x

Iklan

Acep Iwan Saidi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Santri dan Api

Esei pendek, refleksi atas pembakaran bendera berlafad tauhid di Garut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya bukan santri. Tapi, pada usia anak-anak sampai lepas SMA, saya berada di lingkungan pondok pesantren. Itu karena keluarga saya ada di dalam lingkungan demikian.

Maka, bersama para santri murid almarhum Uwak, saya pun sempat merasakan tidur di “kobong” (kamar tidur santri). Kami tidur di bawah lampu tempel, lampu dengan cerobong kecil yang terbuat dari bahan semacam kaca tipis, yang biasa ditempel di dinding. Jika nyala lampu terlalu besar, cerobong itu seluruhnya akan menghitam. Itu hanya sisa dari jelaga yang sebagian besarnya terbang ke langit-langit kobong.

Di langit-langit kobong, jelaga akan membentuk benang-benang halus yang saling merentang seperti sarang laba-laba. Sebagian lainnya jatuh ke tubuh kami. Di tiup udara yang menyelinap ke celah jendela, sang jelaga akan masuk ke lubang hidung kami. Saat bangun subuh, praktis lubang hidung kami pun akan sama seperti dinding cerobong lampu tempel. Tapi, itu baru ketahuan selepas matahari setengah tiang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Momen seperti itu tidak hanya terjadi satu kali. Nyaris setiap pekan, minimal sekali pasti saja terjadi. Tapi, kami tidak merasa itu persoalan. Alih-alih jadi masalah, ia justeru menjadi bagian dari hiburan yang menyenangkan. Kamar yang kecil dan gelap menjadi salah satu sumber kebahagiaan kami.

Bangunan berkobong-kobong itu terdiri atas dua lantai. Lantai keduanya terbuat dari papan kayu. Sedangkan lantai bawahnya berupa tembok berplester tipis dengan semen minimal. Sekilas ia lebih tampak sebagai lantai tanah yang mengkilap. Di sebuah sudut di lantai ini terdapat ruangan semacam dapur. Kami memasak di situ. Kami lebih sering makan bersama dengan nasi dan ikan dihamparkan di atas daun pisang. Ikan asin dan sambal adalah menu keseharian. Tapi, sekali-kali kami makan dengan belut bakar. Belutnya kami dapatkan sendiri dari sawah di seberang pondok. Kami mengambilnya malam hari, dengan cara yang kami sebut “ngobor”. Malam hari belut-belut  keluar dari lubangnya. Terkena cahaya lampu petromak, belut-belut itu seperti kena penyakit rabun. Maka kami pun tinggal menetaknya dengan punggung golok. Tiap “ngobor,” setengah ember adalah hasil minimal. Kami pun berpesta.

Lantas, kapan kami mengaji? Tentu saja, sebagian waktu di pondok pesantren adalah mengaji. Waktu istirahat hanya 30 menit sebelum dan setalah shalat. Istirahat panjangnya berlangsung dari pukul 22.00 sampai pukul 04.00 (sebagian banyak yang sudah bangun pukul 02.00). Tapi, itu untuk para santri. Saya sendiri lebih banyak ikut pesta belut daripada membuka kitab. Hiks. Itu mengapa sekarang tidak mampu menjadi orang baik.

Namun pun begitu, saya selalu ingat beberapa pelajaran. Salah satunya soal adab mengaji dus etika menghormati sumber kajian (kitab). Bagi sebagian besar orang, menghormati sumber kajian itu pasti soal sepele. Tapi, tidak bagi kami, kitab harus selalu diletakkan di tempat yang tinggi. Alqur-an selalu harus disimpan di tempat paling tinggi, bahkan jika hanya surat atau ayat yang terpisah. Jika ditemui ayat Al-Quran tertulis di media tertentu, bercampur dengan teks yang lain, kami pun harus “menyelamatkannya”.

Tentu saja kami tahu mana ayat Al-Quran, mana yang sekedar tulisan berhuruf Arab. Jika suatu kali Al-Quran ditemukan tergelatak di lantai, kami harus segera mengangkatnya ke ubun-ubun, lalu meletakkannya di tempat tinggi. Tentu kami juga paham (sebab diberi pemahaman) bahwa perilaku itu bukan bagian dari pelajaran tauhid. Itu soal etika. Bagi kami, iman kepada Allah berarti juga menghormati dan memberi makna pada seluruh ciptaan-Nya. Jika memuliakan isi, bentuknya harus diberi arti. Begitulah pelajaran etika yang kami terima dan pahami.

Kini, tiga dasawarsa lebih kemudian, orang-orang modern yang pandai mungkin bisa menafsir lain cara kami menyikapi “bentuk” di atas. Mungkin tindakan sedemikian berbanding lurus dengan berjalan di atas jembatan dari batang bambu yang licin. Ia riskan tergelincir menjadi syirik, paling tidak bisa  tergolong menjadi bid’ah.

Berdasar pada praduga itu, sebaliknya dari hal di atas, saya membayangkan bahwa kini pastilah sudah dibuat etika lain yang lebih tepat, lebih kontekstual pada zaman ini untuk perkara yang sama. Bukankah kita telah menjadi semakin cerdas dan canggih dalam berpikir, tidak seperti kami kala itu yang lubang hidungnya sering tercocoki jelaga. 

Membakar Api

Namun, apa yang terjadi? Demi Allah saya sangat terkejut ketika mendengar berita seseorang telah membakar bendera berlafad Tuhan dalam acara santri. Dan saya semakin terkejut ketika secara resmi tindakan itu dibenarkan oleh organisasi yang menaungi orang tersebut dengan alasan bahwa yang dibakar bukanlah lafad Tuhan, tapi identitas ormas yang tertera di dalamnya.

Terbayang di benak saya wajah para santri yang kini telah berada di kobong gelap sejarah itu. Saya pikir, jika pun mereka sangat membenci bendera tersebut, paling banter mereka hanya akan mengguntingnya, membuang sebagian tanda dan menyelematkan sebagian yang lain. Atau malah bahkan akan menyimpan semuanya. 

Mereka juga pasti mengerti ikhwal api. Api adalah soal kemarahan, kebencian, dan dendam. Kepada siapa si pembakar marah? Dalam konteks di atas, ia marah kepada pihak yang diangapnya telah merusak. Jadi, di luar persoalan lafad Tuhan yang kini sedang diributkan,  ia telah merusak pihak yang diangapnya telah merusak. Walhasil, keduanya sama-sama perusak. Tapi, rupanya yang seperti ini telah dibenarkan.

Api dilawan dengan api. Ya, ini memang bukan yang pertama kali. Tapi, nyaris selalu begitu sejak negeri ini bangkit lebih dari 70 tahun lalu.  Padahal kita tahu, api hanya akan padam dengan air.

Rupanya kita memang telah terlampau lama dilanda kemarau. Hati kita telah kering. Tidak ada lagi telaga. Karena itu, barangkali, bangsa ini sudah begitu lama tidak berwudhu. Sedangkan hadast menempel di mana-mana***

 

 

Ikuti tulisan menarik Acep Iwan Saidi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

3 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB