x

Iklan

Yudel Neno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

World Bank-IMF Merenggut Masa Depan Pemuda Mahasiswa

Perkembangan teknologi modern menyediakan berbagai tawaran komersial; karena itu sangat menuntut sikap dan penilaian kritis dari masyarakat Indonesia

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

oleh

Yosef Nahu

Sekjen FMN CABANG KUPANG

 

      Di tengah dominasi dari imperialis AS melalui World Bank dan International Monetary Fund (IMF) dalam lapangan ekonomi dan politik, maka aspek kebudayaan yaitu pendidikan juga tidak luput menjadi sasaran. World Bank, IMF bersama World Trade Organization (WTO) telah menjadi aktor utama dalam perjalanan liberalisasi pendidikan di Indonesia. Melalui General Agreement on Trade and Sevices (GATS) Indonesia menetapkan terlibat dalam skema untuk meliberalisasi 12 sektor jasa, di mana salah satunya adalah pendidikan. Keberhasilan dari lembaga milik imperialis AS tersebut dalam melakukan liberalisasi terus disempurnakan melalui berbagai kerjasama dan pemberian bantuan mengikat. Seiring dengan rangkaian kerjasama Indonesia dengan IMF pada tahun 1997, salah satu dari Letter of Intent (LoI) yang dibentuk adalah paket bantuan untuk pendidikan Indonesia sebesar US$ 400 juta. Paket pinjaman tersebut meliputi liberalisasi sektor pendidikan tinggi dengan menjadikan universitas menjadi status dan bentuk pengelolaan Badan Hukum, serta secara nasional melahirkan Undang-undang No 20/2003 tentang Sistem pendidikan Nasional. Hasilnya masih dapat dirasakan oleh rakyat, khususnya pemuda saat ini. Jenjang pendidikan sangat sulit dijangkau oleh rakyat Indonesia, terlebih jenjang pendidikan tinggi.

 

      Sementara itu World Bank pun melakukan hal yang tidak berbeda dengan WTO dan IMF. Proyek awal World Bank untuk Indonesia adalah University Research For Graduate Education (URGE) yang kemudian dilanjutkan dengan  Development Of Undergraduate Education (DUE) dan Quality Undergraduate Education (QUE).  Proyek tersebut mengusung tema “Paradigma Baru” dalam dunia pendidikan. Pendidikan tidak lagi diposisikan sebagai bagian dari tanggung jawab negara/pemerintah untuk menyelenggarakannya. Pendidikan menjadi bagian dari sasaran bisnis dan investasi serta untuk menopang kepentingan perusahaan besar melalui riset-risetnya. Dalam program yang lebih lengkapnya, World Bank bersama UNESCO membentuk Higher Education for Compt Project (HECP) yang kemudian berganti dengan Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE). Tujuan utamanya adalah untuk memastikan adanya sistem pendidikan tinggi yang menjadim liberalisasi dapat dilakukan melalui praktik otonomi institusi. Imbalan dari liberalisasi pendidikan tersebut tidak lain adalah kucuran dana untuk mebiayai IMHERE sebesar US$ 114,54 juta. Hasilnya yaitu lahirnya UU BHP pada 2009 yang kemudian dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada Maret 2010. Pasca ketiadaan peraturan UU BHP, World Bank kembali mendikte Indonesia secara langsung, “ A new BHP must be passed to establish the independent legal status of all education institutions in Indonesia (public and private), there by making BHMN has a legal subset of BHP” .Permintaan tersebut kemudian direspon dengan melahirkan UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

      Demi memastikan pendidikan dapat menjadi arena bisnis dan investasi yang menguntungkan, World Bank bahkan telah mengembangkan kerjasama dengan pemerintahan Jokowi melalui Proyek Kluster Pendidikan yang meliputi pendidikan anak usia dini, dasar, menengah dan tinggi. World Bank mengalokasikan bantuannya lebih dari US$ 830 juta melalui IDA dan IBRD. Dari total seluruh proyek di sektor pendidikan, World Bank telah melakukan investasi sebesar US$ 1,5 miliar. Tidak sampai disitu, World Bank bersama USAID juga terlibat dalam program nasional bernama Bantuan Operasional Pendidikan (BOS). World Bank membentuk program dengan nama BOS-KITA (BOS-Knowledge Improvement for Transparency and Accountability) dengan total bantuan sebesar US$ 2 miliar. Tujuannya adalah untuk meningkatkan investasi jumlah tenaga kerja berpendidikan rendah di Indonesia untuk menopang bisnis perusahaan imperialis dan terhubung dengan skema fleksibilitas pasar tenaga kerja.

      Skema busuk tersebut melahirkan fakta bahwa dunia pendidikan di Indonesia menjadi bagian dari bisnis dan bertujuan untuk mengeruk uang rakyat. Hasilnya jelas, bahwa akses rakyat terhadap pendidikan terus mengalami kemerosotan. Bagi pemuda di Indonesia, pendidikan menjadi semakin sulit diakses hingga jenjang yang tinggi. Pemerintah dan dikte dari imperialis telah membatasi akses pendidikan hanya sebatas Menengah-Atas. Dari total 63,2 juta orang pemuda di Indonesia, hanya 6,9 Juta atau hanya 10,9% saja yang dapat mengakses pendidikan tinggi. Mayoritas pemuda di Indonesia terlempar pada sektor-sektor pekerjaan dan berpendidikan rendah. Sebesar 18,20% bekerja menjadi buruh di industri manufaktur, 16,97% di industri jasa dan 19,15% bekerja serabutan.  Hal tersebut tidak terlepas dari skema liberalisasi pendidikan tinggi yang dijalankan oleh pemerintah dari hasil kerjasama dengan World Bank dan IMF. Sistem pembiayaan pendidikan yang diatur dalam UU 12/2012 yaitu Uang Kuliah Tunggal bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) adalah bentuk dari komersialisasi pendidikan yang nyata. Demi memenuhi hasrat untuk memonopoli profit yang semakin besar, pembiayaan pendidikan terus dibebankan kepada rakyat. Prinsip sistem pembiayaan UKT tidak berbeda dengan prinsip yang terdapat dalam penentuan harga BBM, yaitu ditentukan dengan harga pasar biaya operasional. Artinya dapat dipastikan bahwa biaya pendidikan akan selalu naik mengikuti naiknya kebutuhan biaya operasional. Pemerintah di sisi lain jusrtu semakin memangkas anggaran untuk membiayai pendidikan tinggi.

      Memalui skema otonomi universitas, maka setiap kampus apapun itu statusnya akan didorong untuk mencari sumber pendapatannya secara mandiri. Tentu pendapatan terbesarnya adalah dari mahasiswa/rakyat. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan pendapatan universitas dari APBN dan biaya pendidikan. Universitas Indonesia pada tahun 2017 mendapat suntikan APBN sebesar Rp 517,52 miliar sedangkan dari layanan pendidikan nya mendapat Rp 893,44 miliar. Sedangkan di Universitas Airlangga, pendapatan kampus dari APBN hanya sebesar Rp 261,30 miliar sangat jauh dibandingan dengan dana yang dikeruk dari rakyat yang mencapai Rp 423,12 miliar. Sementara itu, kerjasama dengan berbagai perusahaan dan berbagai bisnis sampingan dari perguruan tinggi pada faktanya tidak memberikan pemasukan yang berarti. Karena tentu perusahaan-perusahaan yang bekerjasama dengan PTN tidak akan secara sukarela memberikan bantuannya. Seperti contohnya di Institut Teknologi Bandung, total pemasukan dari unit usaha hanya sebesar Rp 10,5 miliar sedangkan pendapatan dari UKT sebesar Rp 415,25 miliar, begitu juga dengan Universitas Padjajaran (Unpad) yang hanya mendapat Rp 938 juta sementara UKT berkontribusi sebesar Rp 386,29 miliar.Dari hal tersebut, apa yang dimaksud dengan otonomi pembiayaan pendidikan dan orientasi kerjasama dengan perusahaan tetap terus membebankan rakyat. Hasilnya jelas kenaikan biaya pendidikan hingga mencapai Rp 27 juta per semeseter, penerapan uang pangkal yang mencapai ratusan juta rupiah. Rakyatlah yang terus dibebankan melalui biaya pendidikan yang semakin tinggi, sementara tanggung jawab pemerintah untuk membiayai pendidikan tinggi dialihkan untuk pembangunan infrasturktur dan perputaran modal di sektor lain demi memuluskan dan memanjakan investasi dari kapitalis monopoli internasional.

 

     Intervensi dari World Bank dan IMF di dunia pendidikan tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi. Kedua lembaga tersebut juga terus memastikan agar universitas dapan menjadi alat yang efektif dalam menopang seluruh skema ekonomi, politik dan kebudayaan di Indonesia. Melalui paradigma baru yaitu “World Class University” World Bank mendorong berbagai universitas untuk mengembangkan riset maupun terlibat dalam menyukseskan program world bank dan IMF, mendukung dan melegitimasi skema penghisapan yang dilakukan oleh imperialis melalui borjuasi besar komprador, tuan tanah besar dan rezim bonek Jokowi. Seperti contohnya adalah implementasi program MDG’s yang dilanjutkan dengan SDG’s dalam Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa. Begitu juga mengenai tentang program tematik seperti “Migrasi Aman” dan “Citarum Harum”, hingga berdirinya World Bank Corner di berbagai universitas. Mahasiswa dipaksa dan dijadikan alat untuk melakukan sosialisasi, membenarkan seluruh program tersebut, dan dipaksa menebar ilusi terhadap rakyat. Pada kenyataanya, semua contoh program tersebut adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proyek World Bank dan IMF.

     Dunia pendidikan menengah dan tinggi juga dijadikan sasaran untuk mempromosikan seluruh skema neoliberal milik imperialis AS melalui kurikulum dan orientasi pembangunan pendidikan. Melalui World Bank, rezim Jokowi menargetkan akan lebih memprioritaskan pengembangan sekolah-sekolah menengah kejuruan dengan target 80% dari seluruh sekolah yang ada di Indonesia. Sementara untuk pendidikan tinggi, Jokowi sudah mewacanakan agar kementerian segera mendorong universitas untuk membuka program-program studi baru yang sesuai dengan kebutuhan industri, seperti pergudangan, logistik, transportasi, perdagangan, serta mengembangkan program vokasional pada perguruan tinggi. Pengembangan kurikulum tentang kejuruan/vokasional tersebut tidak terlepas dari rencana besar untuk memastikan ketersediaan cadangan tenaga kerja untuk kebutuhan industri dan perusahaan di Indonesia. Pemuda lulusan dari sekolah maupun perguruan tinggi digiring untuk menjadi buruh-buruh murah dalam industri manufaktur maupun jasa milik imperialis dan juga borjuasi besar komprador. Hal tersebut tentu bukan berarti tersedianya lapangan kerja yang mampu menyerap seluruh pemuda di Indonesia. Pemuda akan tetap banyak terlempar menjadi pekerja serabutan, di perdesaan menjadi buruh tani, hingga menjadi korban pasar tenaga kerja global sebagai buruh migran. Hal tersebut dikarenakan tidak dilaksanakannya reforma agraria sejati dan pembangunan industri nasional yang mandiri dan berdaulat di Indonesia.

     Selain itu, terdapat pula di dalam kurikulum pendidikan di Indonesia untuk mempromosikan program wirausaha. Melalui mata pelajaran maupun mata kuliah, saat ini pemerintah terus menebarkan ilusi dan kebohongan mengenai masa depan pemuda sebagai wirausaha. Di negeri setengah jajahan dan setengah feodal seperti Indonesia ini, tidak akan ada hari depan bagi pemuda untuk memiliki kemandirian ekonomi dalam hidupnya. Promosi tersebut tidak lain merupakan buah dari program world bank tentang investasi Sumber Daya Manusia. World Bank menekankan pentingnya untuk memasukan skema tentang kewirausahaan dalam program pendidikan di Indonesia. Hal tersebut tidak lain adalah upaya untuk mengalihkan krisis dan ketidakmampuan pemerintah untuk memastikan tersedianya lapangan kerja yang layak. Artinya, kewirausahaan adalah program untuk sekaligus melimpahkan beban krisis terhadap rakyat. Disisi lainnya, hal tersebut secara prinsip hanyalah ilusi mengenai era globalisasi dan kebohongan pasar bebas. Rakyat yang berwirausaha akan tetap terhambat perkembangannya dan tidak akan bisa bersaing dengan mega bisnis yang dimiliki oleh imperialis dan borjuasi besar komprador.

     Kondisi pendidikan dan lapangan pekerjaan tersebut memperlihatkan bahwa krisis dalam tubuh imperialis terus memburuk. Skema neoliberal melalui promosi tentang keuangan inklusif pun tidak menjadi jalan keluar dari krisis. World Bank dan IMF menjadi alat perusak kehidupan dan masa depan pemuda di Indonesia. Bagi mahasiswa, selama dominasi imperialisme AS, termasuk di dalamnya adalah peranan World Bank dan IMF akan selamanya pendidikan menjadi sasaran perampas uang rakyat. Institusi pendidikan yang seharusnya mampu diakses oleh seluruh rakyat terus menjadi komersil karena liberalisasi dan privatisasi yang dijalankan. Selain itu, lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi garda terdepan mempromosikan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ilmiah, terus dirusak oleh dominasi imperialisme. Institusi pendidikan menjadi bagian dari alat klas yang berkuasa saat ini terus menjadi penjara bagi kebebasan berpikir, berpendapat dan berekspresi intelektual.

 

Pendirian dan Sikap FMN: World Bank-IMF Musuh Mahasiswa dan Rakyat Indonesia

      Buruknya kehidupan pemuda dan rakyat Indonesia saat ini tidak terlepas dari dominasi dan dikte imperialis AS. Imperialis AS merupakan tuan bagi para hambanya yang ada di Indonesia, yaitu borjuasi besar komprador, tuan tanah besar dan kapitalis birokrat. Intervensi juga dilakukan melalui World Bank dan IMF terus membelenggu rakyat dalam kemiskinan yang akut. Berbagai kerjasama dan skema yang dijalankan tentu sama sekali tidak dapat memberikan perubahan nasib rakyat.

     World Bank dan IMF telah sejak lama menjalankan skema milik imperialis di Indonesia. Pemuda mahasiswa adalah salah satu sektor yang terkena dampak langsung dari intervensi kedua lembaga milik imperialis tersebut. Atas dasar itu maka pemuda mahasiswa harus dengan tegas menyatakan bahwa World Bank dan IMF adalah musuh bagi mahasiswa.

     FMN sebagai organisasi massa mahasiswa yang menjunjung tinggi perjuangan demokratis nasional harus mampu untuk memimpin perjuangan mahasiswa melawan seluruh skema liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Perlawanan terhadap World Bank dan IMF adalah bagian dari perlawanan terhadap imperialis AS sebagai musuh nomor satu rakyat seluruh dunia.

     Tidak sampai di situ, realita objektif telah menunjukan bahwa dominasi imperialisme di Indonesia telah menghancurkan seluruh kehidupan rakyat. Kaum tani di perdesaan terus digerus dengan skema monopoli dan perampasan tanah untuk memenuhi hasrat kepentingan imperialisme. Dengan demikian, FMN harus mampu membangkitkan dan mempersatukan gerakan mahasiswa untuk juga terlibat aktif dalam perjuangan anti perampasan dan monopoli tanah, yang esensinya adalah perjuangan untuk menghancurkan feodalisme. Sementara di perkotaan sebagai kedudukan organisasi FMN berada, mahasiswa harus mampu menyadari bahwa tugas utamanya adalah berjuang bersama klas buruh dan seluruh rakyat tertindas yang ada di perkotaan. Gerakan mahasiswa harus menghancurkan sekat pemisah dengan gerakan rakyat, khususnya klas buruh. FMN harus mampu menjadi alat pemersatu dan terlibat aktif dalam pembangunan front anti imperialis di perkotaan.

     Salah satu langkah terdekat yang harus dipersiapkan untuk memanifestasikan pandangan dan pendirian FMN yang anti imperialis adalah saat World Bank dan IMF melakukan pertemuan tahunannya pada 8 – 14 Oktober 2018 di Nusa Dua, Bali. Momentum tersebut harus menjadi bagian dari rencana strategis organisasi dalam membangun kekuatan gerakan mahasiswa yang semakin luas. Di samping itu, FMN harus mampu membangkitkan dan menggerakan mahasiswa secara besar-besaran untuk bersama seluruh klas dan sektor rakyat tertindas lainnya dalam menentang pertemuan tersebut. FMN dan seluruh mahasiswa harus dengan tegas menyatakan anti terhadap imperialis dan selalu siap untuk berhadap-hadapan berlawan terhadap seluruh skemanya.

 

Ikuti tulisan menarik Yudel Neno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler