x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tak Jera oleh OTT

Banyak pejabat publik merasa mampu menghindari pengintaian, tapi penciuman KPK rupanya lebih tajam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Operasi tangkap tangan, yang lebih populer dengan akronimnya, OTT, kembali terjadi. Sejumlah orang, termasuk pejabat Kabupaten Bekasi, ditangkap KPK beserta uang sejumlah Rp1 miliar. Bupati dan pengusaha ditangkap keesokan harinya. KPK menyebut, OTT ini terkait dengan perizinan properti. Maka, semakin panjang saja daftar politikus dan pejabat publik yang dijaring KPK karena korupsi, suap, dan gratifikasi.

Kejadian ini setidaknya menandakan bahwa banyak pejabat publik, maupun politikus dan pengusaha, tidak jera dengan adanya OTT serupa yang sudah berkali-kali terjadi. Barangkali, mereka merasa yakin bahwa aksi suap-terima suap mereka tidak akan terendus oleh KPK. Para pelaku ini pasti sudah berusaha menyembunyikan modusnya dengan cermat. Namun, kenyataannya, penciuman KPK ternyata lebih tajam.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketika sudah berkuasa, seseorang merasa tidak cukup dengan kekuasaannya dalam menentukan nasib orang lain atau masyarakatnya. Ia perlu unsur lain yang ia anggap penting untuk mendukung kekuasaannya. Apa lagi jika bukan uang atau harta yang merefleksikan kemewahan--rumah mewah, mobil mewah, dst. Ini menjadi motif jenis pertama seseorang menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya.

Seorang gubernur berusia muda (di bawah 40 tahun), misalnya, disebut-sebut meminta bawahannya untuk menyediakan uang 30 ribu dolar AS untuk membiayai perjalanannya ke AS bersama keluarganya. Ia juga meminta mobil Alphard. Seorang bupati di Jawa Timur memiliki kekayaan yang meningkat cepat selama menjabat, sebagian di antaranya berupa tanah dan bangunan. Dua tahun lalu, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga ditangkap tangan ketika menerima tamu pada larut malam untuk urusan rekomendasi impor.

Dari berbagai peristiwa OTT tampak jelas bahwa menimbun uang dan harta benda adalah salah satu motif penting yang melatari praktik korupsi pejabat publik. Aji mumpung dipraktikkan: mumpung berkuasa, kinilah saatnya menimbun kekayaan. Penyalahgunaan wewenang menjadi praktik yang lazim, seperti pemberian perizinan yang menabrak aturan serta rekomendasi yang membuka jalan bagi mulusnya suatu urusan.

Karena tak mungkin mengerjakan sendiri semua urusan perizinan, pejabat publik seperti bupati, walikota, atau gubernur akan melibatkan anak buahnya. Tak heran bila banyak pejabat di bawah orang nomor satu di suatu wilayah, misalnya kepala dinas, sering pula tersangkut OTT. Karena takut kehilangan jabatan, pejabat ini akan melayani apapun kehendak orang nomor satu di instansinya. Meskipun mungkin saja ia juga kecipratan hadiah.

Di luar memperkaya diri sendiri, ada motif lain yang melatari suap atau gratifikasi, yakni mengumpulkan uang untuk mengembalikan pinjaman. Para politikus banyak terjebak oleh motif ini, sebab di masa pencalonan mereka harus mengeluarkan banyak uang untuk beragam kebutuhan. Seperti diberitakan Koran Tempo, praktik setoran kepada partai tempatnya bernaung merupakan kelaziman yang sudah diketahui bersama. Alasannya, partai membutuhkan dana untuk menggerakkan mesin partai, termasuk pencalonan seseorang agar menjadi anggota legislatif ataupun pejabat eksekutif.

Dari mana kader partai atau siapapun yang ingin mencalonkan diri di jalur legislatif maupun eksekutif memperoleh uang untuk mengongkosi pencalonannya? Salah satunya ialah mencari dukungan dana dari pihak-pihak lain yang bergelimang uang. Tak ada makan siang gratis di zaman sekarang. Setiap budi baik harus dibalas, apa lagi di dunia usaha dan politik—dua dunia yang sejak dulu kala seringkali berjalan berdampingan. Bila pencalonan berhasil alias yang bersangkutan terpilih, maka ia harus memikirkan jalan untuk mengembalikan pinjaman tadi. Ketika itulah, seorang bupati atau anggota legislatif akan tersesat jalan.

Motif ketiga yang mungkin ialah untuk mengisi kas partai, walau praktik ini tidak mudah dibuktikan karena aparat mesti berhadapan dengan sebuah organisasi politik. Dalam kasus yang tengah diusut, sebuah proyek listrik berskala besar diberitakan diduga terkait dengan sebuah partai besar. Bahkan, seorang petinggi partai ini harus mundur dari jabatan menteri yang ia pegang di kabinet Presiden Jokowi dan harus mengenakan rompi oranye KPK.

Begitulah segenap kerepotan terkait dengan suap dan korupsi yang membuat proses-proses politik dan demokrasi selalu terganggu, sebab keputusan-keputusan yang terkait dengan urusan publik atau rakyat dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan pragmatis sebagian orang. Sebuah izin yang seharusnya tidak boleh diberikan ternyata diloloskan karena ditukar dengan tumpukan dolar. Uang ternyata menyimpan kekuatan yang lebih besar ketimbang idealisme.

Masyarakat kerap kecewa, lantaran suara mereka yang dipercayakan dan diberikan di hari pemilihan telah disalahgunakan untuk motif-motif pribadi maupun kepentingan organisasi. OTT memang terus berjalan, tapi banyak orang tak kunjung jera sebab mereka menyangka punya jurus untuk menghindari pengintaian dan penangkapan. Mereka mungkin saja pintar menghindar, tapi Gusti Allah tidak pernah tidur dan tahu apa yang terjadi hingga urusan sebesar partikel sekalipun pada malam yang pekat sekalipun. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler