x

Iklan

Yudel Neno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Agama Sebagai Kerangka Penafsiran Terhadap Relasi Sosial

Agama dalam membaca ruang politik mesti menampakkan dimensi sakramentalitasnya. Politik pun mesti selalu mengandaikan nilai-nilai religius dari agama

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

**Fr. Yudel Neno, S.Fil.**

*Alumnus Fakultas Filsafat Unwira Kupang

 

A. Pendahuluan

Negara Indonesia sedang ada dalam proses suksesi kepemimpinan nasional (baca : presiden-wakil presiden) 2019 nanti. Di tengah perhelatan ini, agama muncul sebagai kerangka yang menarik untuk direfleksikan. Dalam arti ini, agama tidak hanya berkutat dengan penghayatan ajaran-ajaran etisnya melainkan bertolak lebih kualitatif dan progresif, agama perlu dihadirkan sebagai kekuatan untuk membaca, memberikan catatan kritis dan menawarkan nilai perdamaian di tengah amukan opini publik yang lebih cenderung memancing dan meruncing suasana perpolitikan Negara Indonesia yang tercinta ini.

Pertanyaannya ialah sejauh mana dan mesti atas cara apa, agama perlu berinisiatif; dan mesti dalam otoritas mana agama memainkan perannya tanpa bertendensi mengintervensi urusan politik praktis?

Pertanyaan ini mengantar kita untuk memikirkan agama sebagai kerangka sakramental yang hadirnya mesti menjadi jaminan bagi terciptanya perdamaian antar warganegara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

B. Fungsi Sakramental Agama

Perdebatan tentang konsep ketuhanan dalam sila pertama Pancasila telah lama dimulai. Ketuhanan dalam sila pertama Pancasila sama sekali tidak memadai kalau ditafsir sebagai ketuhanannya agama tertentu. Indonesia bukan negara agama, karena itu tidaklah tepat, lagipula menyalahi filofosi dasar negara, kalau ada agama tertentu atau atas upaya tertentu, berjuang untuk mengklaim Indonesia ini sebagai Negara yang mesti berjalan menurut kerangka salah satu agama.

Upaya-upaya ekstrim politis seringkali mengedepankan kepada kita isu-isu konfilk, yang terhadapnya, kita dituntut untuk bersikap kritis serentak waspada agar tidak terpancing menggunakan ajaran-ajaran tertentu dalam agama masing-masing sebagai kekuatan untuk saling menyerang dan saling mempersalahkan.

Di sini, agama perlu ditempatkan sebagai institusi mandiri dengan penerapan nilai dan ajaran yang mesti tetap memperhitungkan relasi sosial sebagia media yang paling tepat untuk merajut perjuangan politik di Negara Indonesia ini.

Agama mesti lebih menampakkan fungsi sakramentalnya dalam kaitannya dengan relasi sosial dengan menawarkan perdamaian sebagai dasar bagi relasi sosial.

Perdamaian yang ditawarkan oleh agama tidak boleh hanya mengedepankan dimensi konseptualnya melainkan secara realistis, agama perlu dipandang dan diperlakukan sebagai penghayatan hidup dengan diinspirasi oleh ajaran dan nilai serentak bermuara pada perdamaian nasional.

Di sinilah nampak fungsi sakramental  setiap agama bahwa dengan memperjuangkan perdamaian sebagai konten yang konstan; bahwa agama justru karena dimensi supranaturalnya yang melampaui urusan perpolitikan dunia, sama sekali tidak tepat kalau dimainkan hanya sebatas sebagai urusan dunia seraya memandang sesama sebagai lawan yang perlu dimusnahkan hanya karena agama dan ajaran yang berbeda.

Dengan demikian, hadirnya agama sebagai institusi mesti  berciri squad yang mampu membangun mitra kerja bukan karena ketakutan akan ancaman terhadap identitas agama melainkan berdasarkan prinsip bahwa setiap agama, apapun ajarannya, selalu bermuara pada perdamaian dan keadilan umat manusia.

 

C. Agama Sebagai Kerangka Penafsiran

Agama sebagai kerangka penafsiran lebih dimengerti dalam kacamata peranan sakramental agama yakni bahwa setiap agama atas ajarannya, tergerak oleh cinta kasih yang mendalam akan kemanusiaan bergerak keluar untuk memandang dunia dan segala urusan politiknya sebagai lahan yang harus dipupuki dengan benih-benih keadilan, perdamaian, toleransi dan tanggung jawab. Atas cara ini, agama makin menujukkan dimensi saktamentalitasnya yang bermuara pada kesejahteraan umum dan universalitas keselamatan.

Poin-poin di bawah ini sekiranya dapat membantu kita untuk memahami agama sebagai kerangka penafsiran terhadap relasi sosial.

 

Keberagaman Sebagai Kekayaan

Negara Indonesia adalah negara kepulauan; Negara Indonesia adalah Negara kebangsaan. Jaminan atas kesatuan pulau-pulau dan bangsa-bangsa (baca: SARA yang berbeda) adalah Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila merupakan kristalisasi dari berbagai nilai, norma dan ajaran yang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Karena itu, keberagaman bukanlah ancaman terhadap kehidupan bangsa. Keberagaman merupakan salah satu ciri yang terintegrasi dalam kehidupan umat manusia sejak ia dilahirkan. Keberagaman merupakan martabat kebangsaan. Karena itu, segala upaya untuk menghancurkan atau memandang keberagaman sebagai ancaman merupakan suatu penyelewengan terhadap Pancasila sebagai dasar negara dan terhadap martabat hidup umat manusia.

Tendensi untuk menghancurkan keberagaman hidup selalu mengandaikan bahwa hidup manusia harus lebih dahulu dimusnahkan. Sementara itu, hidup manusia atau keselamatan umat manusia adalah hukum tertinggi bagi bangsa ini. Entah Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, atas keempat pilar ini, tidak dapat disangal bahwa yang diperjuangkan sekarang tidak lain dan tidak bukan adalah demi kehidupan masyarakat Indonesia yang sejahtera, damai, adil dan bermartabat.

 

Perdamaian Sebagai Tuntutan Mutlak Dari Agama

Agama manapun, isi ajaranya tidak pernah menghalalkan kekerasan yang melukai dan menghancurkan martabat penganutnya; karena melukai martabat manusia sama halnya dengan melukai kodrat Penciptanya. Di sini, berlaku prinsip bahwa menghargai martabat manusia tidak tanpa perdamaian. Penghargaan tanpa perdamaian merupakan suatu sikap sentimental semata. Sebagaimana kasih tanpa perdamaian adalah bualan semata.

Perjuangan akan kepentingan umum pun akan hambar kalau ideologi dan cara yang dipakai terlampau diskriminatif serentak mengabaikan etika keadilan sebagai jalan  untuk menggapai perdamaian nasional.

Perjuangan agama manapun tidak tanpa etika keadilan dan perdamaian. Perjuangan tanpa etika keadilan akan berubah rupa menjadi premanisme yang lebih berciri konflik dan kasuistik.

 

Toleransi Sebagai Sikap Kritis

Di tengah keberagaman agama dan penghayatan ajaran agama, dibutuhkan media untuk merajut relasi antar para penganut. Media itu adalah toleransi. Di sini, toleransi tidak hanya dimengerti sebagai perwujudan belaskasihan sebagaimana diajarkan oleh agama-agama melainkan toleransi harus lebih berciri kritis-rational. Toleransi yang berciri kritis-rational, lebih mengedepankan akal budi sebagai kekuatan untuk mengkritisi berbagai persoalan; dan dengan demikian membebaskan agama pertama-tama; bukan dari ancaman yang datang dari luar melainkan secara internal membebaskan agama dari berbagai ideologi, sikap dan penghayatan sebagai terjemahan atas ajaran tertentu yang bertendensi memicu konflik.  

Di sini, toleransi yang baik bukan membiarkan sesuatu terjadi melainkan mencegah agar sesuatu tidak boleh terjadi. Dengan demikian, dialog antaragama bukanlah sebagai ajang untuk menunjukkan kelebihan agama, ajaran dan penganut agama tertentu serentak mempersalahkan dan memandang dengan kacamata sempit ; agama, ajaran dan penganut agama lain melainkan sebagai ajang untuk saling menerima sebagai warga negara yang diayomi oleh pilar-pilar yang satu dan sama yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.

 

Tanggung Jawab Internal Sebagai Basis Bagi Relasi

Setiap penganut agama, pertama-tama ia bertanggung jawab bukan untuk pemimpin agamanya melainkan kepada Realitas Tertinggi yang diimaninya menurut kepercayaan dalam ajaran agamanya. Di sini, tanggung jawab internal berarti setiap penganut agama, terpanggil dari nuraninya untuk menjadi saksi atau tokoh perdamaian bagi sesamanya yang lain. Tanggung jawab ini digerakkan oleh suatu daya dorong bahwa setiap manusia adalah insan bermartabat yang patut dihargai bukan karena jabatannya; bukan karena mayoritasnya atau minoritasnya; bukan karena kekayaannya.

Tanggung jawab yang digerakkan oleh cinta kasih akan martabat manusia berkekuatan memurnikan perbendaharaan relasi dari berbagai godaan ideologi ekstrim modern yang sangat sarat dengan wajah hedonistik, pragmatis, premanis, materialitik dan konsumeristik.

Di sini, agama perlu dilihat sebagai institusi yang mesti kokoh dengan nilai dan pedoman-pedoman etisnya sebagai basis bagi para penganutnya untuk membangun relasi. Dengan demikian, para penganut agama akan lebih menunjukkan dimensi responsibilitasnya dalam membangun relasi; dan atas prinsip itu, mereka memandang setiap sesamanya sebagai sesama subyek yang berjuang bersama-sama untuk memajukan perdamaian nasional dan menjunjung tinggi kesejahteraan umum.

 

D.   Agama Memandang Politik

Agama bukanlah institusi politik sebagaimana sebuah negara. Walaupun demikian, politik bukanlah musuh atau sesuatu yang tabu bagi agama. Agama dan politik sama-sama berjuang untuk memajukan martabat manusia. Agama, justru karena kekhasan kekuatan supranaturalnya yang melampaui dunia dan segala urusan dunia, maka ia membutuhkan dunia dan segala urusan politiknya sebagai media untuk mewujudkan nilai dan normanya. Di sini, agama memandang dunia dan politik sebagai ruang, yang dari relasi keduanya, sama-sama dituntut untuk memajukan kesejahteraan umat manusia.

Agama, dengan catatan-catatan etisnya, ia menjadi pengontrol bagi segala aktivitas dunia (baca: politik). Politik dengan tujuan tertingginya yakni memperjuangkan kesejahteraan umat manusia, ia membutuhkan agama demi memurnikan segala praktek politik dari berbagai tendensi konflik dan kasuistik yang merugikan nasib banyak orang. Dari dua ciri khas relasi timbal-balik ini, muncul suatu tuntutan etis; pertama-tama dari agama bahwa ia harus memurnikan dirinya dari berbagai ideologi, penghayatan ajaran keagamaan yang bertendensi diskriminatif.

 

E.   Agama Menuntut Suatu Relasi Intersubyektif

Agama sebagai sebuah institusi, ia bukan institusi politik (baca : negara); bukan institusi ekonomi; bukan juga sebagai partai politik. Dengan posisi seperti ini, muncul suatu tuntutan etis bahwa agama perlu menjembatani segala institusi; segala urusan bukan dengan mencampuri urusan secara praktis melainkan dengan mengedepankan nilai-nilai dan norma-normanya sebagai pedoman untuk membangun suatu relasi intersubyektif.

Dengan demikian, setiap penganut yang terlibat dalam setiap institusi, terpanggil untuk memajukan perdamaian dan kesejahteraan dengan media relasi intersubyektif. Dalam terang relasi intersubyektif, setiap penganut agama tidak saling mendiskreditkan; yang lain subyek-yang lain obyek, melainkan saling menerima sebagai sesama subyek yang sama-sama berjuang demi mencapai kesejahteraan bersama.

 

F.   Penutup

Mari kita menjadikan agama sebagai kekuatan; bukan untuk saling menyerang melainkan untuk saling menerima; bukan untuk saling mendiskreditkan melainkan untuk saling menghormati; bukan untuk saling memusnahkan melainkan untuk saling berdamai; bukan untuk saling membiarkan melainkan untuk saling toleran atau solider; bukan untuk saling tersinggung melainkan untuk saling kritis bukan untuk saling bermusuhan melainkan untuk saling memaafkan.

 

Sumber Bacaan :

Ali, Novel, Peradaban Komunikasi Politik, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999.

Andalas, Mutiara, Kesucian Politik, Jakarta : Libri, PT. BPK. Gunung Mulia, 2008.

Aristoteles, Nicomachean Ethics, Sebuah Kitab Suci Etika, dalam Embun Kenyowati (penerj.), Jakarta : PT. Mizan Publika, 2004.

Bertens, K. Etika, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011.

Dua, Mikhael, dkk., (eds) Politik Katolik, Politik Kebaikan Bersama, Jakarta : Obor, 2008.

Handoyo, Eko,dkk, Etika Poltik, Edisi Revisi, Semarang: Widya Karya Press, 2016.

Hardiman, Budi, dkk, Empat Esai Etika Politik, Jakarta : www. Srimullyani.net, 2011.

Haryatmoko, Etika, Politik dan Kekuasaan, Jakarta : Kompas, 2003.

_______, Etika Publlik, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2011

Koten, Yosef Keladu, Partisipasi Politik, Sebuah Analisis atas Etika Politik Aristoteles, Maumere : Ledalero, 2010.

Leahy Louis, Horizon Manusia, Dari Pengetahuan ke Kebijaksanaan, Yogyakarta : Kanisius, 2002

 

Madung, Otto Gusti, Politik Antara Legalitas dan Moralitas, Maumere : Ledalero, 2009.

_______, Filsafat Pollitik, Negara dalam Bentangan Diskursus Filosofis,  Maumere : Ledalero, 2013.

Magnis-Suseno, Franz, Iman dan Hati Nurani, Gereja Berhadapan dengan Tantangan Zaman, Jakarta : Obor, 2014.

_______, Etika Politik, Prinsip Moral Dasar Kenegaraan  Modern, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2016

Mangunhardjana, A., Isme-Isme dalam Etika dari A sampai Z,Yogyakarta : Kanisius, 1997.

Mas’oed Mohtar, Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Yogyakarta : Pustaka Peljar, 2008.

Meliala, Adrianus, Pendampingan Politik, Jakarta : Obor, 2014.

Riyanto, Armada, Berfilsafat Politik, Ypgyakarta : Kanisius, 20011

Sudarmanto, Agama dan Ideologi, Yogyakarta : Kanisius, 1987

Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik,Jakarta; PT. Grasindo, 1999.

Kristiyanto, Eddy, Sakramen Politik, Mempertanggungjawabkan Memoria, Yogyakarta : Lamalera, 2008.

Robet, Robertus, Kembalinya Politik, Pemikiran Politik Kontemporer Dari Arendt Sampai Zizek, Jakarta : PT Cipta Lintas Wacana, 2008

Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik, penulis F.X.E. Armada Riyanto, CM.

Pengembangan Kerukunan Umat Beragama di NTT, Penyunting Dr. Philipus Tule, SVD dan Dra. Maria Matildis Banda, MS.

Dialog : Kiritk dan Identitas Agama, penulis Abdurrahman Wahid, Banawiratma, dkk

Dari ko-Eksistensi menuju pro-Eksistensi, penulis Dr. Norbert Jegalus, MA

Agama-Agama dan Dialog antar Agama dalam Pandangan Kristen, penulis Dr. Herman Punda Panda

 

.

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Yudel Neno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler