x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pesantren dan Politik Silaturahim

Dua calon wapres mengunjungi pesantren, bukan untuk berkampanye, tapi bersilaturahim.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Bersilaturahim itu dianjurkan karena memang baik dan bermanfaat bagi manusia. Melalui silaturahim, seseorang tidak akan kesepian, sendirian, dan punya banyak teman. Secara psikologis, silaturahim itu bagus—orang dapat saling menyapa, bertanya ihwal kesehatan, dan bertukar pikiran agar otak tidak lekas mampet.

Begitu pula secara ekonomis, in sya Allah silaturahmi membukakan jalan bagi datangnya rezeki. Jejaring sosial menjadi semakin kuat, teman baru pun bertambah. Mereka yang terjun di dunia bisnis tahu benar betapa penting silaturahim untuk mendorong petumbuhan bisnisnya. Bagi pebisnis, sekedar ‘setor muka’ di sebuah acara dan bertemu seseorang bisa menjadi bekal untuk membuka peluang bisnis di kemudian hari. Apa lagi bagi politikus.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Silaturahim pula yang dinyatakan oleh dua calon wapres kita saat menjelaskan kunjungan mereka ke pesantren-pesantren. Penegasan istilah silaturahim dianggap penting, sebab sejauh ini berlaku aturan larangan berkampanye ke pesantren. Dengan mengatakan kunjungan mereka merupakan aktivitas silaturahim, keduanya berharap tidak disemprit oleh panitia penyelenggara pilpres 2019.

Tak bisa dipungkiri, sejak lama pesantren serta santri dan kyainya merupakan magnet yang menarik para politikus untuk datang ke sana, khususnya di masa-masa pemilihan. Jumlah pesantren sangat banyak. Santrinya juga. Para kyainya pada umumnya memiliki pengaruh terhadap masyarakat, setidaknya di wilayah sekitarnya. Karena itu, logika politik politikus mengkalkulasi bahwa suara penghuni pesantren tidak dapat diabaikan, begitu pula pengaruh kyai kepada masyarakat sekelilingnya.

Sebagai ‘orang dalam’, karena pernah nyantri dan punya banyak sejawat para kyai serta Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, KH Ma’ruf Amin punya keleluasaan untuk mengunjungi pesantren-pesantren dibandingkan kompetitornya, Sandiaga Uno. Betapapun Sandi barangkali berikhtiar memikat hati para santri dan kyainya, pak Ma’ruf punya political advantage. Karena itu pula, tanpa berkampanye sekalipun—dalam hal ini kampanye menurut aturan KPU yakni menjual visi, misi, program, maupun meyakinkan warga pesantren agar memilih dirinya, pak Ma’ruf sudah menjadi daya tarik tersendiri bagi para santri yang dengan senang hati menyambut kedatangan seorang kyai.

Berkampanye di lingkungan pesantren memang dilarang, tapi larangan ini boleh dibilang tidak tegas, sebab ‘bersilaturahmi’ kepada para kyai dan santri di rumah mereka masih diperbolehkan. Kendati kedua calon tidak menonjolkan ‘brand’ dan memasarkan citra diri lewat panggung kampanye seperti diatur KPU, tapi melalui silaturahim itu aura ‘brand’ mereka sudah dipancarkan. Jadi, meskipun secara formal tidak memenuhi kriteria kampanye versi panitia Pilpres, tapi secara substansi kampanye itu praktis terjadi sebab silaturahim kedua calon itu toh dilakukan pada masa kampanye.

Secara individual, pak Ma’ruf bukan orang baru di lapangan politik. Ia sudah menjadi anggota DPRD DKI Jakarta pada tahun 1971, lalu ke Senayan melalui PPP, bergabung dengan PKB dan jadi MPR maupun DPR, serta pernah duduk di Dewan Pertimbangan Presiden pada masa Presiden SBY. Karena itu, ia paham benar pentingnya silaturahim dengan siapapun, bukan hanya dengan kalangan pesantren tempat ia berasal—misalnya saja, ia sudah bersilaturahim kepada Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.

Bagaimana dengan Sandi? Kunjungannya ke berbagai pesantren menunjukkan bahwa ia juga mengerti benar manfaat silaturahim dengan para santri dan kyai yang jumlahnya sangat banyak. Sandi niscaya tahu bahwa ia tidak memiliki political advantage sebagaimana dipunyai pak Ma’ruf, tapi ia tetap berikhtiar mengetuk pintu para kyai dan santrinya. Sebagai orang yang sudah puluhan tahun berbisnis, ia tahu benar mengapa silaturahim itu penting.

Kedua calon wapres maupun para politikus, juga mereka yang duduk di KPU maupun Bawaslu, niscaya tahu benar bahwa secara substansial kampanye itu tidak melulu berarti ‘menjual kecap’, tapi bisa pula ‘memengaruhi’ dengan cara lain. Mereka semua niscaya juga tahu benar apa sebenarnya tujuan silaturahim sebab dilakukan di masa kampanye. Begitulah, selalu ada celah dalam setiap aturan yang tidak tegas. Aturannya begini, praktinya bisa lebih lentur. Yah, kita sama-sama tahulah, asal jangan pura-pura tidak tahu! **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler