebih fokus dengan finish line jelas tersebut telah memacu perkembangan teknologi di AS dan memberikan inspirasi positif bagi dunia.

Deng Xiaoping juga the storm. Begitu balik ke panggung politik di Beijing pada akhir 1970-an, Deng, pada usia 70-an tahun, berhasil memimpin RRT lebih dari sekedar melakukan reformasi. Ia sesungguhnya telah mengajak bangsanya bertransformasi.

RRT yang termiskinkan akibat brutalitas politik semasa Revolusi Kebudayaan dibawah Mao Zedong, secara bertahap dan sistematis oleh Deng dan team leaders-nya diubah menjadi negara industri maju, memiliki kekuatan politik dan ekonomi yang membuat AS juga keder. 

Contoh lain the storm adalah Mahathir Mohamad, yang dengan rendah hati mengakui kekeliruannya di masa lalu, minta maaf secara terbuka, dan berhasil memenangi pemilu menjadi Perdana Menteri Malaysia pada usia 92 tahun dan langsung melakukan langkah-langkah stretegis membenahi politik dan ekonomi negaranya.

Di level perusahaan, Conrad atau Connie tentunya the storm juga. Pada usia 94 tahun Connie kembali menjadi CEO perusahaannya yang bernilai US$ 3 milyar (billion) lebih, karena anaknya, David, sebagai CEO sangat sibuk sana-sini dan kehilangan fokus. Bisnis nyaris ambruk. David memang pekerja keras, tapi dia bekerja keras di wilayah yang salah, lebih banyak di miscellaneous, bukan pada inti utama tanggungjawabnya, kata Connie (#SeninCoaching: Tiga Langkah Merengkuh Realitas Hari Ini).

Dari contoh-contoh di atas dapat kita lihat, di level kepemimpinan negara dan organisasi bisnis, para the storm bukan hanya golongan usia muda, atau ditentukan oleh faktor muda usia, tapi lebih bergantung pada kematangan mereka untuk berpikir dan bertindak efektif.

Namun masih ada perusahaan (di antaranya sudah trilyunan omsetnya) di Indonesia yang hanya terpukau pada eksekutif muda lulusan luar negeri, yang kemudian malah melakukan kesalahan mendasar. Antara lain berhasil memacu pertumbuhan dan diversikasi tapi tidak profitable. Akibatnya, belum lama ini pemegang saham di salah satu organisasi itu mengganti chairman, CEO, dan para pendukungnya – mereka dianggap telah membangun pertumbuhan semu.

Barangkali itu merupakan pembelajaran agar kita dapat membedakan pimpinan dengan pemimpin. Golongan pimpinan – bisa karena penunjukan pemegang saham, tugas keluarga dst.nya – dihormati tim dan mitra karena jabatannya. Sedangkan pemimpin merupakan hasil proses seleksi, memperoleh penghargaan stakeholders karena perilaku kepemimpinannya memiliki clarity mengarahkan tim dan organisasi ke tujuan yang gamblang dengan finish line jelas. 

Begitulah perilaku kepemimpinan para the storms, para leaders sejati. Anda, para eksekutif hasil penunjukan atau seleksi, sesungguhnya memiliki hak dan peluang yang sama untuk bertransformasi menjadi the storm.

Syarat dasarnya sama, become more than you ever been before. Berani keluar dari kurungan pikiran dan keterbatasan batin, menjadi pribadi baru. Lihatlah lobster, untuk menjadi besar prosesnya selalu menjebol cangkangnya sendiri.

Reinventing leadership style, produk, dan organisasi pada setiap tahap perkembangan merupakan kebutuhan kita semua. Tugas yang tidak mudah, tapi mutlak diperlukan untuk meningkatkan profitabilitas berkesinambungan.

Bukankah para the storm dalam contoh di atas menjalankan tugas-tugas yang pelik, kadang sangat sulit, bahkan menurut pandangan orang impossible?

Bagi para eksekutif dan leader yang berani bertransformasi menjadi warrior dan the storm, takdir harus dijemput. Mereka yakin, takdir merupakan hasil pengerahan daya upaya optimal kita umat manusia, atas izin Pencipta Alam Semesta. Tuhan tidak akan mengubah suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri -- (QS Ar-Ra’d [13]: 11). Become more than you ever been before, lebihkan diri Anda untuk dapat meraih hasil lebih baik.

Ada pun bisikan-bisikan yang mengganggu tekad memuliakan manusia, yang mengaku sebagai fate itu, oleh para the storm dianggap hoax para penyihir.

Untuk mencapai taraf itu, menjadi the storm siap menjemput takdir, jika dilakukan secara alamiah akan melalui proses bertahun-tahun, jatuh bangun, kadang seperti naik roller coaster kehidupan, menghabiskan banyak resources (waktu, uang, dan kecerdasan) – ini dialami oleh banyak orang, termasuk saya.

Setelah dua tahun lebih menjalani proses re-edukasi Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC), dan mempraktikannya, saya yakin ada jalan lebih sistematis dan terukur available untuk Anda becoming more than you ever been before. Prosesnya 12 sampai 18 bulan, tidak perlu bertahun-tahun.

Anda hanya perlu memiliki courage, humility, dan discipline. Sederhana? Ya. Tapi dalam praktiknya cukup menantang untuk dikerjakan.

Courage, keberanian merambah ke wilayah pemikiran, sikap batin, dan tindakan-tindakan baru. Termasuk bersedia melibatkan stakeholders memberikan saran dalam perubahan kepemimpinan Anda. Siapkah berkomunikasi terbuka dengan para stakeholders Anda, termasuk minta maaf atas kekeliruan selama ini dan siap memberbaiki diri? Contoh dalam kepemimpinan negara: Mahathir Mohamad.

Humility. Kepemimpinan sejati bukan berpusat pada leader, tapi lebih merupakan urusan semua anggota tim dan kepentingan misi organisasi (atau negara). Seorang pemimpin mestinya mampu mengendalikan ego.

Orang-orang hebat yang masuk kategori the storm pada rontok di puncak kejayaan karena mereka tidak mau mendengar pendapat yang berbeda atau menolak melihat dengan perspektif baru. Mereka tidak memiliki humility.

Bung Karno dipaksa mundur oleh kekuatan aksi mahasiswa yang didukung tentara karena sudah tidak bersedia menerima saran dan masukan orang-orang di sekitarnya, kecuali yang menyenangkan egonya. Demikian pula Soeharto. Pada 20 tahun pertama kekuasaannya mungkin bisa masuk kategori sebagai the storm, berhasil membangun ekonomi negara bersama tim hebat dibawah Prof. Widjojo Nitisastro. Tapi kemudian ia lupa diri, sehingga ada gerakan reformasi.

Di level perusahaan, para leaders dan CEO-nya yang berhasil megembangkan bisnis profitable secara berkesinambungan sampai lebih dari 10 tahun -- memberikan positive impact bagi puluhan sampai ratusan ribu kepala keluarga yang menjadi karyawan mereka, plus para pemegang saham -- adalah para eksekutif dengan humility luar biasa.

Di antara mereka ada kecenderungan sama, yaitu menghindari publisitas. Ini sesuai hasil riset Jim Collins dan tim (Good to Great).Para leaders golongan ini masuk kategori Level 5 Executive: Builds enduring greatness through a paradoxical blend of personal humility and professional will.

Discipline. Agar perubahan kepemimpinan dapat berkelanjutan, Anda diminta membangun habit dan proses yang lebih efektif. Ini jelas memerlukan disiplin eksekusi atas rencana-rencana tindakan Anda plus konsistensi follow up dengan para stakeholders

Sekarang, izinkan saya bertanya, wahai para leaders dan yang ingin jadi pemimpin, apa saja yang sudah Anda siapkan untuk menjadi the storm, agar lebih mampu menjemput takdir, mengolah realitas, dan menepis bisikan ilusi? Anda cerdas, tentunya pantas ikut aktif dalam upaya-upaya memuliakan bangsa ini.  

 

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

n  Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

n  Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(http://sccoaching.com/coach/mcholid1). 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB