x

Iklan

Yudel Neno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ketika Prabowo Membaca Indonesia

Seorang pemimpin sejati, bentuk perhatian terhadap kemajuan bangsa dan kemajuan nasib rakyat adalah ketika ia berpikir positif dan optimis

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

**Fr. Yudel Neno, S.Fil.**

*Alumnus Fakultas Filsafat Unwira Kupang

 

Pada 28/03/18, Okezone News melansir pernyataan Prabowo dalam Konferensi Nasional dan Temu Kader Partai Gerindra (19/10/18)  mengatakan bahwa Republik Indonesia pada tahun 2030, bubar dan tidak ada lagi.

Pada 01/09/18,TEMPO.CO. melansir pernyataan  Prabowo yang mengatakan bahwa Indonesia terancam menjadi negara miskin selamanya. Hal itu dikatakan Prabowo karena pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak naik.

          Pada 16/09/18, IDN Times melansir pernyataan Prabowo bahwa kekayaan Indonesia telah diambil oleh investor asing dan dibawa ke luar negeri. Yang tertinggal hanyalah utang-utang, yang patut dipertanyakan kemana penggunaan utang-utang itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada 03/10/18, Tribunnews melansir pernyataan Prabowo (02/10/18), dalam konfrensi pers untuk menyatakan sikap prihatinnya terhadap diri Ratna Sarumpaet, korban teraniaya, yang ternyata hoaks.

Pada 13/10/18, Detiknews melansir pernyataanPrabowo dalam sambutannya, bahwa Negara Indonesia sedang dalam kondisi penuh kecemasan, sakit dan bahkan berstatus kacung (pesuruh, pelayan, jongos). Pernyataan ini disampikan Prabowo ketika menghadiri deklarasi relawan Prabowo-Sandi (Padi) di Solo.

          Dari beberapa ungkapan di atas, sebagai masyarakat kritis, kita bisa membaca siapa Prabowo. Berhadapan dengan kondisi ini, publik tetap membaca ada maksud yang bercorak meruncing suasana perpolitikan di Indonesia.

Hemat saya, Pak Prabowo memang berhak berpendapat di muka umum, tetapi dalam suasana suksesi perpolitikan sekarang, pernyataan seperti ini dinilai bercorak pesimis. Pernyataan ini disampaikan justru dalam otoritas sebagai calon pemimpin yang kelak ikut bertarung dalam pilpres 2019 nanti. Pada akhirnya, sasaran serangan dari seluruh pernyataan Prabowo adalah Jokowi yang adalah Presiden RI serentak sebagai lawan politik Prabowo periode berikutnya.

Atas cara seperti ini, besar kemungkinan bagi publik untuk menilai Prabowo sebagai sosok yang pesimis-grasa-grusu; sosok yang lebih fokus pada sisi lemah bangsa ketimbang menyampaikan strategi-strategi politik yang visioner dan membangun. Apalagi diandaikan bahwa pernyataan-pernyataan di atas merupakan strategi untuk menarik konsentrasi politik para netizen dan para simpatisan politik dengan maksud melemahkan elektabilitas pemerintahan Presiden Joko Widodo. Kalau ini yang terjadi, hemat saya, Prabowo adalah sosok yang tidak sportif dalam srategi untuk memenangkan kursi RI 1 pada pilpres 2019 nanti.

          Ada dua pola analisis untuk menyikapi pernyataan-pernyataan Prabowo di atas, yakni  analisis obyektif dan analisis konstruktif.

Analisis obyektif fokus pada penekanan sikap waspada publik dengan slogan waspadalah terhadap isu adiksi politik obyektivitas. Di sini, permainan isu politik menduduki posisi penting dalam suasana suksesi kepemimpinan RI 1. Lawan politik politik (baca : pemerintah berkuasa) selalu menjadi sasaran permainan isu politik.

Di tengah gencarnya permainan isu politik, waspadalah terhadap isu adiktif politik obkyektivitas. Isu adiktif politik obyektivitas menunjuk pada kecanduan seseorang untuk memainkan isu politik bertitik tolak dari kenyataan tetapi dengan maksud bukan untuk membangun melainkan untuk melemahkan elektabilitas pihak pemerintah.

Wajarlah bahwa kepemimpinan tidak kebal kritik tetapi atas cara itu mesti selalu diandaikan bahwa penyampaian kritik apapun, semangat nasionalis tidak boleh disepelekan. Penyampaian kritik, justru karena bertujuan pembangunan nasional, maka aspek-aspek humanitas perlu ditempatkan dalam kerangka lontaran kritik agar tidak menuai konflik antar kubu politik.

Penyampaian kritik merupakan perbuatan hukum karena dilindungi oleh UU, khususnya UU RI nomor 9 tahun 1998 tentang Kebebasan Berpendapat di Muka Umum. Kebebasan berpendapat ini, ada syaratnya.  Pasal enam, UU nomor 9, menyebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika berpendapat di muka umum. Disebutkan bahwa seseorang dalam berpendapat di muka umum, mengemban tanggung jawab untuk menghormati, menjaga keamanan dan ketertiban umum serta menjaga keutuhan dan persatuan bangsa.

Dalam terang pasal enam UU nomor 9, tidak dapat dipungkiri coraknya, bahwa pernyataan Prabowo bertendensi meruncing suasana politik, mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa karena muatan-muatan pernyataan bercorak miris, malah pesimis terhadap keberadaan Negara Indonesia.

Analisis konstruktif fokus pada perubahan paradigma berpikir dari pesimis menuju optimis. Menyampaikan kondisi obyektif bangsa yang dipolitisir apalagi dengan maksud untuk melemahkan elektabilitas pihak pemerintahan merupakan suatu pola berpikir yang mundur. Disebut mundur karena kondisi-kondisi itu justru harus ditempatkan dalam kerangka berpikir bahwa kita perlu optimis, visioner serentak sarat solusi untuk keluar dari kondisi yang tengah melilit upaya perkembangan bangsa ini. Paradigma berpikir yang terlampau fokus pada sisi lemah, besar kemungkinan bukan semakin membangkitkan semangat rakyat melainkan semakin meruncing keraguan publik.

          Catatan kritisnya bahwa perhatian terhadap nasib rakyat tidaklah cukup dengan sebatas menyampaikan kondisi-kondisi yang justru melemahkan semangat rakyat. Kalaupun kondisi-kondisi itu mau disampaikan mesti dipertimbangkan bahwa penyampaikan itu tidak merugikan pihak lain hanya demi meloloskan kepentingan pribadi.

Ikuti tulisan menarik Yudel Neno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler