x

Iklan

Acep Iwan Saidi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Keretaku Berhenti Lama

Catatan sebuah perjalanan kecil dari Bandung ke Jakarta, dengan kereta.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seperti biasa, tiap Sabtu saya ke Jakarta, dengan kereta pukul 05.00. Dengan jadwal seperti ini, biasanya saya shalat subuh di mushala stasiun. Namun, tidak pagi ini. Saya shalat di Mesjid Agung Dalem Kawung (Alun-Alun). Ini karena waktu subuh jatuh tepat saat saya melintas di depannya. Dalam dua pekan terakhir, waktu subuh bergeser ke pukul 04.12. Pekan lalu saya shalat di Mesjid Ukhuwah, di depan Kantor Walikota Bandung. Waktu itu, mepet sekali ternyata waktunya. Shalat saya menjadi kurang khusu (padahal biasanya juga susah untuk khusu). Tergesa-gesa saya ke stasiun, dan tiba di depan loket dalam waktu yang nyaris habis.

Karena pengalaman tersebut, pagi tadi saya berniat untuk shalat di stasiun seperti biasa. Saya ambil rute yang berbeda dari pekan lalu. Jika pekan lalu melewati Jalan Riau, Jalan Merdeka, memutari kantor walikota, dan melintas di depan Masjid Ukhuwah, kali ini dari Jalan Jakarta berbelok kiri, lantas lurus di Jalan Ahmad Yani sampai Asia Afrika, Alun-Alun, berbelok kanan di Kantor Pos Besar, melintas di Viaduct, dan sampai di stasiun.

Qodarullah, dengan rute tersebut, waktu subuh ternyata jatuh saat  saya berada di depan masjid Agung. Selintas, ketika mobil telah diparkir, terpikir bahwa jarak Mesjid Agung ke Stasiun lebih jauh daripada Mesjid Ukhkuwah-Stasiun. Itu berarti saya akan lebih telat sampai stasiun. Tapi, saya tetap memutuskan untuk shalat di situ. Betapa akan menjadi hina kiranya jika saya mengurungkan shalat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sampai iqamah dikumandangkan, saya masih gelisah, pasti saya akan tertinggal kereta. Perasaan ini bahkan terlintas ketika pada rakaat pertama imam membaca bagian tengah surat Ar-Rahman. Saya menduga pasti imam akan menyelesaikan setengah surat ini dalam dua rakaat. Tapi, sebab itu kemudian saya menjadi tenang. Jika hari ini saya tertinggal kereta, pasti Allah punya rencana lain yang lebih baik. Saya pun menikmati lantunan imam yang suaranya terdengar sangat merdu dalam langgam bayati yang mendayu. Dua rakaat selesai begitu cepat. Rupanya imam tidak menuntaskan seluruh surat. Pada kedua rakaat, bacaannya dikahiri pada ayat “fa bhi ayi alaaa i robbikuma tukaddziban”.

Sampai di staisun saya masih punya waktu 20 menit. Leluasa. Saya ambil pintu kiri sebab di situ biasanya tersisa tempat parkir. Sejak tol Cikampek terganggu karena pembangunan jalan layang yang melintas dari Bekasi hingga Cikarang itu, Kereta Bandung-Jakarta menjadi alternatif. Tiket harus dipesan sepekan sebelum kepergian. Penumpang membludak. Dan karena itu pula, stasiun selalu sesak. Hanya di bagian kiri stasiun, seturut pengalaman saya sebagai pelanggan lama, acap tersisa tempat  yang masih kosong untuk parkir mobil.

Tapi, rupanya tidak begitu tadi pagi. Sejak masuk di jalur tersebut, kendaraan sudah antri. Tempat parkir di kiri-kanan tampak  penuh. Wah, ini kiranya yang akan menyebabkan saya batal ke Jakarta, pikir saya yang kembali gelisah. Saya ikuti dengan sabar dan penuh harap antrian kendaraan itu. Qodarullah, sekira telah lewat lebih kurang tujuh menit, tepat di depan pintu kedatangan, saya melihat celah untuk parkir.

Di depan mesin check in, saya kembali antri, nomor empat dari depan. Pada gilirannya, Saya pun mengetikkan kode booking. “Data tidak ditemukan”, itu yang tertulis di mesin pada kali pertama. Saya pikir, ini pasti salah ketik, maklum tergesa-gesa. Pada kali kedua, nama saya muncul, tapi tombol “ok” (enter)-nya tidak berfungsi. Data pun tidak bisa dicetak. Saya ulangi lagi, tetap sama. Satpam yang kebetulan di situ mendekat.

“Oh, itu salah rute, Pak, coba lihat, itu tertullis Haur Geulis-Jakarta”, jelas satpam.

“Kok, aneh, ya”, jawab saya. Selintas terpikir, jangan-jangan saya memang salah pesen. Saya pelototi layar handphone, jelas tertulis, “BDG-GMBR”.

“Ke loket informasi aja, Pak”, saran calon penumpang yang ngantri di belakang saya. Terdengar nada suaranya agak bergetar. Tampaknya ia juga terburu-buru.

“Pak, kalau mau check in di konter sebelah”, kata petugas di loket satu, di balik kaca, saat saya berada tepat berada di depannya, sebelum mengatakan apapun.

Ia seorang perempuan, masih muda. Tampak masam wajahnya. Tak ada bakat sebagai karyawan pelayan publik. Tapi, itu mungkin karena penglihatan saya saja yang sedang gelisah. Semoga Allah mengampuni.

“Maaf, Mbak, saya sudah ke sana, ternyata ada kesalahan,” jelas saya.

 “Salah apa?”

“Rute yang tertulis tidak sesuai dengan pesanan saya”

“Masak, Bapak salah ketik kali,” jawabnya ketus. Matanya memandang seolah-olah saya ini orang udik yang bodoh.

“Sudah dua kali dicoba, Mbak, sudah dibantu satpam pula,” jawab saya,  bersabar. Saya tunjukkan data di handphone.

Petugas itu mengetikkan juga kode booking yang saya tunjukkan, dengan wajah tetap ketus meskipun kali ini tidak bersuara.

“Ini, Pak, tidak ada yang salah. Bapak yang salah!”, ujarnya kemudian setelah selesai mengetik dan mencetak tiketnya. Nada suaranya sangat tidak enak didengar.

Tapi, saya tidak ingin menimpalinya. Saya ambil tiket tanpa sepatah kata pun, lalu pergi ke pintu masuk.

“Ini benar gerbong empat, kan?”, kata saya kepada penumpang yang kedapatan telah duduk di kursi pesanan saya. Ia tidak segera menjawab, melepas dulu earphone yang menutupi telinganya.

“Benar, Pak”, jawabnya setelah saya mengulang pertanyaan.

 Ia kemudian mengeluarkan tiket. Kami memeriksanya.

“Oh, ini 10 C, ya”, tanyanya sambil menunjukkan nomor kursi di tiketnya.

“Iya, Pak, Bapak di kursi 10C, yang ini 1C”, jelas saya.

Orang itu membenahi tas dan barang-barangnya, lalu pergi. Tidak ada kata “maaf” terucap. Tapi, tidak soal. Saya memilih bersyukur sebab pada akhirnya saya sampai pula di kursi itu. Kursi 1C terletak paling belakang, kursi tunggal (tidak berpasangan). Saya selalu berusaha memilih kursi tunggal. Jika tidak 1C saya pilih 13B. Dua kursi itu masing-masing terletak di barisan paling belakang dan paling depan di setiap gerbong. Saya memilihnya karena merasa lebih nyaman. Bisa bekerja (menulis) tanpa mengganggu dan terganggu teman duduk di sebalah. Seperti kali ini. Sejak kereta berangkat saya menulis pengalaman menarik mulai tadi subuh itu.

“Sarapannya, kopi, teh, sarapan!”, tawar penjaja makanan dari arah depan. Dua orang. Laki-perempuan, sambil mendorong kereta makanan dagangannya.

“Teh, Mbak!”, pesan saya ketika mereka mendekat.

“Teh saja, Pak, tidak sekalian dengan makannya”, jawab si Mbak.

“Nggak, teh saja,” tegas saya.

“Baik, Pak, sepuluh ribu”

Sejenak saya tertegun. Sabtu lalu, harganya masih tujuh ribu. Terasa saya sedang tersenyum dalam hati. Barangkali yang tiga ribu rupiah itu adalah sebuah bayaran untuk waktu yang pagi ini tampaknya Allah putar lebih lambat sehingga saya tidak telat.

Pagi ini, di stasiun itu, sepertinya kereta berhenti lebih lama.

***

Bandung-Jakarta, 20/10/18

 

 

Ikuti tulisan menarik Acep Iwan Saidi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu