x

Iklan


Bergabung Sejak: 1 Januari 1970

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Wajah TNI Pascareformasi

Dari zaman ke zaman TNI mengalami perubahan, mulai dari nama, kepemimpinan, hingga doktrin.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh : Ikhsan Yosarie

TNI resmi berusia 73 tahun (1945-2018). Dari zaman ke zaman mengalami perubahan, mulai dari nama, kepemimpinan, hingga doktrin. Puncaknya, pasca reformasi TNI dan Polri dipisahkan dari atap ABRI, dan keduanya, khususnya TNI memulai era profesional yang tidak terlibat politik praktis dan tidak menjadi penopang rezim dalam berkuasa. 

Reformasi memunculkan perubahan-perubahan yang substansial dalam internal TNI dan relasi sosial kemasyarakatannya. Dalam konteks internal TNI misalnya, penghapusan Dwi Fungsi ABRI dan larangan prajurit aktif terlibat politik praktis. Sementara, segi sosial kemasyarakatan misalnya, tidak ada lagi pengekangan kebebasan sipil yang biasa dilakukan aparat militer untuk kepentingan rezim, seperti halnya ketika orde baru dahulu.

Perubahan-perubahan yang dimaksud, dapat dilihat pada (1) sikap dan pandangan politik ABRI tentang paradigma baru peran ABRI abad ke-21, (2) sikap dan pandangan politik ABRI tentang paradigma baru peran sospol ABRI, (3) pemisahan Kepolisian RI dari tubuh ABRI yang telah menjadi keputusan pimpinan ABRI mulai 1 April 1999 sebagai transformasi awal, (4) penghapusan Dewan Sosial Politik Pusat (Wansospolpus) dan Dewan Sosial Politik Daerah (Wansospolda) tingkat I, (5) Likuidasi Staf Karyawan (Syawan) ABRI, Kamtibmas ABRI, dan Badan Pembinaan Kekaryaan (Babinkar) ABRI, (6) penghapusan Sospoldam, Babinkardam, Sospolrem,  dan Sospoldim, (7) penghapusan kekaryaan ABRI melalui pensiun atau alih status, (8) pengurangan jumlah fraksi ABRI di DPR, DPRD I/II, (9) ABRI tidak akan pernah lagi terlibat dalam politik praktis, (10) pemutusan hubungan organisatoris dengan partai Golkar dan mengambil jarak yang sama dengan semua partai politik yang ada, (11) komitmen dan konsistensi netralitas ABRI dalam Pemilu, (12) revisi piranti lunak berbagai doktrin ABRI disesuaikan dengan era reformasi dan peran ABRI abad ke-21 (Hermawan Sulistyo, 2018).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari Doktrin Sampai Aktualisasi

Reformasi internal TNI menyinggung perihal doktrin sampai dengan hal-hal teknis atau aktualisasi. Hal ini sejalan dengan salah satu tuntutan reformasi yang menghendaki TNI (dulu ABRI) untuk kembali ke barak dan tidak terlibat politik praktis.

Pertama, persoalan doktrin. Sebelum benar-benar dihapus, sempat muncul upaya penyelarasan dwi fungsi ABRI dengan zaman yang dikenal dengan konsep peremajaan paradigma Dwi Fungsi ABRI yang disampaikan Jenderal Wiranto (Panglima ketika itu). Konsep ini sebagai tindakan korektif dalam upaya menegakkan profesionalisme TNI dan menciptakan iklim demokrasi yang baik. Paradigma ini terdiri atas empat bagian,pertama, TNI tidak harus selalu didepan. Kedua, TNI berubah dari konsep menduduki menjadi mempengaruhi. Ketiga, TNI mengubah cara-cara mempengaruhi secara langsung menjadi tidak langsung. Dan keempat, kesediaan TNI untuk berbagi peran dan politik dengan mitra non-militer. Namun, paradigma ini masih menyisakan celah untuk TNI mendapatkan peran politik, atau dengan kata lain penghapusan setengah hati.

Pada tahun 2000-an, berturut-turut Mabes TNI memberi keterangan tentang paradigma tersebut. Tanggal 15 Januari 2000, salah satu media cetak mewartakan wawancara dengan Wakil Panglima TNI Jenderal Fachrul Razie, yang mengakui bahwa empat paradigma tersebut sudah tidak relevan lagi. Lalu, pada 12 April 2000, Jenderal Fachrul Razie kembali memberi keterangan bahwa tugas pokok TNI sudah berubah signifikan. TNI tidak lagi mengemban tugas sosial-politik dan tidak juga mengemban tanggungjawab dibidang keamanan yang kini menjadi tanggung jawab Kepolisian.

Puncaknya, pada 20 April 2000, selepas menutup Rapim TNI, Panglima TNI Laksamana Widodo Adisubroto menjelaskan bahwa tugas utama TNI sekarang ini adalah komponen utama pertahanan negara yang bertugas menggagalkan setiap agresi terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah negara, serta menjamin kepentingan nasional RI, baik pada lingkup domestik maupun internasional. Sejalan dengan tugas pokok itu, TNI melakukan fungsi-fungsi yang selaras dan sejalan dengan Operasi Militer Untuk Perang dan Operasi Militer Selain Perang seperti yang terdapat dalam UU No.34 tahun 2004 tentang TNI kini. Pernyataan Panglima TNI Laksamana Widodo Adisubroto tersebut mengakhiri era Dwi-Fungsi ABRI secara doktrin dan praktek (Salim Said, 2006).

Kedua, dalam hal pemisahan TNI-Polri secara kelembagaan dari ABRI. Dalam konsiderans TAP MPR No.VI/Mpr/2000 tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri huruf a, disebutkan bahwa salah satu tuntutan reformasi dan tantangan masa depan adalah proses demokratisasi, sehingga perlu dilakukan reposisi dan restrukturisasi ABRI. Kemudian huruf c menyebutkan, penggabungan TNI dan Polri dalam payung ABRI menimbulkan kerancuan dan tumpang tindih antara peran dan fungsi TNI sebagai kekuatan pertahanan negara dengan peran dan tugas Polri sebagai kekuatan keamanan dan ketertiban masyarakat. Pemisahan menjadi langkah yang tepat dalam memberikan ruang yang berbeda kepada institusi militer dan institusi sipil dalam menjalankan tugas masing-masing.

Meskipun nantinya terdapat keterkaitan dan persinggungan antara tugas keamanan dalam negeri yang diemban oleh Polri dengan tugas pokok Operasi Militer Selain Perang yang dijalankan TNI dan diatur dalam UU No. 34 tahun 2004 Tentang TNI, maka sesuai dengan pasal 2 ayat (2) TAP MPR  No.VI/MPR/2000, dalam hal terdapat keterkaitan kegiatan pertahanan dan kegiatan keamanan, TNI dan Polri harus bekerja sama dan saling membantu.

Ketiga, perihal penarikan fraksi ABRI dari parlemen. Keberadaan ABRI dalam parlemen tidak lepas dari pertentangan yang mengarah kepada Nationalist Principle ABRI ketimbang sipil dalam hal ideologi negara. Lebih dari itu, parlemen menjadi pusaran politik praktis, sehingga keberadaan TNI (bagian dari ABRI dahulu) menjadi tidak relevan dan mencederai reformasi TNI serta demokrasi. Penarikan fraksi ABRI di MPR/DPR pada tahun 2004 (dipercepat dari tahun 2009) menjadi langkah positif dalam upaya reformasi TNI.

Keempat, mengenai prajurit profesional yang kaitannya dengan pembatasan jabatan sipil dan hak politik/politik praktis. Perihal jabatan sipil, pemerintah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah membuat beberapa langkah kebijakan yang berkaitan dengan politik militer, misalnya saja mengurangi jabatan-jabatan di pemerintahan sipil bagi personil militer dari tingkat pusat sampai daerah. tidak ada lagi jabatan-jabatan sipil yang ketika Orde Baru sudah seperti “posisi jatah” untuk prajurit TNI.

Pasca Orde Baru, perihal jabatan sipil ini diatur pada pasal 47 ayat (1) UU TNI yang menjelaskan prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Kemudian pada ayat berikutnya diatur perihal pengecualian jenis jabatan yang dapat diduduki dan prasyarat prajurit aktif untuk menduduki jabatan tersebut.

Dalam hal hak politik dan politik praktis, Pengertian atau definisi dari Tentara Profesional, sekaligus menjadi Jati Diri TNI, meletakkan Tentara Indonesia untuk tidak berpolitik praktis, serta mengikuti kebijakan politik negara. Hal ini kemudian ditegaskan pada pasal 5 UU TNI, bahwa TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Politik TNI adalah politik negara, dan bergerak sesuai dengan atau melalui keputusan politik negara. Keterlibatan perwira aktif dalam politik praktis pada dasarnya menabrak TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri dan UU No.34 tahun 2004 tentang TNI. Bahasan ini sebelumnya telah saya bahas secara lebih luas, termasuk kaitannya dengan HAM, pada tulisan terdahulu yang berjudul “Hak Politik dan Alat Negara” (Kompas, 01/02/18).

Dan kelima perihal pergantian posisi panglima TNI antar tiga matra. Arus reformasi mengurangi dominasi Angkatan Darat (AD) dalam institusi TNI (dulu ABRI). Pada masa Soeharto berkuasa, jabatan Panglima ABRI selalu berasal dari AD. Nama-nama seperti Suharto, Panggabean, M. Jusuf, L.B. Moerdani, Try Sutrisno, Edy Sudrajat, Feisal Tanjung, dan Wiranto menjadi Jenderal AD yang pernah menempati jabatan Panglima ABRI ketika Orde Baru.

Sorotan terhadap calon-calon panglima TNI, pada dasarnya bukan mengarah kepada siapa sosoknya, tetapi asal matra Angkatannya. Realitas bahwa utusan dari Angkatan Udara baru satu kali menjadi Panglima TNI (sebelum Marsekal Hadi terpilih), merupakan persoalan yang tidak bisa dianggap sepele, karena stabilitas internal TNI bisa menjadi terganggu. Pergiliran antarmatra angkatan perlu dilakukan untuk menghindari dominasi salah satu matra Angkatan dalam kesatuan TNI. Dominasi salah satu Angkatan tidak menciptakan suasana dan kondisi yang positif, karena tiap-tiap Angkatan mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat, sesuai dengan pasal 4 ayat (2) UU TNI yang mengamanatkan bahwa tiap-tiap angkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat. Kemudian juga diperjelas pada Pasal 13 ayat (4) nya, bahwa jabatan Panglima TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.

Selalu Diawasi

TNI pasca 20 tahun reformasi bukan tanpa catatan. Reformasi yang telah berjalan masih harus dipantau, disempurnakan, dan disegerakan kepada hal-hal yang belum selesai untuk direformasi, seperti peradilan militer, kasus HAM masa lalu, dan lainnya, demi TNI yang tangguh dan profesional.

Sumber gambar : www.wartaekspres.com

Ikuti tulisan menarik lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler