x

Iklan

Bujaswa Naras

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tersandera Utang, Impor, Korupsi Massal Pemerintahan Jokowi

Analisis tentang tata kelola negara dan pemerintahan sebagai auto kritik perbaikan tata kelola untuk tidak menjadikan anak bangsa yang membayar kemudian.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bagian Pertama

Teringat seorang teman yang membeli rumah dengan kredit 20 tahun. Kemudian ia ingin membangun rumah untuk persiapan bagi anak gadisnya yang masih SD. Beberapa waktu, ada tawaran dari teman lama mengambil mobil dengan DP murah dan ansuran ringan. Pembangunan rumah tambahan diserahkan kepada pemborong dengan spefikasi dan tenggang waktu penyerahan.

Waktu, berjalan ternyata pemborong tidak menyelesaikan pekerjaan. Dimana nilai kontrak dengan nilai bangunan tidak sesuai. Pemborong dan teamnya melarikan diri dengan menkorupsi uang pemilik rumah. Sedangkan biaya ini menggunakan utang tamabahan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sewaktu melakukan perjalanan melihat ladang, sebagai salah satu sumber pendapatan. Mobil mengalami kecelakaan dan mesti diperbaiki. Maka pilihan untuk menutupi pembayaran utang dan bunga. Pilihan adalah menjual ladang. Namun anak dan istri dan keluarga tidak setuju.

Maka datang tawaran bahwa bisa membuka hutang baru. Dengan jaminan sertifikat ladang dan penghasilan ladang. Maka bertambahlah jumlah utang. Tiba-tiba musibah datang, terkena penyakit jantung koroner dan mesti melakukan operasi. Maka bertambah sudah kesuhan demi kesusahan.

Sedangkan jalan keluar ada, namun mesti kehilangan beberapa aset dan beralih tangan. Sedangkan tabungan cukup untuk biaya sekolah yang bungsu di Universitas sampai tamat.

Ini adalah sebuah ilustrasi sederhana tentang bagaimana seorang ayah dan keluarga tersandra oleh utang untuk membangun ‘asset’ dan terkena korupsi oleh pemborong. Hal ini tidak jauh beda, ibarat kata sama dan tidak serupa.

Bank Indonesia merilis Utang Luar Negri (ULN) Indonesia pada akhir triwulan II 2018 tercatat sebesar 355,7 miliar dolar AS, terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar 179,7 miliar dolar AS, serta utang swasta sebesar 176,0 miliar dolar AS. Pertumbuhan hutang pada akhir triwulan II 2018 tercatat 5,5%. Hal ini melambat dari pertumbuhan triwulan sebulumnya yakni 8,9%.

Sedangkan Kementerian Keuangan mencatat per 31 Agustus, memaparkan posisi utang pemerintah pusat mencapai Rp 4.363,19 triliun. Angka ini naik Rp 110,19 triliun atau 2,59 persen dibandingkan bulan sebelumnya sebesar Rp 4.253 triliun. Jumlah tersebut merupakan 30,31 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).  Adapun Asumsi PDB hingga akhir Agustus 2018 adalah sebesar Rp 14.395,07 triliun, sebagaimana dilansir oleh Kompas.com tanggal 21 9 2018.

Bencana gempa lombok, gempa-stunami Palu, Giri dan Donggala menguras cadangan fiskal yang menekan APBN. Sedangkan kewajiban lain baik biaya operasional pemerintahan dan hutang mesti dibayar.

Hasil menjamu pertemuan delegasi dari berbagai negara membuahkan tawaran hutang baru .World Bank (Bank Dunia) menawarkan pinjaman jangka panjang hingga US$1 miliar atau sekitar Rp15 triliun (kurs Rp15.235 per dolar AS) kepada Pemerintah Indonesia. Hal ini sama dengan menambah beban bagi pemerintah selanjutnya dan termasuk mayarakat Indonesia.

 

Tawaran ini disampaikan oleh CEO World Bank Kristalina Georgieva pada Pertemuan Tahunan IMF-World Bank di Nusa Dua, Bali, Minggu 14/10/2018. Setelah memberikan pujian bagi Pemerintahan Jokowi dan applus tentang pidato yang menggambarkan kondisi ekonomi internasional dan sekaligus dalam negeri seperti ‘Game of Trone’. Sebuah ilustrasi yang jauh dari adab ketimuran.

 

Tawaran pinjaman adalah sandra yang diberikan untuk membantu pemulihan dan rekonstruksi daerah yang terdampak bencana alam, termasuk bagi korban gempa di Lombong dan tsunami di Sulawesi Tengah. 

 

Bantuan pinjaman akan dicairkan sesuai permintaan pemerintah Indonesia, seiring dengan hibah senilai US$5 juta atau sekitar Rp 75 miliar.

 

Disisi lain nilai Nilai impor Indonesia pada September 2018 mencapai US$ 14,6 miliar atau turun 13,8% dibanding Agustus 2018. Namun secara kumulatif Januari-September 2018, impor Indonesia masih meningkat 23,3% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diterima Senin (15/9/2018), peningkatan terjadi pada impor migas dan non migas masing-masing US$ 4,7 miliar (27,14%) dan US$ 21,54 miliar (22,64%). Peningkatan impor migas disebabkan oleh naiknya impor seluruh komponen migas, yakni minyak mentah (40,51%), hasil minyak (22,53%) dan gas (17,8%).

Sedangkan impor non migas, terjadi peningkatan pada 10 golongan barang HS 2 digit selama periode Januari-September 2018. Barang-barang tersebut di antaranya mesin dan pesawat mekanik (16,89%), mesin dan peralatan listrik (13,59%), benda dari besi dan baja (2,49%), serealia (2,45%) dan ampas atau sisa industri makanan (1,91%).

Kemudian ada perhiasan/permata (1,68%), bubur kayu atau pulp (1,16%), filamen buatan (1,12%) buah-buahan (0,78%) dan kakao atau coklat (0,47%).

 

Selama September 2018 sendiri, golongan buah-buahan mengalami peningkatan impor tertinggi yakni US$ 42,2 juta atau 66,46%. Selanjutnya adalah coklat atau kakao yang meningkat 50,58% dan serealia sebesar 15,31%.

Negara pengimpor tertinggi komoditas non migas tersebut adalah China dengan sumbangan 27,83%. Kemudian disusul oleh Jepang 11,4% dan Amerika Serikat 5,87%. Inilah penyandra kinerja dan ekonomi Indonesia.

 

Singapura, Thailand dan Malaysia menjadi tiga negara ASEAN paling tinggi penyumbang impor, sedangkan untuk Uni Eropa, paling banyak berasal dari Jerman, Belanda dan Italia.

Berkaca dan belajar dari pengalaman emperik pemerintahan sebelumnya. Seperti pesan Bung Karno, Jasmerah ‘jangan sesekali melupakan sejarah. Pada rentang krisis 1997-1998, pemerintahan tersandra dan disandra dengan skema utang yang ditawarkan oleh IMF.

Bukannya membebaskan dari situasi tersandra, malah menjadi sandra IMF. Berbagai kebijakan mengintervensi tata kelola ekonomi Indonesia yang melahirkan ekonomi kurus, dekonstruksi sosial, dan politik biaya mewah yang lebih parah akibat kecalakaan budaya transaksional.

Sejarah dan pelaku juga memaparkan prestasi Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mampu melunasi utang Indonesia kepada IMF pada tahun 2006 dan membubarkan CGI pada tahun 2007. Pelunasan dan pembubaran CGI wujud dari semangat Ir Soekarno ‘berdikari dalam bidang ekonomi’ bagian dari stategi empat jalur.

Keberhasilan bangsa dan Negara lepas dari sandra utang yang bertumpuk dan bertambah. Rekonstruksi dan rehabilitasi bencana terukur. Dan neraca perdagangan yang tidak defisit dan menjadikan kita negara konsumen yang melahap segala hal dari luar.

Ditunggu kemampuan Kabinet Kerja Ir Jokowi untuk mampu melepas penyandraan utang, impor dan masifnya korupsi massal bukan berjamaah.

Bersambung, bagian ke-2

Ikuti tulisan menarik Bujaswa Naras lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler