x

Iklan

Anggito Abimanyu

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengapa Rupiah Terus Terpuruk?

Lebih baik dibandingkan depresiasi di Turki dan Argentina, tetapi lebih buruk dibandingkan Ringgit Malaysia, Bath Thailand dan Peso Filipina.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Oleh: Anggito Abimanyu

Dosen UGM, Yogyakarta

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Pada 2017, mata uang Rupiah dinyatakan sebagai salah satu mata uang terbaik di dunia, stabil dan tidak bergejolak. Depresiasi rupiah terhadap dolar AS selama Januari 2017- Desember 2017 adalah sekitar 0,4 persen.  

Tahun 2018, kondisinya terbalik.  Mata uang rupiah dinyatakan sebagai salah satu mata uang berkinerja buruk dan bergejolak dibandingkan dengan negara lain. Hingga pertengahan Oktober, depresiasi rupiah terhadap dolar AS adalah sekitar 12 persen.  

Lebih baik dibandingkan dengan depresiasi di Turki dan Argentina, tetapi lebih buruk dibandingkan dengan negara tetangga dalam peernya, Ringgit Malaysia, Bath Thailand dan Peso Filipina. Tahun 2018 kita sudah menaikkan suku bunga Bank Indonesia lebih dari 100 basis poin, dan berbagai kebijakan pemulihan, gejolak rupiah belum juga mereda.

Sebuah mata uang dinyatakan berkinerja baik apabila stabil dan tidak bergejolak atau memiliki tingkat volatilitas yang rendah. Tingkat volatilitas rupiah diukur dari perubahan nilai mata uang terhadap mata uang kuat (dalam hal ini dolar AS), bisa naik bisa turun dalam suatu waktu.

Di samping faktor permintaan dan penawaran valas di dalam negeri, gejolak nilai rupiah juga dipengaruhi oleh adanya kontrak forward yang tercatat (forward non-deliverable). NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Pasar NDF rupiah belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London. 

Kurs rupiah di pasar NDF cenderung depresiatif karena diperdagangkan di luar negeri. Kuotasi rupiah di NDF seringkali menular ke pasar spot, sehingga kurs di NDF menjadi gambaran pergerakan rupiah di pasar spot. Misalnya mengutip data Reuters pada 19 Oktober 2018, nilai kurs rupiah terhadap dolar AS di pasar spot NDF adalah Rp. 15.785 (6 bulan) dan Rp. 16.280 (1 tahun). Rupiah dapat dipersepsikan akan mengarah ke angka-angka tersebut yang belum tentu mencerminkan kekuatan pasar rupiah.

***

Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 20/10/PBI/2018 Tentang Transaksi Domestik Non Deliverable Forward sudah diterbitkan oleh Bank Indonesia. Peraturan baru ini bertujuan untuk memperdalam mata uang dan memberikan kepastian pada investor akan ketersediaan dan kestabilan nilai valas.

"PBI domestik NDF (DNDF) sudah ditandatangani Menteri Hukum dan HAM. Sejak saat ini, domestik NDF mulai berlaku. Aturan ini diharapkan bisa memperdalam pasar valas domestik dan memberikan alternatif instrumen bagi pelaku ekonomi, perbankan, dan investor asing melakukan lindung nilai tukar. Ini akan mendukung stabilitas kurs rupiah ke depan," ujar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, di Masjid Bank Indonesia, Jakarta, Jumat, 28 September 2018 (Metronews, 28 September 2018).

"Kurs acuannya menggunakan JISDOR untuk mata uang dollar AS terhadap rupiah dan Kurs Tengah Transaksi BI untuk mata uang non-dollar AS terhadap rupiah. Penyelesaian transaksi DNDF tersebut wajib dilakukan dalam mata uang rupiah," katanya.

Persiapan teknis yang dilakukan terkait sistem informasi untuk perdagangan DNDF, standardisasi kontrak DNDF, hingga kesiapan manajemen bank. Transaksi jual beli valuta asing (valas) berjangka Non-Deliveravle Forward (NDF) dalam negeri alias Domestic NDF (DNDF) belum bisa berjalan lantaran masih dalam tahap persiapan teknis. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan persiapan DNDF telah mencapai 75 persen, jadi perkiraan efektif adalah mulai November 2018. Meskipun sudah sangat terlambat namun tetap diperlukan, kini kita menunggu efektivitas kebijakan tersebut.

Di luar masalah pelaksanaan DNDF yang sangat urgen, upaya kita dalam mengembalikan stabilitas rupiah belum membuahkan hasil nyata. Penurunan cadangan devisa, defisit neraca berjalan, khususnya impor migas, serta sustainabilitas APBN terkait subsidi BBM belum ada solusi yang nyata.

Menghadapi situasi “new normal” dan perang dagang AS-China tidak cukup dilakukan dengan diplomasi dan seruan kepada negara-negara besar. Reformasi ekonomi kita di dalam negeri, efektivitas DNDF, kecukupan cadangan  devisa, impor BBM, promosi ekspr, ketahanan fiskal dan pembiayaan infrastruktur harus komprehensif dan dapat dilaksanakan (doable).

Tekanan “new normal” dan perang dagang (trade war) melanda seluruh ekonomi dan perdagangan dunia. Seluruh dunia melakukan penyesuaian kebijakan ekonomi. Perekonomian dunia mengalami perlemahan mata uang, Indonesia salah satu negara yang terkena dampak tajam dibandingkan negara-negara tetangga lainnya. Tidak ada lagi alasan menyalahkan faktor eksternal, PR kita di dalam negeri masih banyak yang belum tuntas.

 

Ikuti tulisan menarik Anggito Abimanyu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler